Sibuk berbenah di tempat tinggal yang baru, Nura sedikit lega. Setidaknya di tempat ini, ada Grace, Syauqi, Stefan dan para prajurit. Walau ada sedikit was-was jika saja tiba-tiba terjadi perselisihan di batas negara, ia kembali meyakinkan diri, hidupnya akan baik-baik saja selama taat kepada Allah.
Tempat yang menjadi kamarnya dan Grace serta dua rekan wanita lainnya yang berasal dari Manggarai, Flores ada di bagian paling belakang, berupa rumah semi beton kecil. Setelah menunaikan salat Ashar dan menerima segala bentuk peraturan dan tata tertib di pos selama enam bulan ke depan, Nura dan Grace memilih membersihkan diri lalu duduk di emperan pos.
Menikmati matahari yang akan terbenam bersama masa-masa penantian untuk mengajar di perbatasan. Nura sedikit penasaran, sesampainya di pos, belum sekali pun ia melihat sosok si mata tajam. Namun, ia juga enggan untuk bertanya.
Kini, ia lebih memilih mengedarkan pandangan ke atas bukit-bukit sabanna yang masih gersang serta terpaan angin yang sangat kuat. Grace menyandarkan kepala di pundak sahabatnya, lalu mendengus.
"Kamu udah dilamar aja sama komandan, la aku? Gimana mau dapat anak konglomerat di sini." Nura tergelak mendengar itu lalu menggelengkan kepala.
"Kalian pikir Letnan Arma itu serius? Saya tidak mempercayainya sama sekali."
Grace segera menatap sahabatnya dengan lekat.
"Bagus! Sepertinya dia juga buaya." Grace mengangguk meyakinkan.
"Dibandingkan buaya, Komandan itu mala bentuk lampaunya." Grace dan Nura menoleh ke arah suara serak dan berat dari arah belakang.
Sersan Frans rupanya sudah tersenyum manis dengan kulit hitamnya yang mengkilap.
"Maksud Sersan bentuk lampau apa?"
"Bentuk lampau buaya sebelum evolusi mungkin komodo. Komandan itu dingin banget susah mengutaran perasaan, kaku seolah mengatakan ia suka sama halnya bunuh diri."
Semua ikut terpingkal mendengar ucapan sang sersan.
"Nura, saya harap kamu benar-benar bisa membuat komandan tersenyum."
Nura segera terdiam, bertanya pada diri sendiri mengapa harus ia. Mengapa semua mengatakan itu, padahal jelas sang komandan hanya membencinya.
Selepas kepergian Sersan Frans, Nura bangkit berdiri dan menatap kembali ke aeah bukit yang seolah ingin menjadi tempat sang surya bersembunyi dengan jingga yang merona.
Kini, mata Nura kembali fokus ke atas sana, bayangan beberapa kepala yang kini semakin jelas berupa siluet dengan salah satunya terdapat kobaran bendera membuatnya terpaku. Dadanya bergemuruh menatap beberapa siluet tubuh itu semakin jelas dan membesar.
Komandan dan enam anggota lainnya kini telah melihat posnya darj kejauhan. Model senjata MP-5 di tangan, helm kavler dan salah seorang membawa bendera di punggungnya.
"Hidupkan jiwa korsa!"
"Hormat! Setia! Semangat bersama! Tanggung Jawab dan loyalitas!"
Teriakan penyemangat itu menggema bahkan terdengar oleh Nura dan Grace. Kini pasukan itu berlari kecil menuruni bukit dengan derap sepatu yang teratur.
"Merah putih! Indonesia!" Yel-yel yang mengiringi tiap langkah mereka yang semakin mendekat ke arah pos.
"Wah sudah ada ibu negara," goda Sersan Arif.
Sementara yang lain hanya menatap heran dua wanita yang sedang berdiri di depan pos.
"Level komandan emang beda ya," bisik Grace yang tidak mendapat respon dari Nura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Pelangi Atambua
RomanceKatanya, semua yang ada di bumi ini punya kilas balik masa lalu yang menyertai kehadirannya. Katanya lagi, semua yang terjadi itu punya alasannya masing-masing. Lantas, apa benar, baik mencintai atau membenci juga harus beralasan? Sama halnya dengan...