"Aku bilang juga apa, Letnan Arma itu cocoknya sama Medina Handoko. Bukan guru honorer rendahan," cibir seorang dokter wanita yang dulu berseteru dengan Grace.
"Nura, ayo ke tempat Kak Jo. Di sini banyak hama."
Grace sudah jauh lebih dewasa. Tidak ingin lagi memperkeruh suasana dan lebih memilih pergi.
Kini, mereka sedang sibuk membantu Letnan Jo memberikan sembako.
Nura dengan senyum manis kini menuju seorang lelaki berumur empat puluh tahun sambil membawa sembako.
Prak!
Bungkusan itu ditepis sang bapak sampai terjatuh.
"Ko mau bom saya kah? Orang Islam macam kamu cuma jadi terosis saja ka?"
Nura terkejut. Masih saja, ada beberapa orang yang phobia dengan pakaian yang ia gunakan.
"Makanya, jadi wanita jangan sok alim!"
Medina dengan cepat meraih kantongan itu dan menggantinya dengan yang lain."Siapa yang terosis!" Grace kini muncul sambil merangkul Nura yang masih syok.
"Bapa! Sa kenal nona ini dari kecil. Sa juga sama macam Bapa, sa kristen. Dia pu keluarga pake begini semua, tapi mereka tidak bikin bom. Ini bukan baju terosis tapi baju orang Islam yang asli, Bapa tentara itu juga banyak Islam, jadi Bapa, jangan hakimi orang dari pakaian!" Grace membuat Nura terkejut dengan dialeg yang sangat kental. Seketika lelaki itu menatap malu ke arah Nura, lalu membungkuk meminta maaf dan beranjak.
Kini Grace menatap kesal ke arah Medina yang masih melipat tangan di dada.
"Yang aneh itu, kalau mengaku Islam tapi pakaiannya tidak terlihat seperti orang Islam pada umumnya," sindir Grace lalu membawa Nura pergi dari tempat itu.
Kegiatan bakti sosial itu berlangsung sampau malam. Selepas salat Isya, sebuah layar besar di tengah lapangan sekolah kini terpasang. Lampu-lampu sorot di pinggir-pinggir lapangan mulai menyalah.
Letnan Arma sedang mengatur foto dokumenter dari profil Desa Houmeniana dan film bertema kebangsaan yang akan diputar di layar besar itu.
Antusias masyarakat sangat besar. Karena jaringan listrik yang terbatas ke desa sehingga belum ada rumah yang memiliki televisi. Hal ini dimanfaatkan para warga desa untuk datang menonton. Kini lapangan sekolah dasar itu penuh dengan masyarakat mulai dari anak-anak kecil yang duduk oaling depan dengan tubuh masing-masing terbungkus selimut, ibu-ibu yang beberapa di antaranya menimang anak bayi, dan para bapak-bapak yang membungkus diri dengan sarung tenun khas timor.
Setelah profil desa, film Tanah Air Beta, garapan Ari Sihasaleh kini membuat para masyarakat, anggotan TNI dan semua yang hadir hanyut dalam film tentang tanah Timur Lorosae yang saat itu terpisah.
Tak sedikit dari warga desa yang menitikkan air mata, mengingat kejadian piluh puluhan tahun silam itu, dimana tanah yang dulunya bersama itu, kini menjadi negara yang bertetangga.
Letnan Arma kini, kembali dari truk meraih selimut yang hendak diberikannya untuk Grace dan Nura yang dari tadi terlihat menggigil kedinginan. Grace sudah melambai melihat selimut di tangan sang komandan.
"Kak Arma, aku dan Sesil butuh selimut." Medina yang sudah lebih dulu melihat itu, datang dengan memelas.
Menyerahkan selimut itu, senyum Medina melengkung sambil mencibir ke arah Grace. Dengan kesal Grace beranjak meninggalkan Nura yang masih antusias menonton film untuk mencari selimut.
Nura tiba-tiba terkejut, ketika sebuah jaket kini menutupi punggungnya dari belakang. Aroma dan kemunculan sang komandan yang kini duduk di sampingnya setelah memakaikannya jaket membuat Nura sedikit menggeser badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Pelangi Atambua
Roman d'amourKatanya, semua yang ada di bumi ini punya kilas balik masa lalu yang menyertai kehadirannya. Katanya lagi, semua yang terjadi itu punya alasannya masing-masing. Lantas, apa benar, baik mencintai atau membenci juga harus beralasan? Sama halnya dengan...