9. Satu Kali Percobaan

13 5 4
                                    

Jangan lupa vote dan komen, ya.

9. Satu kali percobaan

"Asta, ini Tante Fanya." Fanya mengetuk pintu kamar Alasta.

Pintu kamar terbuka dari dalam menampilkan rambut acak – acakan Alasta. Alasta mendengus pelan saat melihat Fanya sudah berada didepan kamarnya.

"Mana Bi Tuti? Bukankah kusuruh untuk mengantarkan makanan ke kamar." Alasta bertanya kepada Fanya.

Fanya tersenyum mendapatkan pertanyaan Alasta. Azer salah yang menyebutkan bahwa Alasta pemalu, nyatanya Alasta sangat cerewet. " Ayah nyuruh kamu turun untuk makan bersama."

"Untuk apa makan bersama? Bawakan saja ke kamarku." lagi, Alasta tetap pada pendiriannya untuk makan siang didalam kamar.

Fanya menarik lengan Alasta dengan lembut, membuat Alasta membola. Belum pernah dirinya diperlakukan seperti ini oleh pacar ayahnya. Alasta hanya menurut saat tangan kirinya ditarik oleh Fanya sampai ruang makan.

Alasta langsung duduk begitu sudah sampai dimeja makan. Alasta memilih duduk berhadapan dengan Azer, dengan Fanya yang disamping Azer pastinya.

"Lain kali tak usah memperlakukanku dengan baik, tante," ujar Alasta dengan santai.

Tangan kanan nya menyendokkan secentong nasi kedalam piringnya. Ingin mengambil ayam gorong yang menggugah selera, tetapi tangannya ditepis oleh Azer. Alasta mendongak, tatapan matanya bersitatap dengan mata tajam Azer.

"Yang sopan," tegur Azer dengan dingin, dan tatapan mata yang menajam kearah Alasta.

Alasta menghiraukan teguran Azer. Tangannya mengambil satu potong ayam goreng dan langsung memakannya. Menghiraukan keadaan mencekam yang terjadi.

"Ayah menyuruhku sopan santun, tetapi ayah tidak menyontohkan sopan santun itu sendiri," ucapan Alasta mengundang macan dalam diri Azer untuk melepaskan diri.

"Jaga ucapanmu Alasta!" tekan Azer, menatap Alasta dengan berang.

Alasta mengabaikan Azer yang berang. Melanjutkan acara makannya, setidaknya Alasta butuh tenaga ekstra untuk menidurkan macan yang terlanjur bangun. Alasta tak akan lepas dari Azer, setidaknya dengan satu bogeman yang akan Azer layangkan cukup untuk membuat macan dalam dirinya tetap terkendali.

"Inginku tunjukkan bagaimana keadaan kami yang sebenarnya, tante?" tanya Alasta. Senyumnya tidak luntur dari bibir Alasta. Senyum yang tampak mengerikan untuk Fanya lihat.

"Aku harap setelah ini kau bisa berfikir untuk melanjutkan hubunganmu dengan ayahku," tutur Alasta. Sikap tenang Alasta membuat Azer semakin marah. "Apalagi jika sampai menikah. Aku harap nanti anakmu tidak akan pernah mendapatkan prilaku yang bisa membuat mentalnya jatuh. Hancur berantakan, syukur – syukur nanti tak bunuh diri."

"Tutup mulutmu brengsek!" Azer benar benar murka sekarang. Satu bogeman mendarat mulus mengenai pipi kirinya. Alasta yang tak siap jatuh bersama dengan kursi yang Alasta duduki.

Alasta memegang pipi kirinya. Sedikit sakit, tidak melebihi sakit pada hatinya. Matanya memandang Azer dengan tenang, seoalah tidak terjadi apa – apa.

"Kau liat. Dia yang ingin kau jadikan seorang suami?" Alasta menatap Fanya yang mematung. Senyum sinis tercetak jelas dibibir Alasta. Alasta bangkit, menatap mata Azer dengan tajam.

bugh

Kali ini tendangan yang dilayangkan Azer mengenai perutnya. Membuat Alasta membungkuk, memegangi perutnya yang terasa sakit.

Bugh

Lagi, Azer melayangkan tendangan yang mengenai perutnya kembali. Pukulan Azer membabi buta terhadap Alasta. Sudut bibirnya bahkan sudah berdarah. Alasta berjuang untuk tidak meringis ataupun menangis.

"Cukup Azer!" Fanya menarik lengan Azer dengan kasar. Menatap Azer tak percaya. Hubungan yang Fanya kira baik ternyata tak sebaik yang sering Azer ceritakan.

"Apa kau ingin membunuhnya?" teriak Fanya. Telunjuk Fanya mengarah pada Alasta yang berbaring dilantai yang dingin, dengan kondisi yang jauh dari kata baik."Kau tidak liat dia kesakitan, Azer. Jangan membunuhnya dengan kau memukulinya."

"Kau tidak usah ikut campur. Biar sekalian dia mati ditanganku," ucapan Azer barusan membuat Fanya menatap Azer tidak percaya.

Plak

Tamparan yang Fanya berikan untuk Azer membuat Azer membeku. Bersamaan dengan perasaan Alasta yang hancur. Ayahnya menginginkan dia mati? Hatinya sakit. Seperti ditusuk sebuah pisau tajam yang membuatnya hancur berantakan.

Alasta bangkit, berjalan tertatih menuju dapur. Dengan tangan kiri yang memegangi perut dan tangan kanan yang memegang sebuah pisau.

"Kau ingin aku mati, bukankah begitu?" tanya Alasta membuat Azer dan Fanya menatap Alasta. Kedua bola mata Fanya membola saat melihat Alasta menggenggam pisau ditangan kanannya.

Alasta berjalan kearah Azer. Menarik lengan Azer, membuka telapak kanannya lalu menaruh pisau tersebut dalam genggaman tangan Azer. Alasta mengarahkan tangan kanan Azer yang memegang pisau kearah perutnya.

"Bunuh aku sekarang juga!" tak ada lagi nada sinis yang diucapkan Alasta. Hanya raut wajah terluka dan tatapan yang kian menggelap bersama dengan segala luka yang terus berputar dikepalanya.

"Atau harus aku yang bunuh diri." dengan cepat Alasta mengambil pisau ditangan Azer, mengarahkan pisau tersebut kesamping lehernya. Tindakan Alasta membuat Fanya memekik kaget, bersama keluarnya beberapa maid yang melihat keributan Alasta dan Azer.

Mereka menahan napas melihat Alasta yang mengarahkan pisau kearah lehernya. Gerakan tiba – tiba dari Azer membuat pisau yang dipegang Alasta terpental.

"Kenapa? Bukankah kau sangat ingin membuatku hancur?" tanya Alasta kepada Azer."Kau sudah berhasil membuatku hancur. Lalu sekarang kau ingin aku mati!" intonasi suara Alasta naik. Bersama dengan kedua matanya yang mulai memanas.

"Disaat aku mengabulkan keinginanmu. Kenapa kau gagalkan. KENAPA?" Alasta berteriak didepan Azer. Melepaskan segala rasa sakit yang bersarang dihatinya.

"Lebih baik aku mati dengan sekali percobaan, dari pada kau bunuh aku dengan perlahan!" kecam Alasta. Alasta melangkah tertatih menuju kamar nya. Meninggalkan Azer yang membeku dan tatapan mata yang memancarkan sebuah luka. Fanya yang diam membeku. Sorot matanya mengikuti langkah kaki Alasta.

****

4 Juni 2021

Cirebon

ALASTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang