Second Encounter -Jeon Jeongguk

801 103 13
                                    

     MATANYA terbelalak begitu laporan yang dibuatnya dengan susah payah semalam dibuang begitu saja ke dalam tempat sampah.

     "Buat apa kamu kasih ini ke aku sekarang kalau jam kuliahnya saja sudah lewat?" Perempuan di hadapan Jeongguk tampak menyilang kedua tangannya di dada dengan mata yang memancarkan perasaan kesal—marah juga bisa dikatakan perasaan yang tepat. "Dengar, Jeongguk! Semalam kan aku sudah bilang kalau laporannya harus dikumpul jam delapan pagi dan ini jam berapa? Sepuluh! Aku sudah kena marah dosen tadi dan beliau gak terima alasan apa pun. Beliau bilang nilaiku bakal kosong walaupun aku kumpulin laporan ini sekarang. Karena kamu sekarang satu nilaiku kosong, gak guna!"

     "Yeri, tunggu!" Jeongguk cepat-cepat menarik pergelangan tangan perempuan itu sebelum benar-benar berbalik meninggalkannya. Ekspresi di wajahnya benar-benar menampakkan rasa bersalah sekaligus panik. "Aku benar-benar minta maaf buat itu. Aku ngerjain laporan kamu sampai jam dua pagi dan aku gak tahu bakal kesiangan. Hari ini aku gak ada kelas jadi alarm-ku gak nyala. Pas perjalanan ke sini juga macet banget, ditambah pas sampai sini aku gak bisa nemuin kamu karena kata temanmu kamu ada urusan dulu di luar kampus. Aku benar-benar minta maaf, ini salah aku karena aku lalai."

     Yeri mendengus, merasa perkataan lelaki di hadapannya ini lucu. "Dan apa kamu pikir perkataan maafmu itu bisa bikin nilaiku muncul? Enggak, kan?" tanyanya sarkas sebelum menghempas genggaman tangan Jeongguk dan segera pergi. "Aku muak lihat mukamu."

     Jeongguk tidak tuli, tentu saja. Walau kata-kata Yeri barusan tidaklah keras, namun dirinya bisa mendengar kalimat itu keluar dari bibir pacarnya dengan jelas sebelum gadis tersebut benar-benar meninggalkannya di koridor fakultas teknik sipil.

     Sebuah tangan terulur untuk mengambil berlembar-lembar laporan yang terbuang sia-sia di tempat sampah. Perempuan yang mengambilnya lalu melihat ke arah Jeongguk dengan perasaan sedih. Ini bukan pertama kalinya dia menyaksikan Jeongguk diperlakukan begitu oleh seseorang yang lelaki itu akui sebagai pacar sejak mereka masih berada di jenjang SMA. Hampir setengah tahun berada di dunia perkuliahan pun ternyata sama saja—bahkan menurutnya Yeri makin keterlaluan. "Sudah diginiin pun lo masih tetap bertahan sama dia? Goblok."

     Jeongguk terkejut karena adanya tangan yang tiba-tiba melingkar di lehernya, terlebih kata-kata yang dia dengar selanjutnya benar-benar tidak mengenakkan. Begitu dia menoleh, sahabatnya sejak masa SMA sudah ada di sampingnya dengan wajah galak—sesuatu yang sudah biasa dia lihat tiap kali dirinya dan Yeri ada masalah. "Aku gak goblok, Lisa. Aku lakuin itu karena aku sayang dia dan itu pembuktian perasaanku buat dia."

     "Pembuktian pantat gue," Lisa mencibir. "gue bahkan gak butuh Bambam ngerjain semua tugas gue sebagai pembuktian rasa sayang dia. Lo harusnya sudah bisa bedain mana minta tolong karena memang kepepet gak bisa sama memang niatnya buat manfaatin lo, Jeongguk. Lo sudah gede! Gak sekali dua kali dia kayak gini ke lo, apa lo gak capek? Masih banyak cewek baik di luar sana yang bisa sayang sama lo secara tulus. Sejak lo masuk club modelling juga kan setahu gue cewek yang mau dekati lo itu gak dikit. Kenapa lo gak mau mutusin Yeri dan nyoba cari yang lain, sih?" Selama bertahun-tahun dia berteman dengan Jeongguk, kurang lebih selama lebih dari satu tahun inilah Lisa merasa tak habis pikir dengan seorang Jeon Jeongguk. Bisa-bisanya cowok seganteng dan sepintar Jeongguk jadi bucin tolol begitu, pikirnya untuk yang entah sudah kesekian juta kali.

     Jeongguk tidak berkata apa pun selama beberapa saat. Berkali-kali ditanya seperti itu pun, dia tidak bisa menemukan alasan lain selain, "Karena aku sayang dia."

     Helaan napas seketika keluar dari bibir Lisa. "Terserahlah, ngomong sama *bulol gak ada gunanya," balas Lisa sambil menggelengkan kepalanya sebentar lalu teringat sesuatu. "Oh, iya! Malam ini ada party yang diadain sama Bangtan! Kemarin mereka menang di final dan ngundang para penggemar buat ikut party di villa-nya Bang Jimin. Daripada lo galau mikirin Yeri, mending lo temani gue, gimana? Bambam harus ngerjain proyek kelasnya malam ini makanya gak bisa ikut gue."

     Mendengar kata Bangtan dan Jimin berhasil membuat Jeongguk kembali teringat kejadian di ruang modelling tiga hari lalu. Otaknya sangat jelas memutar kembali bagaimana Jimin saling bermain lidah dengan kakak tingkatnya sambil tangannya meremas bokong perempuan itu—sesegera mungkin dia menggelengkan kepala untuk mengenyahkan adegan gila itu dari otaknya. "Gak, aku gak akan ikut." Sejak pertemuan pertamanya dengan seseorang yang dia tahu namanya Jimin itu—dia tahu karena Jimin memang sudah terkenal di kampus dan sudah sering menjadi perbincangan teman-teman sekelasnya, dia sudah membuat keputusan untuk tidak pernah bertemu dengan lelaki tersebut secara sengaja. Dia harus menghindari lelaki tidak tahu malu tersebut agar terhindar dari masalah dan sahabatnya ini justru mengajaknya ikut ke kandang makhluk itu? Aku jelas gila kalau mau ikut ke sana, Jeongguk membatin.

     "Oh, ayolaah!" Lisa memeluk lengan kanan Jeongguk dan mengguncangkannya dengan manja. Ini kebiasaannya kalau memang sedang ingin sesuatu dari sang sahabat. "Jarang lho ada kesempatan bisa sedekat itu sama Bangtan! Aku juga mungkin bisa ngobrol sama Bang Jimin nanti. Ya, ya, ya? Lagian juga aku cuma minta ditemani karena takutnya nanti aku mabuk dan macam-macam atau bahkan jadi gak bisa pulang. Yeri bakal datang ke sana, jadi kamu bisa mesra-mesraan saja sama dia selama aku lagi fangirling."

     "Yeri mau ke sana?" Secara tiba-tiba kini Jeongguk tampak tertarik. "Kok dia gak ada bilang sama aku?"

     "Lo lagi ngelawak, ya?" respon Lisa dengan ekspresi datarnya. "Memangnya kapan dia ada bilang ke lo mau ngapain dan ke mana kalau bukan buat minta bantuan lo? Sudah, ah. Jadinya lo mau ikut atau enggak? Kalau gak mau gue datang sendiri, nih—"

     "Aku ikut!"

     Ya, Jeongguk terbukti gila.

Second Encounter

     Ramai, berisik, bau alkohol dan rokok. Jeongguk tidak pernah tahu kalau akan ada hari di mana dia akan pergi ke tempat di mana hal-hal menyebalkan itu ada. Keluarganya adalah kumpulan dari orang-orang yang selalu memerhatikan kesehatan—ayahnya dokter, ibunya perawat, kakaknya ahli gizi. Tempat hingar bingar seperti pesta yang diadakan oleh Bangtan ini? Kalau orangtuanya tahu dia berani menginjakkan kaki di tempat seperti ini, dia yakin besok dirinya sudah dipenggal.

     Jeongguk bergedik ngeri atas pemikirannya sendiri. "Persetan, aku ke sini juga bukan buat minum ataupun ngerokok, kan? Aku cuma dampingin Lisa," gumamnya pada diri sendiri. Omong-omong soal Lisa, perempuan itu sudah ke rooftop sejak lima belas menit lalu. Katanya di sanalah anak-anak Bangtan berkumpul, jadi begitu mereka sampai di villa milik Jimin dan tahu bahwa anak-anak Bangtan ada di rooftop, Lisa buru-buru berlari menaiki anak tangga tanpa perlu mengucapkan pamit pada Jeongguk. "sekarang aku cari Yeri saja."

     Langkahnya membawa Jeongguk menuju kolam renang yang berada di sisi belakang villa, berdampingan dengan taman yang begitu indah dan terawat. Dibandingkan dengan suasana di dalam, di sana tampak jauh lebih sepi dan nyaman baginya. Dalam hati dia tertawa, merasa bodoh atas apa yang dilakukannya sekarang. Tadi dia mengatakan tentang mencari Yeri, tapi sepertinya dia justru menyelamatkan diri sendiri dari suasana ramai yang tidak nyaman. "Ah, apa pun itu," gumamnya lagi dan berniat untuk duduk di tepi kolam, namun matanya justru berhasil menangkap hal lain.

     Untuk kedua kalinya, dia bertemu dengan Jimin dalam keadaan tidak nyaman. Namun kali ini, rasanya jauh lebih tidak nyaman lagi bagi Jeongguk.

     Karena kali ini, yang dilihatnya sedang berciuman dengan seorang Park Jimin di gazebo dekat kolam adalah Yeri, pacarnya sendiri.

Accidentally Falling in Love [KookMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang