Was It Really a Revenge, or...?

743 103 11
                                    

     PENING langsung menyerang kepalanya begitu Jimin membuka mata.

     Mungkin karena cahaya yang langsung memaksa masuk ke matanya? Atau mungkin juga karena sebenarnya Jimin masih perlu tidur lebih lama? Dia sendiri tidak begitu paham, rasa peningnya membuatnya tidak ingin berpikir lebih jauh. Setelah memijat pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa pening, perlahan dia pun sadar bahwa saat ini dirinya tidak sedang berada di dalam kamarnya. Tubuhnya berbaring menghadap pada jendela berpintu dua yang ditutupi tirai berwarna cream. "Ini kamar tamu," gumamnya. Sadar bahwa semalam dirinya mabuk berat, dia akhirnya memilih untuk tidak berpikir lebih jauh karena menurutnya wajar bila dia salah masuk kamar dan tertidur di kamar tamu.

     Tapi, rasa mengganjal kembali Jimin rasakan begitu dirinya ingin bangkit dari ranjang. Dia lalu segera meluruskan kedua tangannya untuk keluar dari balik selimut, seketika menatap kedua tangannya sendiri dengan horor. "Bukan tangan gue yang ada di perut gue... kalau gitu—" dia pun segera menoleh ke belakang dan tercengang begitu mendapati wajah seorang lelaki begitu dekat dengan wajahnya. "—anjing, apa-apaan—aw, sakit, sakit!" teriakan terkejutnya berganti menjadi teriakan sakit begitu dia melonjak duduk dan merasakan rasa kering juga perih di bagian bokong.

     "Mmh... berisik," Jeongguk bergumam sambil mengusap kedua matanya yang masih terpejam menggunakan punggung tangan kanan. Setelah mengerjap beberapa kali, akhirnya dia bisa melihat dengan jelas lelaki yang kini sudah duduk dengan mata yang menatap kepadanya. Dia tidak tahu apakah Jimin sedang menunjukkan rasa terkejut atau takut, tapi mungkin dua-duanya. Pikirannya mengatakan bahwa Jimin sepertinya sedang berada dalam kondisi shock berat.

     Kalau dipikir lagi, Jeongguk bisa mengerti. Membayangkan dirimu terbangun dengan keadaan telanjang bersama seorang lelaki—gender yang sama—setelah mengalami mabuk berat semalan, pasti itu sangat mengejutkan sekaligus menakutkan membayangkan apa yang bisa saja terjadi selama dirimu tidak sadar. Tapi, kalau diingat lagi, menurutnya kejadian semalam tidaklah terlalu buruk. "Kalau kamu bingung sama apa yang terjadi semalam, semuanya terjadi karena kamu yang mabuk dan tiba-tiba nyium aku." Dia menjelaskan dengan tenang sabil mendudukkan diri, kini bahu kirinya hampir bersinggungan dengan bahu kanan Jimin.

     "Gue... yang mulai semuanya?" Jimin mengerjap, kembali merasa gugup karena dia bahkan tidak bisa mengingat apa pun—kecuali bagian di mana dirinya menarik leher lelaki di sampingnya untuk dia cium. Fuck, gue betulan nyium dia! Wajahnya kembali memucat begitu mengingat kejadian itu. Tapi, dia tidak bisa mengingat kejadian setelah itu.

     "Kayaknya kamu gak bisa ingat?" Jeongguk memerhatikan bagaimana wajah Jimin kini memucat dengan kedua alis yang hampir mengerung sempurna. Jahil, dirinya lalu mendekatkan diri ke arah telinga kanan Jimin dan berbicara pelan, "Apa butuh kubantu biar kamu ingat? Aku bisa bikin kamu nyanyi dengan merdu lagi kayak semalam—"

     "Brengsek, ngejauh sana!" Dengan buru-buru Jimin mendorong wajah Jeongguk untuk menjauh darinya. Mendengar perkataan lelaki itu barusan benar-benar berhasil membuatnya merinding. Dia sudah memikirkannya sejak pertama rasa perih itu menyerang bokongnya. Ditambah dengan perkataan lelaki di sampingnya tadi, sudah sangat jelas bahwa... gue yang ditusuk semalam. Anjing, kok bisa!? Dengan wajah yang masih pucat dan terkesan terganggu, dia kembali melihat ke arah Jeongguk dan bersungut, "Gak usah ngada-ngada! Lo bukan yang ditusuk, jadi lo gak akan paham perasaan merinding gue karena kata-kata lo tadi!" Perkataannya ini berhasil membuat Jeongguk tertegun karena tak percaya orang sepertinya akan mengatakan kalimat tadi. Tapi, memangnya dia peduli? Walau merasa malu dan sedikit aneh karena kali ini dirinya melakukan sex dan menjadi bagian yang dimasuki, tapi dia rasa ini tidak perlu dia permasalahkan lebih jauh.

     Ini cuma kesalahan semalam karena gue mabuk, gak apa, gak apa. Jimin menenangkan dirinya sendiri dalam hati sambil melangkah menuju kamar mandi dalam kamar tamu ini, meninggalkan Jeongguk yang tanpa sadar memerhatikan lelaki itu sampai tubuhnya menghilang ditelan pintu kamar mandi.

Was It Really a Revenge, or...?

     Mercedez Benz E-300 hitam tampak berhenti di depan sebuah gerbang rumah berukuran cukup mewah di mata Jimin. Lelaki yang mengantarkan Jeongguk pulang ini bersiul sejenak atas rasa kagumnya pada rumah milik sang adik tingkat. "Gue gak nyangka ternyata lo punya rumah yang lumayan juga," pujinya, tak dibalas apa pun kecuali senyum oleh lelaki di sampingnya. Terdiam sebentar, dia lalu berdehem pelan sebelum mengatakan, "soal yang semalam itu, gue sudah anggap itu kesalahan dan gue harap lo gak akan bahas ini lagi—gue juga bakal lakuin itu. Kita balik jadi orang asing kayak sebelumnya, oke?"

     Jeongguk mengangkat sebelah alisnya, namun dia tetap mengangguk setuju. "Oke," hanya itu jawabnya sebelum membuka pintu dan berniat keluar dari mobil Jimin, namun si pemilik mobil kembali bicara.

     "Gue sebenarnya masih bingung," ucapnya yang direspon tolehan kepala Jeongguk. Kening Jimin sedikit mengerut ketika mengatakan, "lo bilang gue yang mulai semuanya, kan? Gue mabuk, gue nyium lo duluan dan bikin lo sama gue... begitu. Kalau memang gue yang mulai, terus kenapa gue yang posisinya dimasukkin?"

     "Kamu bilang gak mau bahas ini? Tapi, gak masalah." Jeongguk menggedikkan bahunya tak acuh. "Aku sepenuhnya sadar semalam, jadi aku gak mungkin nyerah buat kamu dominasi, kan?"

     Jimin hanya diam mendengarkan.

     Sebuah senyum kecil kemudian terukir di bibir Jeongguk. "Dan kalau kamu bingung kenapa aku tetap lakuin itu padahal tahu kamu lagi mabuk, jawabannya adalah ini demi kepuasanku sendiri." Rasa puas memenuhi dadanya begitu melihat bagaimana Jimin menatapnya terkejut sekaligus bingung setelah dia mengatakan, "Rasanya senang bisa jadi orang yang bikin kamu, cowok brengsek yang seenaknya nyium dan hampir having sex sama pacarku, desah di bawahku."

     "Wait—" Jimin memandang Jeongguk dengan sebelah alis terangkat. "—lo balas dendam ke gue, gitu?"

     Jeongguk tersenyum, tak menjawab dan langsung keluar dari mobil Jimin. Tidak ingin langsung pergi, dia memilih untuk membungkukkan tubuhnya dan bicara, "Walau tadi kamu bilang kita bakal jadi orang asing lagi, tapi aku gak akan biarin kamu lupa sama fakta bahwa fuck boy kayak kamu bahkan bisa aku kuasain semalam. Jadi, kuharap kamu bisa selalu ingat namaku. Jeon Jeongguk, orang yang gak pernah suka sama sikapmu sejak pertama kali kita ketemu."

     Pintu mobilnya kembali tertutup, tapi Jimin belum berniat untuk meninggalkan kediaman Jeon. "The fuck?" gumamnya dengan ekspresi yang masih menunjukkan rasa tak percaya. Matanya masih tertuju pada punggung Jeongguk yang memasuki kawasan rumahnya hingga tubuhnya tertelan di balik gerbang yang kembali tertutup.

     Di sisi lain, Jeongguk berjalan dengan pikiran yang melayang pada kejadian semalam. Sebenarnya dia masih tidak percaya pada dirinya sendiri yang bisa mengatakan hal tadi pada Jimin, tapi yang membuatnya merasa gelisah saat ini bukanlah itu, melainkan pertanyaan dalam pikirannya sendiri yang berisi, apa iya itu cuma balas dendam?

Accidentally Falling in Love [KookMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang