13. Tipenya Sama

442 47 13
                                    

Buat yang masih baca dan ngikutin maaf ya kalau update-nya lama. Lagi sibuk sama real life. I'm so sorry if this chapter isn't good enough. Enjoy!!!.

****

Jeno pikir dia akan baik-baik saja selama Jaemin ada di sampingnya. Tapi nyatanya bayangan bagaimana kekasihnya dan Jaemin bercumbu selalu melintas jelas saat dia menatap wajah sahabatnya.

Lee Jeno ingin menangis rasanya, ada luka yang tercipta setiap kenangan itu muncul ke permukaan. Perlahan-lahan, satu demi satu menyayat hati Jeno dengan cara yang paling nelangsa. Dia tidak pernah mengira bahwa mencintai Na Jaemin akan sebegitu menyakitkannya.

"Jen, putus?" Na Jaemin tanpa permisi langsung menodongnya dengan pertanyaan begitu dia tiba di apartemen Jeno.

Lee Jeno mematikan rokoknya, tangannya mengibas-ngibas asapnya yang masih tersisa.

"Kenapa putus? Chaerin nggak sadar Jen, dia manggil nama lu waktu nyium gue. Ini murni salah gue. Gue mau buktiin perasaan gue sama dia dan nyatanya emang nggak ada. Jadi lu putus itu nggak ada gunanya." Jelas Jaemin dalam satu kali tarikan napas, sama seperti penjelasan-penjelasan yang sudah berulang kali pemuda Na itu ulangi dalam kurun waktu seminggu ini.

Lee Jeno terkekeh, bangkit dari posisi bersandarnya di kepala ranjang, dia berjalan menuju almari bajunya. Jaemin hanya mengernyitkan alis, tidak tahu apa yang ingin pemuda itu lakukan. Mungkin mengambil baju? Pasalnya saat ini Lee Jeno hanya bertelanjang dada sambil mengenakan celana jeans selututnya. Tapi ternyata yang diambil oleh pemuda Lee adalah handuk.

"Rambut lu basah, ntar masuk angin." Disekanya wajah Jaemin yang basah, lembut sekali tangan itu mengusap pipinya dengan handuk. Senyuman Lee Jeno, nada suaranya yang lembut, juga tatapan yang rasanya mampu menembus Jaemin saat itu juga saking dalamnya. Bulu kuduk Jaemin merinding. Aneh, dia merasa ada yang aneh dari Lee Jeno.

Tatapan mereka tidak berlangsung lama, Lee Jeno kemudian membungkus kepala pemuda Na dengan handuk, dengan telaten mengusak rambutnya.

"Jen, tentang Chae--"

"Nanti, Na. Nanti kita bicara. Lu mandi dulu sana, atau ganti baju aja. Gue bikinin teh anget dulu. Udah tahu hujan kenapa diterobos sih?" Sekali lagi dia mengusak rambut itu sebelum meninggalkan Jaemin sendirian di dalam kamar apartemennya. Aneh, Lee Jeno benar-benar aneh. Tapi lebih aneh lagi Na Jaemin benar-benar tidak sanggup membantah perkataannya barang sedikitpun.

***

"Iya, putus kita" Ucap Lee Jeno tiba-tiba saat Na Jaemin bersiap menghirup teh hangat yang pemuda Lee untuk seduhkan. Jaemin kemudian mengangkat wajahnya, belum sempat protes disuarakan Jeno sudah tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya.

"Bukan, bukan karena lu, Na." Ada jeda yang cukup lama, Na Jaemin mengira-ngira apa yang Jeno punya dalam kepalanya. Apakah sebenarnya dia marah? Sedih karena sudah putus hubungan? Pasalnya pemuda itu tidak menatapnya, pandangannya menerawang dan Jaemin dapat melihat lapisan tipis di bola mata kelam sahabatnya.

"Kita memang seharusnya selesai dari dulu, Na. Hubungannya udah nggak sehat, gue nggak bisa jadi pacar yang baik buat dia." Senyum tipis masih Jeno pertahankan, akhir-akhir ini Jaemin jadi sering sekali mengamati detail ekspresi sahabatnya. Dia jadi tahu sekecil apapun perubahan raut muka Lee Jeno. Entahlah, Jaemin hanya ingin lebih bisa membaca apa yang dipikirkan sahabatnya. Apakah Jeno sungguhan tidak marah padanya? Apakah Lee Jeno masih sedih karena insiden yang kemarin disebabkannya? Juga apakah Lee Jeno tidak akan menjauhinya? Ada begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa dia suarakan secara terang-terangan. 

"Belakangan ini gue jadi banyak belajar tentang diri gue sendiri, Na. Dan emang nggak seharusnya gue ada dihubungan yang nggak sepenuhnya gue inginkan. Nggak baik nyakitin perasaan orang."

Sesungguhnya Na Jaemin agak kaget dengan pernyataan temannya. Sejak kapan Lee Jeno berpikir se-dewasa itu? Itu sedikit menghiburnya, memikirikan Jeno yang biasanya bertingkah slengekan sekarang mampu berpikir untuk tidak main-main dengan hubungan.

"Napa jadi senyum-senyum deh?" Tanya Lee Jeno saat mendapati sahabatnya hanya diam saja sambil segaris senyum terukir di wajahnya, Na Jaemin hanya menggelengkan kepalanya.

"Sejak kapan lu jadi bijak gini?"

"Oooh sialan ya." Dan perang bantal di ruang tamu Lee Jeno mengakhiri masa-masa mellow mereka berdua.

"Jen" Jaemin berseru saat sesi bercanda dan tawa diantara mereka sudah reda

"Hmm?"

"Gue beneran nggak ada niat bales dendam. Serius. Kemarin gue murni mau mastiin perasaan gue sama Chaerin." Tatapannya yang serius di balas senyum teduh Lee Jeno

"Iya iya, sorry kemarin gue lagi emosi aja makanya bilang gitu. Tahu kok, Na Jaemin bukan pendendam. Kalau pun lu mau bales dendam, nggak papa serius. Gue nggak bakalan marah, Na. Santai aja."

"Orang gila, lu kenapa jadi pasrah deh? Ngapa jadi ngalah sama gue?"

"Jadi? Lu bilang jadi? Emang kapan sih gue nggak ngalah sama lu?" Lee Jeno mengatakannya dengan main-main, ada tawa yang mengudara dari sela bibirnya. Tapi entah kenapa perkataan itu menusuk Jaemin tepat sampai ke dasar hatinya.

Memang kapan Lee Jeno tidak mengalah kepadanya?

Benar juga.

Pertengkaran-pertengkaran kecil mereka, adu mulut yang selalu Na Jaemin mulai, juga pertengkaran fisik saat Na Jaemin sedang kesal dan ingin berkelahi. Tidak ada Lee Jeno pernah menang darinya. Dari dulu sampai sekarang.

Menyudahi pikirannya yang melanglang buana, pemuda Na mencoba mengganti topik pembicaraan mereka.

"Tapi, Jen. Kalau dipikir-pikir kita nih tipe ceweknya sama nggak sih? Haha. Habisnya akhirnya selalu gini, jadi orang ketiga."

"Mana ada sama." Lee mengerutkan dahinya, menolak mentah-mentah gagasan Na Jaemin.

"Iya sama."

"Emang lu suka sama diri lu sendiri?"

"Hah gimana?"

"Ya kalau iya, baru tipenya sama."




Revenge [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang