Hari itu, Heidy merasa dunianya runtuh. Di atas meja kayu jati di ruang tamu yang megah, sebuah tiket pesawat dan surat pengantar dari ayahnya tergeletak dengan tenang. Pesantren Al-Muhajirin, El-Mansuriyah, Irak, tempat di mana ia akan dikirim untuk "memperbaiki diri" seperti yang dikatakan orang tuanya, terasa seperti sebuah penjara jauh dari kehidupan yang ia kenal. Bagi Heidy, itu adalah keputusan yang tak masuk akal, keputusan yang merenggut kebebasannya. Ia mengingat percakapan terakhirnya dengan ibunya, Amira Zehra Nabaa, wanita elegan dengan pandangan hidup yang konservatif. Amira yakin bahwa pesantren akan mengembalikan Heidy ke jalan yang benar, membentuknya menjadi perempuan yang lebih taat dan beradab. Ayahnya, Rasheed Said Al-Ahmar, seorang pengusaha sukses, tak pernah menentang keputusan istrinya. Bagi mereka, Heidy adalah anak yang perlu diarahkan, perlu dibimbing, dan mereka tak segan menggunakan cara apa pun memberontak, namun kata-kata ibunya terdengar seperti tembok tebal yang tak bisa ia tembus. "Umma, aku bisa belajar tentang agama di sini, di Baghdad. Kenapa aku harus pergi ke tempat itu? Aku sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang benar dan salah," protes Heidy, suaranya bergetar menahan emosi. "Tidak, Heidy," balas Amira dengan nada yang tak bisa ditawar. "Di sini, kamu terlalu banyak godaan. Kamu sudah diberikan kesempatan disini dengan berkuliah. Namun, kamu tetap tidak berubah dan malah melanggar lebih jauh. Heidy, Kami ingin kamu fokus, menjauh dari segala hal yang bisa merusakmu." Heidy menatap ibunya dengan pandangan penuh luka. "Jadi ini hukuman karena aku memilih jalan hidupku sendiri? Karena aku tidak seperti yang Umma harapkan?" tanyanya, suaranya kini penuh dengan kekecewaan. Amira menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Ini bukan hukuman, sayang. Ini demi kebaikanmu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."
18 parts