Sebenarnya Na Jaemin bukan tipe orang yang berapi-api, saat orang lain berbuat salah kepadanya dia lebih suka mengabaikan dan pergi daripada membalas dan memperumit keadaan. Tapi ini Lee Jeno yang bersalah, sahabatnya semenjak di bangku SMA. Jadi dia tidak bisa terima begitu saja. Mungkin sebenarnya alasan Jaemin membabi buta bukanlah karena seseorang merebut pacarnya, tapi karena pelaku itu adalah Lee Jeno. Jika itu orang lain, Pemuda Na itu tidak akan semarah dan sehancur ini.
Jaemin mengusap tangannya malas, sudah puluhan batang rokok ia habiskan semenjak sore tadi. Ada sekitar 5 botol soju tergeletak di sampingnya, sampai tengah malam menyapa ia tetap tak bisa tidur. Itu semua benar-benar bohong jika ada yang mengatakan bahwa alkohol dan rokok dapat melupakan rasa sakit. Dia tetap mendapati dadanya sesak dan matanya tidak pernah mau merasakan kantuk meski ia benar-benar lelah.
Dipandanginya lagi tangan kanannya, buku-buku jarinya penuh bekas keunguan. Si Lee itu adalah pemuda bugar dengan tulang dan otot yang besar jadi sudah tentu dia akan mendapatkan memar saat meninjunya tanpa ampun seperti tadi.
Jaemin menduga-duga, sejak kapan Jeno menjadi lemah? Walaupun temannya itu tidak suka berkelahi tetapi Lee Jeno bukan lelaki baik hati yang akan membiarkan orang lain memukulinya. Apa temannya itu benar-benar merasa bersalah terhadapnya?
Dia bangkit dari balkon, sepertinya ia membutuhkan mandi air segar agar isi kepalanya dapat jernih, beberapa hari terakhir ini pikirannya benar-benar kacau. Dia terus memaki Jeno tanpa henti bahkan di saat dia tidur.
Na Jaemin memandangi dua sikat gigi di atas wastafelnya. Sikat berwarna ungu yang sudah jelek itu milik Lee Jeno, lalu matanya melirik ke samping, ada juga shampo aroma buah-buahan yang sangat bertolak belakang dengan betapa manly nya seorang Lee Jeno. Jaemin tertawa kecil, dia benci sekali dengan aroma shampo yang terasa menusuk hidungnya itu.
Mungkin dia agak menyesal, wajah Jeno penuh dengan luka, bibirnya berdarah, dia pingsan, dan yang lebih membuatnya terhenyak adalah betapa sorot mata si Lee menatapnya dengan penuh keputusasaan. Itu menyakiti hati Jaemin, semuanya akan lebih mudah kalau Jeno menjadi bajingan sekalian, kenapa dia harus setengah-setengah begitu dalam mengkhianatinya?
****
"Jen, serius deh. Kenapa lu bisa ngelakuin itu?"
Lucas tidak habis pikir apa sebenarnya alasan Lee Jeno mau saja berkencan dengan gadis yang jelas adalah pacarnya Na Jaemin. Pemuda itu bukan playboy, mendekati gadis saja tidak pernah. Apa dia penganut milik tetangga terlihat lebih indah?
"Lu suka dia?"
"Hmm" Jeno hanya bergumam, dari posisi duduk bersandarnya pada ranjang rumah sakit itu dia lurus menatap pintu
"Sebegitu sukanya? Sampai mengkhianati Jaemin? "
Wong Lucas masih belum terima, pasalnya mereka itu sahabat dekat. Jangan ditanya lagi seberapa besar Jeno akan membelanya saat ada yang membuat masalah dengan Na Jaemin. Lagian mereka selalu kemana-mana berdua, jadi masa ia tega membuang persahabatannya? Pasti dia amat mencintai gadis itu.
"Hmm." Hanya bergumam lagi, tidak tertarik menanggapi pertanyaan ingin tahu Wong Lucas.
"Terus sekarang gimana? Mau sama Hyemi? Benar-benar mau putus pertemanan sama Jaemin? "
Lucas pikir Jeno sedang kebingungan. Baiklah kalau dia sangat mencintai gadis itu, tapi Lucas rasa pertemanannya dengan Na Jaemin juga sesuatu yang besar. Tadi dia peduli sekali kan?Lee Jeno mengkhawatirkan kuliah Na Jaemin yang berantakan sampai ia dipukuli habis-habisan.
"Bacot deh, Lucas. Berhenti cecar dia. Lu tu nggak peka banget."
Renjun yang baru datang menatapnya sebal, pemuda itu membawa 3 bungkus makanan untuk mereka makan, tapi Wong Lucas tidak peduli dia hanya ingin mengerti maka ditatapnya Pemuda Lee lagi.
Jeno menghela napas "Menurut lu Hyemi yang terbaik buat Na Jaemin?" Dia tidak menjawab tapi malah balik melempar pertanyaan pada Lucas.
"Jaemin kelihatan bahagia." Lalu dia mengernyitkan alisnya, merasa heran "Kenapa? Lu pikir Hyemi yang terbaik buat lu dan bukan buat Jaemin?" Lee Jeno hanya menggelengkan kepala, menyambut jajangmyeon yang Renjun ulurkan. Selanjutnya mereka bertiga hanya makan dalam diam.
****
Pada hari kelima Lee Jeno dirawat dia mendapat kejutan besar. Pemuda berbulu mata lentik yang sebulan terakhir membencinya itu tiba-tiba muncul dihadapannya.
"Gue udah mutusin. Lebih baik kita lupain semuanya."
Na Jaemin berujar lirih saat langkah kakinya tiba di samping ranjang Lee Jeno. Pemuda Lee hanya bungkam, entah mengapa dia merasa kalau bicara hanya akan membuat air matanya berjatuhan.
"Lu salah, Jen. Tapi gue juga." Tangan sahabatnya itu saling mengepal, kebiasaan buruk Na Jaemin saat ia sedang gelisah.
Jeno berdiri dari ranjang, dengan segera ia memeluk erat Jaemin. Dia merasa bodoh sekarang, kenapa juga mereka harus bertengkar seperti ini?
Ya, itu salahnya.
"Jen, sesak" 5 menit, dan akhirnya Lee Jeno melepaskannya, menatap serius pada mata jernih Na Jaemin.
Pemuda Na tertawa kecil "Lu beneran nggak cocok sama raut wajah serius kayak gini."
Jeno hanya mengerjapkan matanya. Jaemin ertawa, benar-benar tertawa. Apa dia tidak salah lihat?
Jeno bahagia sekali, pertemananya masih bisa diselamatkan.
"Jangan ulangi. " Kini pemuda di hadapannya itu menunduk, mengepalkan tangannya lagi. Dan Lee Jeno benci itu.
"Nggak, kalau lu mau berhenti ngepalin tangan. Kuku lu ngelukain tangan lu, Na." Jeno meraih kedua tangan itu, kemudian mengurai kepalannya. Telapak tangannya merah, dan ada sedikit lecet akibat kebiasaan menggoreskan kukunya yang panjang itu.
Mereka berdua saling pandang, lalu tertawa. Menertawai betapa bodohnya mereka sebulan belakangan ini. Berkelahi seperti anak SMA, berebutan gadis seperti ABG labil yang sedang kasmaran.
Ah sekarang Na Jaemin dapat menyimpulkan bahwa rasa bencinya ada karena sebuah alasan. Dia orang yang jarang peduli, jadi kalau sampai ada yang dapat membuat benci maka orang itu memang berarti.
Lagipula jelas, bukan? Lee Jeno itu sahabatnya, tentu saja berarti bagi Na Jaemin.