Sebenarnya Na Jaemin tidak bodoh. Tapi ucapan Lee Jeno kemarin dia susah sekali mengartikannya.
Maksudnya Lee Jeno suka dengan dia begitu? Ah, tentu saja Lee Jeno suka. Tapi kan kemarin konteksnya cewek, wanita, pujaan hati. Jadi Jaemin sungguh tidak mengerti apa maksud dari ucapan sahabatnya itu.
Tapi dibanding memikirkan hal itu, kini waktu dan pikiran mereka disibukkan dengan judul skripsi apa yang harus mereka ambil.
Waktu berjalan dengan sungguh cepat, tiba-tiba mereka sudah tiba di penghujung perkuliahannya. Na Jaemin mengira-ngira, hal apa yang menunggunya di depan nanti? Kemana langkah kakinya membawa setelah mereka lulus kuliah nanti?
"Kenapa sih bengong?" Ada Lee Jeno yang melempar bantal ke arahnya, Jaemin hanya menghela napasnya menoleh sedikit pada sahabatnya yang berbaring telentang sambil menyandarkan kepalanya di atas kepala ranjang.
"Lu suka sama gue?" Ada hening setelahnya, Lee Jeno mengerjapkan matanya cepat, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan. Jaemin tidak tahu kenapa dibanding hal-hal tentang masa depan yang dia pikirkan tadi malah pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
Entah berapa lama tapi akhirnya Lee Jeno tertawa, melempar satu bantal lagi ke arah Na Jaemin.
"Beneran kesambet apa gimana?" Cowok itu memajukan tubuhnya, dengan cepat meletakkan telapak tangannya di atas kening Na Jaemin.
"Nggak panas, Na."
Dengan kesal diraih tangan pemuda itu kemudian dia membawa tangan Jeno untuk menyentuh dadanya sendiri, tepat dimana jantung Jeno bekerja sangat cepat.
"Lu deg-degannya kenceng."
Hening lagi, semburat merah mulai merayapi telinga dan pipi Lee Jeno. Dia sungguh tidak paham bagaimana Na Jaemin bisa mengatakan hal seperti ini dengan wajah datarnya?
"Hahahaha, gue kaget. Lu napa deh?"
"Nanya terus, pertanyaan gue dari tadi nggak dijawab."
"Ya suka, emang lu pikir selama ini gue ngapain temenan sama lu?" Jawab Lee Jeno berusaha untuk terdengar lancar, padahal dia sudah menggila sejak tadi Na Jaemin menyentuhnya.
"Gue seminggu ini mikirin kata-kata lu. Katanya tipenya sama kalau gue naksir diri sendiri." Sudah kepalang basah, sekalian saja dia tanyakan apa yang mengganggunya belakang ini. Na Jaemin sungguhan tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Mengapa dia membahas hal ini? Apa yang sesungguhnya ingin ia dengar dan ketahui?
"Nggak bego juga ternyata." Lee Jeno tersenyum kecil, menatap Na Jaemin lurus-lurus, ada jutaan perasaan berbunga juga sakit hati akibat terlalu mendamba. Akhirnya perasaannya sedikit dapat ditunjukkan juga. Meskipun tidak akan mengubah apa-apa, karena artinya Lee Jeno bagi Na Jaemin akan tetep sebagai seorang sahabat.
"Gue emang pinter sat. Jadi lo beneran naksir?" Tak gentar, pemuda Na membalas tatapannya
"Iya" Jeno menjawab cepat
"Gue yang kaget sekarang. Sejak kapan?"
"Sejak.... nggak tau kapan, for as long as I remember gua udah suka lu aja." Jawab Lee Jeno sambil menerawang. Sejak kapan ya? Dia sungguh tidak bisa mengingatnya, tiba-tiba saja perasaan itu ada.
"Sorry ya, Na." Lanjutnya lagi. "I didn't intend to ruin our friendship." Suara Jeno sendu dan Na Jaemin ikut-ikutan sedih mendengarnya.
"Not with that narative ya, Jen. Suka sama gue nggak bakal bikin persabahatan kita rusak. Gua cuma kaget aja, kok bisa. Pacar-pacar lu selama ini juga? I don't understand."
Lee Jeno tertawa, kontras sekali dengan matanya yang berkaca-kaca, kapan saja bisa tumpah oleh betapa pengecut dan menyedihkannya dia.
"Kalau soal itu, kayaknya gue emang brengsek aja. Memulai cerita sama orang baru saat gue masih bingung sama the way I feel toward you. I did really try though, to truly falling for them." Senyumnya timbul lagi, sambil menatap mata Na Jaemin dengan tatapan yang sungguh lembut, apakah Lee Jeno selalu menatapnya seperti ini sebelumnya?
"Gue..., nggak tau harus bilang apa, Jen. Aneh aja rasanya lu suka sama gue in that way."
"You don't have to say anything. Lu nggak marah dan tetep anggep gue temen aja udah lebih dari cukup. Sejak kejadian-kejadian akhir-akhir ini gue udah berdamai, Na. I will try to let you go. Serius." Tangannya membentuk simbol V, mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. Tapi Na Jaemin tidak bisa tertawa, dia hanya tersenyum singkat sambil mengangguk.
Dan yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian melekat dalam pikirannya adalah bagaimana Lee Jeno tidak sekalipun pernah menanyakan bagaimana perasaanya bahkan saat pemuda itu mengungkapkan secara jelas bahwa dia menyukai Na Jaemin. Sampai kelulusan pun pertanyaan itu selalu dia gumamkan dalam pikirannya.
Mengapa Lee Jeno tidak bertanya? Tidak ingin tahukah dia bagaimana perasaan Na Jaemin terhadapnya? Serta memangnya apa jawaban yang bisa dia berikan jika Lee Jeno sungguhan bertanya?
Saat bangun tidur, saat akan memejamkan mata di malam hari, atau saat waktu senggangnya di tengah kesibukan bekerja. Tidak sekalipun dia punya nyali untuk bertanya langsung pada Lee Jeno.