Pelangi kedua

125 29 15
                                    

"Masih menunggu biaya untuk operasi Bu Nura. Aku tahu ini salah, tetapi Komandan juga tidak bisa memojokkan saya seperti ini. Aku tahu dia kaya, dan tidak punya tanggungan, tapi tidak semua orang sama dengannya."

Nura ikut menghela napas mendengar lirih suara sang sersan yang gemetar hebat.

Sebuah kertas putih kecil tersodor di hadapan sang sersan. Kini ia mengangkat wajah dan menatap wajah wanita berkerudung itu, lalu meraih kertas itu.

Saat memasukkan kembali gelang ke dalam tas, belanjaan Nura terjatuh sehingga ia harus berjongkok memungutnya sampai ia menemukan struk transaksi ATM yang dibuang sang komandan.

Sersan I Made membulatkan mata, uang sebesar sepuluh juta, gaji sang komandan selama tiga bulan itu rupanya ia kirimkan seluruhnya ke rekening sang sersan yang dipegang oleh istrinya.

Kini, air mata sang sersan semakin deras ketika tahu sang komandan sangat peduli walau dalam diamnya.

"Aku memang rekan yang tidak tahu diri. Banyak dari rekan seperti saya yang sudah dibantu komandan, tetapi mata hati saya menjadi gelap."

Nura meneteskan air mata lalu tersenyum lega.

"Komandan pasti mengerti Sersan. Ayo, makan ini agar Anda punya tenaga untuk membalas kebaikan komandan dengan menjadi prajurit yang hebat."

Sersan I Made ikut tersenyum sambil menyeka air matanya. Mendorong pisang itu kembali.

"Tidak Bu Aya. Saya tidak bisa menghianati perintah komandan lagi."

Bias jingga di atas bukit Dafala membuat keduanya berdiri sambil tersenyum. Nura mengenakan teropong untuk menatap lebih jauh ke atas bukit. Kini, siluet hitam loreng di atas bukit bersalib itu membuat Nura tersenyum. Dengan teropong, akhirnya ia bisa menikmati rupa sang komandan yang berjalan gagah berani di depan sambil membawa senjata dan bendera merah putih di belakangnya.

"Kamu dan Komandan adalah pasangan dari surga. Saling melengkapi dangan serasi."

Mendengar itu, buru-buru Nura melepaskan teropong. Menatap sang sersan yang kini terlihat menggodanya membuat pipinya terasa panas.

"Saya permisi Sersan."

Dari kejauhan, Letnan Arma dengan mata tajamnya melihat seorang wanita menuruni merasa jaga. Dadanya sedikit bergemuruh, dan hatinya sedikit sesak. Entah apa yang yang dilakukan oleh wanita itu, selalu saja membuatnya penasaran sekaligus kesal.

Letnan Arma kini menaiki menara. Sedikit takut jika Nura membujuk Sersan I Made dan mendapat amarah sang sersan yang sedang kalut. Sebuah pelukan dan tangis sang sersan membuat mata sang letnan membulat heran.

"Maafkan saya Komandan. Maafkan saya." Tangis Sersan I Made membuat Letnan Arma penasaran. Kini, setelah melepaskan pelukan, Sersan I Made memberi hormat kepada Letnan Arma.

"Siap Komandan Satya Wira Yudha yonif 742! Saya Sersan I Made Winantara mengaku bersalah dan telah menerima hukuman! Saya kembali bersumpah setia kepada Komandan, Bangsa dan negara!" Sersan I Made kini memberikan struk transfer yang tadi diberikan Nura.

Sang komandan akhirnya menghela napas lalu memeluk kembali rekan sekaligus saudaranya itu. Kini, ia akhirnya tahu apa yang dilakukan Nura yang sudah membuatnya kuatir.

Setelah menuruni menara jaga, sebuah pelangi samar melengkung di atas bukit Dafala.

***

Hari ini, Gereja Katolik di desa akan melaksanakan natal. Grace dan Stefan sudah bersiap-siap karena ajakan Letnan Frans.

Syauqi sedang melaksanakan tugas malam di poskedes, sedangkan Nura baru saja kembali dari desa yang sedang panen jagung.

"Bu Aya," sapa Letnan Arma.

Di Ujung Pelangi AtambuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang