7. Salah Satu Kenangan

21 6 3
                                        

Jangan lupa vote dan komen 💜

7. Salah satu kenangan.

"Asta jangan lari sayang!" teriakan dari wanita berumur dua puluh delapan tahun diabaikan oleh laki - laki kecil yang tetap berlarian.

"Bunda tolong Asta!" teriakan dari Alasta kecil membuat senyum terbit dibibir Ana. Rasa bahagia membuncah begitu saja, saat netranya melihat suami dan anak tengah bercanda. Suara tawa yang mengudara tidak membuat rasa sesak itu sirna.

Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Ana melangkah menghampiri Azer dan Alasta. Setidaknya, ada kenangan indah yang pernah terlukis. Bukan hanya tentang luka dan derita.

"Ayah anaknya jangan digigit. Nanti nangis," tegur Ana saat melihat Azer membuka mulut, hendak mengggit pipi gembil Alasta.

Tangis Alasta pecah saat Azer menghiraukan teguran Ana. Menatap sang suami dengan sebal. "Kan udah aku bilang jangan digigit." Ana mengambil Alasta kecil untuk berada didalam gendongannya. Tangan kanannya terangkat, mengusap air mata yang berjatuhan dikedua pipinya.

"Asta cengeng," ledek Azer yang membuat tangis Alasta bertambah kencang.

Ana mencubit perut Azer. Membuat Azer mengaduh kesakitan lantas mengusap bekas cubitan Ana. "Sakit, sayang," keluh Azer.

Ana berlalu meninggalkan Azer dibekalang, tanpa Ana sadari senyum manis terukir disudut bibirnya.

"Ayah nakal, bunda," adu Alasta kecil kepada Ana. Tangisnya sudah mereda, meninggalkan segukan yang masih terasa. "Nanti malam biarin ayah bobo sama nyamuk. Asta bobo sama bunda," ujar Alasta yang merebahkan kepalanya pada dada Ana.

Tangan Ana terangkat menghapus air mata yang tertinggal dan mengusap rambut Alasta dengan sayang.

Azer mendengus saat mendengar ucapan penuh hasutan Alasta kepada Ana."Kok Asta tega sama ayah." Azer mendudukkan di sofa tepat samping kanan Ana. Kepala Azer merebah pada pundak Ana. "Maafin ayah, ya." Azer mengusap rambut hitam legam Alasta.

"Ayah nakal sama Asta," ujar Alasta. "Jangan temenin ayah, bunda."

Azer memasang wajah sedih. Membuat Ana menahan tawa melihat raut wajah Azer.

"Sayang, liat tuh ayah mau nangis kalau gak Asta maafin,"ucapan dari Ana membuat Alasta menengokkan kepala. Menatap Azer dengan kasihan. Alasta beranjak turun, lalu duduk dipangkuan Azer.

"Asta maafin ayah. Ayah gak boleh nakal, kata bunda nanti gak punya temen," ujar Alasta. Tangan mungilnya terangkat mengusap pelan pipi Azer. Senyum Azer mengembang mendengar penuturan sang anak.

Lengannya digoyangkan, awalnya pelan, semakin lama semakin brutal membuat Alasta membuka matanya. Dilihatnya Nandar dan Guntur yang berdiri dihadapannya.

Alasta bangkit, lantas duduk diranjang UKS sekolahnya. Matanya menatap lemari kaca yang berisikan obat - obatan.

"Lo kenapa nangis pas tidur?" tanya Nandar yang mendudukkan diri diranjang uks, sedangkan Guntur duduk pada kursi plastik yang disediakan disitu.

"Gue mimpi kenangan saat gue umur lima tahun," jawab Alasta. "Gue gak tau kalau gue nangis, tanpa gue sadarin."

Keadaan hening sesaat. Fokus Alasta terbagi. Mengingat kembali mimpi yang baru saja dialaminya, salah satu bagian dari masalalunya. Salah satu bagian yang tidak ingin Alasta hilangkan.

"Gue kangen Bunda," ujar Alasta." .. dan Ayah" sambung Alasta lirih.

"Ayah lo pasti kangen lo."

Alasta tertawa miris mendengar ucapan Nandar barusan. Azer rindu dengannya? Omong kosong. Azer hanya menginginkan Alasta menghilang. Tanpa bekas dan tanpa jejak. Jarak terlanjur membentang diantara mereka berdua. Sama - sama memiliki luka dengan porsi yang berbeda.

"Lo tau salah satu hal yang paling menyakitkan," ujar Alasta dengan suara yang bergetar. Menarik nafas dan mengeluarkannya, meringankan sesak yang mendera. "Dianggap mati oleh ayah sendiri. Lebih sakit lagi dipaksa sempurna jika raga ingin dianggap hidup kembali."

ucapan yang keluar dari mulut Alasta membungkam kata yang ingin disampaikan oleh Guntur. Nandar yang diam membisu. Mereka dapat merasakan beban berat yangAlasta tanggung saat ini.

****

4 Juni 2021

Cirebon

ALASTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang