Dari Letnan Arma

112 27 10
                                    

Nura kembali tersenyum, lalu menatap ke langit yang telah dinaungi jingga.

"Abah, saya rasa rencana Allah melebihi apa yang Abah risaukan. Mungkin, Letnan dan Bang Khalid bukanlah pengganti untuk Abah, melainkan pelengkap untuk semua kebaikan dan amalan yang Abah telah lakukan."

Sang Kyai kini memgerutkan dahi dengan ucapan Nura.

"Saya tidak tahu apa yang Bang Khalid lakukan saat ini. Tetapi, dari Letnan Arma, saya melihat Islam dari sudut pandang lain, Abah. Muamalah, Letnan Arma sukses melakukan itu. Bagaimana seorang Gus Tariq menjadi abdi negara, menjaga setiap jengkal tanah bangsa ini dan memberikan pelayanan terbaik kepada semua masyarakat tanpa pamri. Abah, bukankah itu makna Islam yang sesungguhnya? Menjadi rahmat ke seluruh alam?" 

Kini, setetes bulir bening jatuh dari pelupuk sang Kyai. Hatinya terasa sesak dan bergemuruh. Sementara Nura tersenyum lalu kembali menatap air mancur di hadapannya.

"Dari Letnan, saya belajar bahwa menjadi muslim yang sesungguhnya, bukan hanya dengan amalan di dalam pondok, menjadi ustaz dan ustazah atau bersekolah ke timur tengah. Islam yang sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa menjadi manfaat apa pun pekerjaan yang kita lakukan. Di Atambua, saya melihat seorang pemimpin muslim yang hebat hidup dalam diri Letnan Arma, tentang bagaimana ia menjaga amalannya sebagai seorang muslim dan menjadi manfaat sebagai seorang yang mengaku Islam."

Kini, dari samping Nura, sebuah isakan terdengar. Nura tersenyum sambil menoleh ke arah sang kyai.

"Abah beruntung, punya anak seperti Komandan. Karena, kita sebagai manusia pun tidak tahu dari amal mana yang Allah pandang untuk memberikan rida-Nya. Komandan sedang melakukan jihad yang hebat untuk agama dan bangsanya."

Kumandang azan Maghrib membuat keduanya terkesiap dari hening.

"Ayo, Abah kita ke Masjid Besar."

"Umi, ini foto waktu kami sedang membantu warga memperbaiki saluran air. Dari sana, mereka juga mau buat musallah kecil di desa Turiskain untuk kami para tentara untuk salat Jum'at." Ibu Letnan Tariq dengan wajah pias, menyeka butiran bening dari pipinya. Melihat kegiatan sang anak yang jauh di sana membuat sang ibu haru. Kini, hatinya ikut pedih mengingat Khalid yang kini belum diketahui keberadaannya.

"Saya yakin, Bang Khalid juga sedang bahagia dengan apa yang beliau impikan, Mi.  Hanya saja, berikan restu Umi dan Abah agar impian kami bisa menjadi berkah dan pahala." Letnan Arma kini berlutut di depan sang ibu, mencium tangannya lalu memandang wajah sang ibu dengan senyum yang sangat ringan.

Sang ibu, mengangguk memeluk putranya yang kini benar-benar dewasa.

"Umi selalu bilang, dakwah itu bukan profesi, tetapi apa pun profesinya, kita wajib berdakwah." Sang ibu kembali mengangguk mengingat ucapannya saat melepas sang putra masuk pendidikan militer.

Dari balik pintu, Kyai Huzaifah ikut menyeka air matanya. Pertemuannya dengan Nura, membuatnya kini tersadar bahwa cita-cita sang putra tidak salah sama sekali.

Ada langkah ingin menghampiri sang putra, tetapi kembali terhenti karena lelaki tua itu belum mampu meredam sesak di hatinya.

***
"Mbak Nura, pesanan di meja teras depan lantai dua ya," sahut seorang pegawai tempat Nura juga bekerja.

"Untuk dua orang ya?" tanya Nura sambil meraih nampam berisi soto dan es teh.

Kini, menuju lantai dua, dan menuju meja di teras dari bagunan berdinding kaca, wajah Nura mengkerut sambil melambatkan langkah kakinya mendekat ke punggung seorang lelaki dengan jaket hitam.

"Pesanannya, Mas," ucap Nura yang kini meletakkan dua mangkok sop di atas meja.

"Satunya buat kamu." Nura tersentak saat tahu laki-laki yang ada di hadapannya adalah Letnan Arma.

Di Ujung Pelangi AtambuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang