Gaji dan Rejeki

135 32 20
                                    

Nama terakhir setelah Nura yang disebutkan masuk ke kelompok sang Komandan adalah Syauqi Aryantara. Membuat sang komandan melirik sinis ke arah Sersan Frans.

"Gebetan dan saingan," bisik Sersan Arif sambil menahan tawa.

"Kelompok saya, kumpul di sebelah kanan!"

"Siap! Kumpul!"

Grace menatap kepergian Nura yang terpisah dengannya. Beruntung, Stefan bisa menjadi teman berbaginya tanpa Nura.

Pukul satu malam, di tengah gelap dan dingin yang menusuk, semua peserta dengan berbekal tali tambang dan hatlamp di setiap kepala PJ, masing-masing berjalan dan masuk ke dalam hutan.

Setelah berjalan satu jam, mereka sampai di pos pertama, latihan kedisiplinan. Sepuluh peserta masuk ke hutan yang terdapat batu yang bersusun naik berupa pondasi. Seperti bekas benteng pertahanan yang lama. Semua tidak terlihat jelas karena hari masih gelap.

Dalam remang dan dingin, suara bariton yang menggelegar dengan segala bentuk perintah memecah hening. Latihan kedisiplinan berupa pengulangan latihan baris berbaris, gerakan sigap cepat dan kekompakan team membuat semua lelah dan kantuk hilang seketika.

"Kamu! Maju!" Nura menarik napas panjang saat telunjuk itu terarah kepadanya.

Maju dengan hati yang sudah siap menerima segala bentuk hukuman karena lambatnya pergerakan.

"Kamu tahu kesalahan kamu?"

"Siap! Tahu Komandan!" Nura bahkan mendongakkan kepala dengan lantang menatap mata tajam lelaki di hadapannya.

"Karena kalian tidak kompak, saya kasih kamu dua pilihan, jalan jongkok bersama ke pos dua, atau bawa ransel saya sendirian sampai pos terakhir!"

Nura melengkungkan senyum, "Pilihan kedua, siap!"

Beberapa rekan yang lain saling bertatapan, lalu kembali terdiam ketika perintah berjalan kembali digaungkan.

Dengan langkah tertatih, dan punggung yang serasa sedang memikul batu gunung, napas Nura terengah. Beberapa kali tertinggal tetapi Nura selalu bertekad tidak akan menyerah hanya dengan secuil beban itu. Baginya, selama ia belum mendapatkan alasan sang komandan, sekeras apa pun hukuman dan usaha sang letnan, ia tidak akan mundur.

"Lamban! Lelet! Lemah!"

Ucapan yang selalu menggema di telinga Nura ketika ia harus tertinggal.

Mencapai pos selanjutnya, wawasan kebangsaan. Semua kini harus maju satu per satu untuk menjawab semua pertanyaan para prajurit penjaga pos.

Nura menurunkan ransel berat sang komandan. Tiga orang tentara yang ada di pos saling berpandangan menatap sang wanita berjilbab itu. Tidak ada yang berani berbicara.

Pertanyaan seputar pancasila, Undang-undang dasar, sejarah, dan kepahlawanan menjadi santapan malam semuanya.

Beberapa yang tidak bisa menjawab kini harus rela mendapat hukuman. Tiba giliran Nura. Tatapan tajam sang komandan tidak membuatnya surut.

Semua pertanyaan untuk Nura terjawab dengan baik. Bahkan lengkung senyum membuat para prajurit menggeleng kagum dengan ketegaran wanita berkerudung itu.

Letnan itu masih belum puas sehingga dengan cepat ia memberi kode agar semuanya mundur.

Nura menghela napas sesaat lalu kembali tersenyum menatap si mata phoenix.

"Wawasan kebanggasan itu bukan hanya tentang teori! Banyak dari mereka yang hafal teori tetapi terkadang materi adalah segalanya. Gini, kalau kamu pikir jadi guru di perbatasan gajinya besar, kamu salah, nyatanya sebulan di sini bahkan kerudungmu tidak akan bisa berganti yang baru!" ketus sang komandan dengan sinis.

Di Ujung Pelangi AtambuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang