Melampaui Batas

100 28 3
                                    

Kini airmata Stefan ikut lolos. Baru kali ini ia akhirnya merasa benar menjadi dokter. Baru kali ini juga ia merasa keputusan mama dan papanya adalah benar agar ia menghargai profesi dokter bukan hanya sebagai pekerjaan mewah dengan bayaran uang.

Rupanya, ucapan terimakasih dan tolong jauh lebih berharga dari pada bayaran materi.

Kini ia menatap Letnan Arma dengan lirih.

"Komandan, maafkan saya."

Semua ikut mengulum senyum melihat kepercayaan diri Stefan kini muncul. Perjalanan pulang bersama senja membuat kekayaan batin mereka masing-masing sangat penuh.

Stefan kini sudah banyak bercerita tentang suka duka menjalani pendidikan kedokteran.

Sampai di pos Dafala dalam waktu malam, semua terkejut mendapat kunjungan Letkol Jo, kakak Grace.

Pelukan manja sang adik yang ia rindukan kini tidak ia dapatkan. Grace lebih memilih berbaur dengan yang lain. Rupanya, tingkat kedewasaan sang adik kini jauh lebih besar. Bahkan saat berbincang bersama, Grace selalu memuji warga desa dan para muridnya.

***

Mata siapa yang tidak berbinar melihat amplop berisi rupiah. Walau tak seberapa, baik para guru, dokter dan prajurit ikut bersorak.

Grace dan Nura serta Syauqi dan Stefan bahkan sudah merencanakan berbelanja untuk keperluan sekaligus menghirup udara kota Atambua.

Nura dan Letnan Arma kini kembali ke sekolah untuk mengambil berkas sebagai bukti salah satu pelaksaan program Rumah Wira Yudha yakni prajurit masuk sekolah terealisasi dengan baik.

Grace dan Stefan sudah lebih dulu menuju kota Atambua untuk berbelanja.

Sementara Syauqi dan Sersan Arif menuju poskedes.

Setelah berkas terkumpul, semuanya kembali bertemu di persimpangan desa. Cuaca yang memasuki musim penghujan di siang itu membuat langit masih mendung.

"Mama Guru!"

Nura dan Letnan Arma saling bertatapan, lalu sekilas kemudian mereka menoleh ke arah Syauqi dan sersan Arif.

"Kalian duluan ke Pos, Dokter tolong temani Sersan dan yang lain ikut patroli, saya dan Bu Aya mengecek anak itu dulu."

Semuanya berpisah kembali dengan Nura dan Letnan Arma menghampiri Bob yang terlihat menangis.

"Ada apa Bob?" tanya Nura terkejut dengan tangis Bob.

"Bapa Tentara dan Mama Guru, tolong saya pung nenek. Dia sakit keras dan orang desa tidak mau antar ke rumah sakit!" Tangis Bob semakin keras membuat Letnan Arma dan Nura saling bertatapan.

"Ayo kita kembali ke desa." Dengan cepat mereka bertiga kembali menempuh jalan yang sama. Setapak dengan penuh lumpur bahkan sebua sungai yang kini arusnya tidak sederas dulu. Bob berlari lebih cepat dan kini  ketiganya menembus hujan yang mulai membasahi bumi Timor Leste.

"Letnan saya takut." Kini memasuki desa itu, Nura sedikit ketakutan perihal menembus batas negara.

"Kamu kan punya pasport dan visa bebas ke sini."

"Iya, tapi saya takut karena ini bukan negara kita."

"Perihal takut nanti saja, nyawa seseorang lebih penting."

Nura dan Letnan Arma kembali berlari.

Kini mereka mendapati seorang wanita tua yang terbaring dengan lemah. Wajahnya terlihat pucat dengan cahaya pelita. Desa Badut Mean atau dengan arti Damar Merah adalah nama desa itu. Beberapa masyarakat sudah berdatangan melihat keadaan Nenek Bob.

Di Ujung Pelangi AtambuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang