🌙Bab Ketiga belas - Bunga

165 93 61
                                    

"Jangan buat kericuhan di sini!" tegas Fergie yang kesal sama sikap Siren.

"Huh! Saya akan senantiasa membencimu, Evine! Saya akan pergi membawa sekuntum rindu untukmu! Saya tidak akan lagi berada di sekitarmu! Saya benci kamu!" ketus Siren sambil mendorong Evine ke belakang.

Kemudian, ia pergi dengan isak tangis. Sebenarnya, Siren adalah mantannya Evine. Ia pernah menjalin sebuah hubungan kurun waktu lima tahun. Namun, saat kurang dari satu hari mereka menikah. Ayah Siren meninggal, dan ia masih tidak percaya jika Evine bukan Pembunuhnya.

Soalnya, Evine adalah orang yang terakhir komunikasi dengan ayahnya. Aslinya, bukan Evine pembunuhnya sebab saat itu Evine sedang pergi ke kolam milik Siren. Tiba-tiba, Evine melihat ayah Siren hanyut di dalam kolam.

Kemudian, Siren yang tiba-tiba datang. Lalu, melihat kejadian tersebut. Setelah itu, mengusir Evine dari tempat itu. Lalu, Siren menuduh bahwa Evine pembunuh. Padahal, Ayah Siren itu tidak sengaja terjatuh ke kolam. Semuanya itu adalah sebuah takdir yang harus direlakan. Semenjak itu, ia membenci Evine.

...

Siren pergi dari tempat tersebut, Evine dan sekelompok polisi bernapas lega.

"Akhirnya, Siren pergi, sabar ya Evine," ucap Fergie seraya tersenyum ke arah Evine.

"Iya, terima kasih," sahut Evine membalas senyum Fergie.

"Saya membawa surat yang mungkin penting buat kalian. Saat saya mencari perempuan bercadar, saya melihat Ibu Citra berada di belakang rumah ini sambil membawa sesuatu di tangannya. Kemudian saat saya berkomunikasi dengannya, perkataannya sedikit gugup dan membuat saya sedikit tidak percaya jika ke belakang rumah cuma mencari udara segar. Jawabannya tidak lah logis. Lalu, saat saya mulai letih saya memilih untuk kembali ke kamar mandi. Tiba-tiba ada seorang perempuan yang berlari cepat. Membawa kapak dan pisau serta pakaiannya yang terlihat bercak darah. Ada secarik surat yang jatuh dari tangannya. Setelah itu saya baca, ternyata ia adalah seseorang yang membunuh kekasihnya, Erlaga demi uang serta tidak tega melihat Erlaga menikah dengan Valen, ini suratnya," ungkap Evine seraya memberikan kertas berbau amis kepada Fergie.

...

"Eh, kok ada mobil ambulans lagi di sini? Pak Polisi kok lama banget ya di belakang?" tanya Clara sekilas melihat mobil ambulance yang berdatangan.

"Iya benar juga ya, iya sudah kita ikuti saja langkah mereka. Agar tahu keadaan di dalam rumah besar tersebut," jawab Candra sambil menatap Clara.

"Lah tapi, Ibu Clara belum ke sini juga. Ia sejak tadi ke belakang mau cari udara segar. Saya takut jika terjadi apa-apa di sana," ujar Galang perhatian kepada ibu tirinya.

"Kamu di sini saja, menunggu ibumu datang. Saya dan Clara akan pergi ke dalam rumah tersebut," desis Clara yang sedari termenung.

Galang menundukkan kepalanya. Clara di dorong Candra dengan kursi roda dan Candra membawa bayi Gilang dan Clara bergegas mengikuti langkahnya perawat. Derap langkah perawat berhenti tepat di kamar mandi. Mata Clara dan Candra melotot melihat jasad Erlaga.

"Hah? Siapa ini, Pak Polisi?" tanya Candra menatap Evine.

"Laki-laki itu adalah Pak Erlaga, korban pembunuhan. Namun, perkiraan saya atas bukti yang terlihat. Ia dibunuh oleh seorang perempuan yang sangat mencintainya demi uang dan ia iri jika melihat Pak Erlaga menikah dengan Ibu Valen," jawab Evine dengan sopan santun.

"Oh, wanita itu di mana ya, Pak?" tanya Clara mengamati ruangan.

"Ia sudah pergi, wajahnya pun tidak terlihat jelas. Kemudian ada berita bahwa tembakan tadi berasal dari perempuan bercadar yang pernah ditemui kalian saat di rumah sakit yang wajahnya mirip dengan Valen. Perempuan bercadar sekaligus wanita yang diduga pembunuh berhasil lari dari tempat ini. Saya sudah berusaha untuk mencari tapi belum juga dipertemukan, berikut adalah surat yang saya temukan saat bertemu dengan wanita tersebut," lugas Evine sambil menyerahkan surat ke tangan Clara.

Clara seperti tidak asing dengan gaya tulisan seperti itu, ia seperti pernah mengenali sejak di bangku universitas. Seperti tulisannya, Norberta Bathseba Brigita. Terbiasa dipanggil dengan sebutan Gita.

Clara masih ingat ciri khas Gita saat menulis surat di secarik kertas. Tatkala ada sesuatu yang ia lakukan, ia menyempatkan waktu untuk menulisnya di kertas dengan menggunakan tinta.

Clara masih mengamati tulisan itu. Sekaligus jasad pria yang berada di kamar mandi. Seraya ia teringat nama yang pernah disebutkan oleh Evine seperti nama yang pernah diucapkan Gita saat duduk di perpustakaan kuliah.

Flashback on

Kala mega merah terpadu dengan payoda. Clara dan Gita sempat berkomunikasi di perpustakaan tempat perkuliahan. Mereka sangat asyik sekaligus akrab. Mereka pernah menjalin sebuah persahabatan. Jadi sering mereka saling mencurahkan isi hati tentang masalah keluarga atau apapun itu.

"Apakah kamu ada masalah hari ini, Gita? Wajahmu tampak lesu sekali. Aku yakin kamu ada masalah. Sini cerita, jangan sungkan. Kita kan sudah masuk ke jenjang persahabatan tingkat tinggi, jangan diam saja, aku akan memberikan perhatian kok ke kamu, Gita," rayu Clara sambil memegang tangan Gita. Lalu, saling melempar senyuman.

"Clara, sebenarnya sudah lama aku suka dengan Erlaga. Ia adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas dan pernah menjadi temanku saat kecil. Aku menyukai gaya bicara, sikap dan pemakaiannya, sekaligus pandai dalam memberikan materi. Ia ialah salah satu temanku sejak sekolah dasar. Sering becanda bareng, bahkan sering sangat aku diajak makan malam di rumahnya, ia itu keluarga konglomerat kaya raya, pasti hidupku bakal tercukupi saat menjadi istrinya. Ia kan tajir, tapi baik juga. Aku berharap menjadi istrinya," ucap Gita dengan mata yang menyorot ke arah Clara. Menimbulkan harap dan angan yang tinggi.

Clara terkejut mendengar ucapan Gita yang membahas tentang masa depan. Gita menuliskan sesuatu di buku yang ia bawa. Menyatakan cinta dan cara memperoleh hati Erlaga. Ada beberapa ciri khas saat Gita menulis di kertas salah satunya menggambar bunga di pojok kanan kertas. Tidak jarang ia menggambar seperti itu.

Clara sampai hafal, bahkan ia tancapkan ciri khas Gita di kepala. Biar menjadi kenangan dan nostalgia saat Gita menulis. Lamunan Clara bubar, karena teriakan dari Gita yang berteriak tepat di telinganya.

"Ih, kamu buat aku terkejut saja," ucap Clara seraya mencubit hidung Gita.

Flashback of

"Tulisan ini saya ingat bahwa salah satu ciri khas Gita dalam menulis sebuah tulisan, hal awal yang ia lakukan adalah menggambar bunga di pojok kanan kertas. Meski kertas ada bercak darahnya, tetapi gambar bunga ini masih bisa dilihat oleh mata. Sekaligus, Gita adalah seorang wanita yang menjadi pengagum rahasia Erlaga. Namun, apakah bisa melakukan hal kejam itu demi uang?" tanya Clara mengernyitkan dahinya.

"Bisa, karena ia mencantumkan alasan melakukan perbuatan keji tersebut dalam tulisannya. Tidak dipungkiri lagi, bukti ini bisa mengungkap bahwa Gita adalah seorang pembunuh dan dalang dalam kasus Pembunuhan. Namun apakah ia juga yang membunuh ibunya Valen?" Serentak pertanyaan itu muncul di otak Evine.

 Namun apakah ia juga yang membunuh ibunya Valen?" Serentak pertanyaan itu muncul di otak Evine

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

💐Jika kalian suka, jangan lupa meninggalkan jejak dengan cara vote dan komentar.
🌸Aku sayang kalian

Love Exchanged (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang