Setelah berhasil membobol gawang lawan, sang letnan bahkan masih tampak kaku tanpa senyum sedikit pun, walau para rekannya sudah bersorak.
Kini, team yang kalah harus melalukan koprol sebagai hukumannya.
Melihat kepiawaian sang letnan, tanpa sadar senyum Nura terlukis. Sudah beberapa kali lelaki itu menyelamatkan nyawanya. Bahkan enam bulan di tempat itu, Nura sangat bahagia dan mampu beribadah dengan baik karena salah satunya, sang komandan yang juga sangat tegas dalam hal beribadah.
Benar, enam bulan terasa sangat singkat. Seperti ketetapan pelangi yang sangat indah tetapi hanya sesaat. Kini, ia harus kembali memperkuat pertahanan hatinya untuk kenyataan pasti saat kembali ke Pasuruan, nanti. Di mana, ia akan kembali menitikkan banyak air mata dalam diam, dan tersenyum walau pahit.
Letnan Arma menghentikan langkah saat melihat di pinggiran lapangan, seorang wanita dengan senyum yang selama enam bulan ini banyak menganggu tidurnya. Wanita yang belum sekali pun terlihat sehelai rambutnya itu, seolah sedang menatap jauh.
Tak lama, tatapan keduanya bertemu. Letnan Arma yang hendak menghampiri wanita dengan senyum seindah pelangi itu kini kembali terhenti kerena Nura lebih dulu berlari pergi. Sang letnan berbalik, dan menatap Medina yang kini mengepalkan tangan menatapnya penuh amarah lalu ikut berbalik dan pergi.
Bunyi tanda bendera diturunkan membuat para prajurit itu mengambil sikap sempurna di tempat dengan berdiri tegap, sebagai tanda penghormatan kepada pejuang yang merebut kemerdekaan.
Kini, pikiran sang letnan sedikit kacau dengan ekspresi wajah Nura. Ditambah kehadiran Medina yang bisa saja membuat Nura salah paham kepadanya.
Menunggu makan malam di rumah Letnan Jo. Nura dan Grace bersantai di halaman rumah sambil menatap bintang-bintang musim kemarau yang terlihat sangat dekat. Udara malam yang dingin karena angin tenggara membuat keduanya menggigil walau kini menutup tubuh dengan selimut. Letnan Jo sedang membakar ikan seorang diri.
"Kalian nggak bantu Kakak?" teriak sang letkol yang sedang kewalahan mengipas bara api.
"Nggak! Kapan lagi kami punya waktu santai kayak gini."
Grace sedikit membalas dendamnya karena hari-hari awal yang berat di ujung batas negara tanpa fasilitas yang baik. Bahkan kini, kartu ponselnya hanya aktif sebulan sekali.
"Komandan!" Saat sibuk mengipasi ikan, Letnan Jo terkejut dengan kedatangan Arma.
"Eh, Gus, ada perlu apa?"
"Saya mau bicara dengan Nura, Komandan. Boleh?"
Keduanya melirik ke arah dua wanita yang kini berselimut di atas bangku agak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Ge! Ambil garam!"
Tanpa melirik ke arah sang kakak, Grace mengangkat selimutnya dan beranjak masuk ke dalam rumah.
"Terimakasih, Komandan."
Letnan Jo hanya mengangguk sambil tersenyum. Melihat wajah bawahannya itu, ia sudah bisa menebak ada sesuatu di antara dua makhluk itu.
Nura membulatkan mata, ketika sibuk menatap bintang, wajah Letnan Arma muncul di hadapannya seolah menunduk menatapnya.
Nura yanh merasa sedang berhalusinasi, memejamkan matanya lalu kembali membukanya.
"Astagfirullah!" Nura hampir saja terjungkal mengetahui apa yang ia tatap adalah kenyataan.
"Kenapa istighfar?" tanya sang letnan heran.
"Ternyata memang benar, kenyataan itu selalu mengejutkan," canda Nura sambil tersenyum.
"Ada apa Komandan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/250532161-288-k375936.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Pelangi Atambua
RomanceKatanya, semua yang ada di bumi ini punya kilas balik masa lalu yang menyertai kehadirannya. Katanya lagi, semua yang terjadi itu punya alasannya masing-masing. Lantas, apa benar, baik mencintai atau membenci juga harus beralasan? Sama halnya dengan...