Chapter 3

2.7K 577 57
                                    

Jangan lihat aku dengan tatapan itu. Itu membuatku lemah."

☜☆☞

Malam yang ditakuti tiba lebih cepat dari yang ku harapkan. Aku berusaha menyibukkan pikiran dengan membersihkan rumah dan memasak untuk Nenek. Dia akhirnya bisa turun dari tempat tidurnya. Pengobatannya berhasil, dan sekarang kondisi Nenek jauh lebih baik.

"Biar Nenek yang melakukannya." Nenek masuk ke dapur dan mengambil sendok dariku. AKu sedang mencampur salad untuk makan malam.

Ini mungkin akan jadi yang terakhir kali.

"Tidak bersiap-siap?" tanya Nenek sambil melirik pakaianku.

Sambil menggaruk bagian belakang kepala, aku melihat jam dan menjawab. "Aku masih punya beberapa jam lagi. Aku akan makan sebelum bersiap-siap. Aku bahkan tidak tahu apa yang ada dalam tas itu."

"Pergi dan bersihkan dirimu. Aku akan memasak dan menyiapkan meja." ucap Nenek sambil mendorongku ke dalam kamar mandi.

Aku mencoba untuk menyangkal semuanya selama berhari-hari, tapi kenyataannya adalah kebenaran yang harus di hadapi. Aku sekarang berusia 18 tahun dan ini akan menghantuiku selama sisa hidupku.

Hari ini adalah harinya. Malam teror. Malam bulan darah. Malam kawin.

Setelah selesai mandi, aku membungkus tubuhku dengan handuk dan mengeringkan diri sebelum memasuki kamar. Mengambil tas yang diberikan Tuan Thomas, aku mengeluarkan potongan kain dari dalamnya dan menatapnya selama beberapa saat.

Aku tidak akan memakai ini.

Ini bukan penutup tubuh. Kain ini sangat tipis. Ini bahkan tidak bisa disebut gaun. Ini lebih terlihat seperti kain yang digunakan oleh para pelacur atau Istri yang sedang menghibur suami mereka di tempat tidur.

Aura dingin menyentuh perutku saat mengenakan kain itu. Ini bahkan hampir tidak mencapai pahaku, dan semua yang ada pada tubuhku terlihat. Kainnya sangat tipis sehingga aku bisa merasakan udara dingin menyentuh tubuhku.

Melirik cermin dan melihat bayanganku. Mataku melebar saat memikirkan makhluk-makhluk itu akan bisa melihat seluruh tubuhku dengan pakaian sialan ini. Aku bahkan sudah merasa kotor bahkan sebelum disentuh. Tubuhku terekspos sempurna, karenanya dengan cepat meraih mantel dan memakainya untuk menutupi gaun itu.

Aku ingat namanya sekarang. Lingerie. Gaun yang dimaksud Tuan Thomas adalah Lingerie.

Aku memasangkannya dengan sepatu bot setinggi paha sehingga tidak ada kulit yang terlihat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memasangkannya dengan sepatu bot setinggi paha sehingga tidak ada kulit yang terlihat. Aku tidak ingin Nenek melihatku seperti ini. Air mata akan keluar dari matanya ketika melihat ini, aku yakin.

"Jane, apa sudah selesai? Makanannya siap, ayo makan." teriak Nenek dari luar.

"Aku datang!" aku balas berteriak saat mengikat tali sepatu.

Setelah mengancingkan mantel, aku berjalan keluar dan bergabung dengan Nenek di meja makan untuk makan malam. Rasa masakannya bahkan tidak pernah hilang dari bibirku, lantas apa aku sanggup tidak menyicipi ini lagi?

"Ini enak!" seruku.

Aku akan merindukan semua ini jika aku yang terpilih malam ini.

"Aku menambahkan sedikit garam." Nenek mengedipkan matanya padaku sebelum menyantap makanan.

Setelah kami selesai makan, aku dan Nenek sedang menonton TV saat ketukan terdengar pada pintu depan.

Ketakutan ku kembali. Sekarang sudah pukul 6:50. Mereka pasti datang untuk menjemputku.

"Aku tidak ingin pergi..." meraih tangan Nenek dengan tatapan sedih.

"Aku akan melihat dulu. Tetap disini." Nenek bangkit dari sofa dan menuju pintu.

Orang asing di luar sana berucap. "Kami disini untuk menjemput Nona Jennie."

"Beri waktu sebentar, Tuan." Nenek menutup pintu dan kembali padaku.

Nafasku semakin memburu saat bangkit dari sofa, air mata bahkan sudah mengalir tanpa izin. Memeluk Nenek dengan erat, aku berbisik "Aku akan merindukanmu."

Nenek menepuk punggungku lalu menarik diri. Tangannya menangkup pipiku dan menyeka semua air mata itu. "Jangan takut dan berdoalah yang terbaik. Tidak ada bahaya yang akan menimpamu, aku janji."

"Bagaimana jika mereka memilihku?"

"Kalau begitu, datanglah padaku dan kita akan lihat apa yang harus dilakukan. Jika mereka tidak mengizinkanku bertemu denganmu, aku akan datang dan mematahkan kaki mereka dan memastikan mereka tidak akan pernah lagi melihat matahari." candanya.

Suara tawa keras meledak dari bibirku ketika mendengar ucapannya. Air mataku berhenti, kembali memeluk Nenek untuk terakhir kalinya sebelum pergi bersama orang asing di luar sana.

"Apa kau memakai gaun itu?" tanya pria asing itu saat aku datang dan mereka membukakan pintu mobil.

Aku mengangguk dan memasukkan tangan ke dalam saku mantel.

"Baiklah. Kita akan segera menuju katedral." ucap pria itu, masuk ke dalam mobil dan kemudian mulai menjauh dari rumah.

Satu-satunya hal yang bersinar dalam kegelapan adalah bulan darah. Warnanya merah cerah.

Kami sampai di katedral dalam waktu singkat. Aku adalah orang terakhir yang bergabung dengan para gadis lainnya. Kebanyakan dari mereka sudah di tutupu matanya. Mereka juga mengenakan pakaian yang sama denganku. Beberapa dari mereka terisak, beberapa tersenyum, dan beberapa menggigil karena hawa dingin.

Api besar dinyalakan di tengah, mengelilingi para gadis yang ada disana. Aku melihat sekeliling dan tidak menemukan makhluk apapun. Mereka mungkin belum datang.

Salah satu wanita datang padaku, memasangkan penutup mata dan melepas mantelku. Seketika hawa dingin menusuk kulitku dengan kejam. 

Astaga, ini sangat dingin. Aku tidak tahu pasti apakah tubuhku menggigil karena dingin atau justru karena takut..

Aku tersentak saat bel berbunyi dan menggema di seluruh kota. Langkah kaki beberapa orang mulai menghilang, dan kami ditinggalkan sendirian untuk dibawa oleh makhluk-makhluk itu.

Keheningan semakin terasa saat isak tangis beberapa gadis mulai hilang. Getaran antisipasi menyentuh punggungku.

Tiba-tiba, terdengar suara keras mesin dan kendaraan mendekati kami. Aku menggigit bibir dan memainkan ujung Lingerie saat langkah kaki terasa mendekat menuju kami.

Mereka ada disini dalam bentuk manusia.

Makhluk-makhluk itu ada disini.

Mereka ada disni untuk membawa kami.

"Tolong jangan aku." gumamku saat mendengar beberapa langkah kaki mendekatiku.

Penutup mataku telah basah dikarenakan air mata. Tubuhku gemetar. Dadaku serasa bisa meledak dalam waktu dekat. 

Ketakutan yang sebenarnya datang padaku saat sepasang tangan menangkup wajahku.

"Milikku."





___tbc.

Disini ada yang suka genre fantasi?
Sampai sini dulu, lanjut atau engga nya tergantung kalian 💃

Équitation The AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang