Memasuki kelas lima, Nura merasa lega. Suasana tampak tenang dan konsdusif. Buku dan alat tulis mereka bahkan sudah tersedia di atas meja.
Grace mengatakan, setiap pelajaran seni budaya, salah seorang anak bernama Bob tidak akan pernah mau menyanyi. Dan setiap pulang sekolah, anak itu akan mengerjai temannya dengan bermacam cara dan selalu dihukum.
Seperti sekarang ini, jumlah siswa tiga puluh empat orang. Masih ada empat belas anak yang belum menyelesaikan lagu nasional.
Satu persatu sudah maju kembali. Bear kata orang, suara anak-anak dari timur Indonesia tak kalah dengan artis internasional.
"Siapa lagi yang belum?" tanya Nura.
Semua telunjuk mengarah ke bangku belakang, kepada seorang anak lelaki yang kini menunduk. Rambut ikal dan baju putih yang lusu lalu.
"Bob, Mama Guru!" seru beberapa siswa.
"Bob, ayo maju, Nak." Nura dengan senyum manisnya menyapa Bob yang masih saja menunduk.
"Ayo Bob! Maju kau!" teriak beberapa anak.
Dengan pelan, anak bernama Bob maju dengan menyentak beberapa meja yang di laluinya.
"Habis kau nanti kena marah Mama Guru," bisik yang lain.
Bob kini ada hadapan Nura.
"Bob mau nyanyi lagu apa?"
Hanya dijawab dengan gelengan kepala, Nura kembali menghela napas.
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya.
Indonesia sejak dulu kala, selalu dipuja-puja bangsa.Menyanyikan lagu Indonesia Tanah Air Beta, Nura menatap Bob yang masih menunduk.
"Bob tidak tahu lagu itu ya?"
Bob tidak menjawab, membuat Nura kembali menghela napas. Apalagi itu adalah nilai semester mereka yang akan berakhir untuk libur panjang.
"Ya sudah, kamu boleh duduk jika memang tidak tahu."
"Sa tahu Mama Guru, tapi sa tidak boleh nyanyi." Nura mengangkat wajah mendengar jawaban itu.
"Memangnya kenapa Bob?"
Bob terlihat ingin mengatakannya tetapi kembali menunduk.
"Hukum Bob saja Mama Guru." Nura melengkungkan senyum sambil menggelengkan kepala.
"Kalau Bob tidak bilang alasannya, Mama Guru tidak akan hukum. Sudah, kembali ke tempat dudukmu. Kita belajar yang lain dulu."
Hujan sudah berhenti. Kini matahari yang sedikit terik membuat suasana kelas menjadi panas. Sampai jam pulang sekolah, salah seorang siswi berteriak.
"Mama Guru, Bob lempar sa pake karet gelang!"
Semua mata kini menatap tajam ke arah Bob. Beberap anak yang lain bahkan kini ikut membidik karet gelangnya ke arah Bob.
"Dia ejek sa duluan Mama Guru," bela Bob.
"Dia ejek kamu bagaimana?" tanya Nura merasa canggung melihat tingkah anak-anak itu.
Masih ingin mengatakan, Bob kembali mengurungkan niatnya lalu menunduk.
"Sa salah Mama Guru. Hukum saja." Nura membuang napas kasar lalu kembali tersenyum.
"Sudah, kalian bisa pulang. Bob saya hukum merapikan kelas ya."
Nura dan yang lain kini keluar kelas.
"Eh, Meiliana, kamu tahu Bob tinggal di mana?" tanya Nura kepada anak yang tadi dikerjai Bob.
"Mei tidak tahu Mama Guru. Tidak ada yang mau teman sama Bob itu, nakal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Pelangi Atambua
RomansaKatanya, semua yang ada di bumi ini punya kilas balik masa lalu yang menyertai kehadirannya. Katanya lagi, semua yang terjadi itu punya alasannya masing-masing. Lantas, apa benar, baik mencintai atau membenci juga harus beralasan? Sama halnya dengan...