Pelangi Pertama

105 29 6
                                    

Nura memilih turun dan ikut berdiri di samping sang letnan. Menunjuk ke arah depan yang kini diikuti Letnan Arma. Busur pelangi sempurna melengkung di langit Atambua. Nura menoleh ke arah sang komandan yang wajahnya masih sangat tegas. Walau demikian, benar apa yang dikatakan para dokter wanita di Silawaan. Sang Komandan pos Dafala memanglah lelaki tampan, rupawan dan bertanggung jawab.

"Kamu masih bisa tersenyum walau nyawa kamu terancam seperti tadi? Apa selama ini kamu menjalani hidup yang sulit masih dengan senyum itu?" sinis Arma sambil menatap Nura yang terus saja tersenyum kagum dengan pelangi yang jauh di depan mata.

"Saya percaya, hujan badai, gelap tak selamanya melanda. Setelah itu baik pelangi, dan fajar tentu datang menghangatkan. Saya selalu percaya dibandingkan mereka yang menyakiti saya, masih banyak yang menyayangi saya dengan tulus. Untuk apa terpuruk untuk satu kesedihan sedangkan banyak alasan untuk bahagia?"

Letnan Arma kini bersedekap sambil memandang kembali busur pelangi. Ikut mengangguk paham ucapan Nura.

"Ayo pulang, suda mau Maghrib." Letnan Arma kini kembali berjongkok.

***

"Nura!" Grace mendapati Nura kini muncul bersama samg komandan judes.

"Kamu kenapa Nur?" Dokter Syauqi dan Stefan ikut berlari ke arah Nura.

"Dia disengat kalajengkin. Tolong ditangani."

Dengan cepat Grace memapah sahabatnya ke ruang kesehatan pos.

Setelah mendapatkan obat, Nura kembali ke kamar dan malaksanakan salat Maghribnya yang tertunda.

"Grace kalian beli apa di kota?" tanya Nura sambil mengoleskan minyak tawon ke kakinya.

"Aku beli baju buat Bob, Dokter Stefan beli perlengkapan bayi."

Nura mengulum senyum melihat Grace yang sangat antusias memperlihatkan beberapa baju untuk Bob. Rupanya hidup di perbatasan sama-sama mengajarkan mereka arti berbagi. Dibandingkan keperluan mereka, kini semuanya belajar tentang siapa yang lebih membutuhkan.

Pagi menyingsing. Selama libur sekolah, para guru akan membantu aparat pada kewirausahaan masyarakat dan pertanian.

"Nur, kamu mau ke kota hari ini?" tanya Grace melihat sang sahabat sudah berjalan dengan baik.

"Iya, Ge. Hari ini mau beli kebutuhan diri."

"Hati-hati, Nur, si mata phoenix jangan-jangan mau buang kamu ke hutan."

Grace masih saja tidak percaya dengan sang komandan yang selalu memasang wajah serius.

"Emang kenapa?"

"Kan, lamarannya kamu tolak. Nanti dia ngancam kamu supaya kamu terima." Tawa Nura kembali tergelak mendengar keparnoan sahabatnya.

"Atau jangan-jangan kemarin dia sengaja buat kamu digigit kalajengking, supaya bisa gendong-gendong? Ihhh." Nura semakin terbahak.

"Jangan ngomong gitu ah, nggak mungkin juga komandan kurang kerjaan."

Suara deheman dari arah luar membuat keduanya terdiam.

"Ayo berangkat, pasar cepat tutup di perbatasan!" Letnan Arma kembali beranjak membuat Nura dan Grace saling bertatapan.

"Loh, kok naik motor? Nggak boleh boncengan loh, bukan mahram," sewot Grace melihat motor bebek.

"Emangnya mau jalan kaki? Truk lagi ke Desa Silawaan. Kota Atambua dan sekitarnya cuma bisa diakses motor dan truk militer. Kalau kamu nggak mau ya sudah." Letnan kini menstater motor.

Di Ujung Pelangi AtambuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang