First Kiss -Park Jimin

754 106 6
                                    

     Jimin reflek menoleh ke arah kanan begitu satu pukulan keras mengenai pipi kirinya.

     "Kamu berani nunjukkin wajahmu lagi di sini, hah?" Yang Jimin ingat, terakhir kalinya dia mendengar perkataan bernada dingin seperti ini adalah sekitar dua tahun lalu. Meski dia tidak kembali meluruskan pandangannya untuk melihat sang ayah—sebenarnya Jimin masih merasa bingung kenapa dirinya tetap menganggap pria itu sebagai ayah padahal jelas dia sendiri tidak pernah dianggap sebagai seorang anak, dia tahu bahwa saat ini ayahnya itu sedang menatapnya dengan pandangan tajam penuh rasa benci. "Aku selalu kasih kamu uang buat hidup dan fasilitas bagus dengan syarat kamu gak perlu lagi nunjukkin wajahmu di sini. Kenapa sekarang kamu ke sini? Apa uang yang kukirim awal tahun ini kurang? Apa cewek-cewek murahan yang dekati kamu itu mau lebih banyak uang dan barang darimu?"

     Rasanya Jimin ingin tertawa karena perkataan ayahnya. Apa dia tahu gimana hidup gue sekarang? Pertanyaannya hanya bisa dia katakan dalam hati. Walau semua kata-kata itu merupakan hinaan, tapi diam-diam dia merasa senang karena setidaknya sang ayah memerhatikannya. Senyum simpul terlukis di bibirnya begitu dia kembali menatap lurus pada pria yang usianya sekitar dua kali lipat lebih tua darinya. "Aku cuma mau kasih ini ke mama habis itu pulang. Kemarin aku menang di acara lomba antar band. Hasil bagi uangnya aku pakai buat beli hadiah."

     Tuan Park melihat ke arah bingkisan yang Jimin bawa dalam balutan paper bag. Dengusan terdengar dari bibirnya akibat menahan tawa. "Apa kamu sekarang mau akting jadi anak baik lagi kayak dulu, Jimin?" pertanyaannya ini bukanlah untuk dijawab oleh Jimin. Dia tidak bermaksud untuk mengajak anak itu bicara—sejak anak itu lahir di rumahnya, tidak pernah sekali pun terpikir dalam benaknya untuk mengajaknya bicara bahkan untuk melihat wajahnya. Dan benar saja, semakin Jimin besar, semakin mirip juga anak itu dengan orang yang paling dirinya benci. "Dengar, Jimin. Segimana pun kamu berusaha buat kelihatan baik di depan mataku, yang kulihat tetaplah pria brengsek yang bikin istriku gak pernah ngeluarin suaranya lagi. Bagiku, kamu cuma bajingan yang sialnya punya privilege di wajah. Selain penampilan dan ketenaranmu sekarang, kupikir gak ada lagi hal spesial darimu yang bisa dibanggain."

     "Aku—" Jimin terdiam sesaat begitu merasakan tenggorokannya seperti kering. Dua tahun tak pernah lagi mendengar perkataan menyakitkan dari pria itu sepertinya berefek pada dirinya yang kali ini merasa tertohok. Dia sudah tidak terbiasa lagi dengan kata-kata pria itu. Setelah berhasil menguasai kembali dirinya dalam beberapa detik, dia kembali memasang wajah tenang dengan senyum simpul terkembang. Begitu dia melihat ke arah sang ibu yang sejak tadi berdiri di belakang Tuan Park, dirinya bisa melihat bagaimana wanita tersebut menatapnya dengan perasaan sedih, tapi tak satu pun kata keluar dari bibir wanita itu. Sama seperti 17 tahun hidupnya sebelumnya, wanita itu tak pernah mengatakan apa pun. "—aku bakal pergi sekarang. Kutinggal ini di sini," ucapnya sebelum meletakkan bingkisan itu di dekat kaki Tuan Park—karena dia tahu ayahnya tidak mungkin menerima pemberiannya menggunakan tangan—dan langsung berbalik untuk meninggalkan rumah besar yang pernah ditinggalinya selama 17 tahun.

     Langkah Jimin sempat terhenti begitu melihat bingkisan yang tadi diletakkannya di dekat kaki Tuan Park justru meluncur jauh melewati tubuhnya yang sedang berjalan ke arah pintu. "Kami gak butuh apa pun tanda kehidupanmu di sini," begitu kalimat yang didengarnya dari Tuan Park. Rasanya dia ingin tertawa begitu matanya terasa panas dan dibasahi oleh lapisan kaca bening. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana Taehyung akan mengatainya bodoh lagi nanti setelah dirinya sampai di pesta kemenangan mereka. Meski begitu, ketika dia melihat bagaimana syal berwarna maroon tergeletak begitu saja di lantai setelah keluar dari paper bag, ingatannya kembali memerlihatkan kejadian musim dingin bertahun-tahun lalu saat sang ibu memerhatikan benda berjenis dan berwarna sama di sebuah toko pakaian tanpa mengatakan apa pun. Senyum sedikit terkembang di bibirnya begitu melihat ibunya berjalan ke arah syal maroon itu dan mengambilnya.

Accidentally Falling in Love [KookMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang