10

31 3 0
                                    

“Beres, Zi?” tanya Nadia begitu keluar kelas.

Ziya hanya menjawab dengan anggukan seraya tersenyum kecil, “ini di atas kepala ada bintang muter gitu, keliatan gak?” tanyanya.

“Bukan bintang, Zi. Tapi burung terbang mondar mandir di atas kepala,” timpal Nadia.

Ziya tertawa kecil, “gak nyangka ujian komprehensif makan waktu berminggu-minggu dan lumayan nguras otak,” keluhnya.

“Hahaha, tapi lega, Zi. Apalagi kamu skripsi juga tinggal nyusun bab empat. Tinggal siap-siap sidang aja, sih.”

“Nanti dulu deh, pengen istirahat,” keluh Ziya dengan ekspresi lelah yang dibuat-buat.

“Ah, kamu bilang begitu paling besok pagi juga udah stay di perpustakaan. Udah, ah, yuk pulang. Keburu maghrib,” ajak Nadia seraya berdiri dan menarik tangan kawannya.

Ziya bangkit dari duduknya, ujian komprehensif itu adalah ujiannya yang terakhir, semua mata kuliah dari semester satu sampai semester akhir diujikan. Itu cukup menguras waktu dan otak.

Mereka berjalan beriringan dari fakultas hingga ke gerbang kampus, tidak terlalu dekat. Butuh waktu sekitar tujuh menit untuk sampai di sana. Ziya dan Nadia berjalan dengan sisa-sisa tenaga yang terkuras habis karena seharian di ruang ujian. Hanya harapan yang tak berkurang dari diri mereka.

“Halalin Adek, Bang,” gumam Nadia tiba-tiba, dan itu membuat Ziya menoleh seketika.

What the….” Perkataan Ziya menggantung tanpa diteruskan.

“Kapan punya pacar, Zi? Kamu bentar lagi sidang, terus wisuda. Wisuda sarjana masa didampingin orangtua, dikira bagi rapor anak SD,” canda Nadia.

“Penting banget, ya?” Ziya memutar bola matanya.

“Kamu gak ngiri, Zi?” tanya Nadia

“Ngiri sama apa?”

“Tuh, liat!” ujar Nadia seraya menunjuk pasangan yang sepertinya sedang mengerjakan tugas bersama.

Ziya tertawa kecil, “sana kamu cari pacar, biar gak baper liat orang yang pacaran.”

“Yah, 'kan …” Nadia menatap temannya, “Hei, ada apa di gerbang?”

“Gerbang?” Ziya bertanya-tanya lalu mengalihkan pandangannya ke gerbang, “Yah, demo.”

“Mau ikutan, Zi?” tanya Nadia.

“Gerbang ditutup, Nad. Kita pulang gimana ini? Udah mau maghrib pula,” keluhnya tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan Nadia.

“Zi, your phone,” kata Nadia memberi tahu bahwa telepon Ziya berbunyi.

“Ah, ya,” gadis itu merogoh kantung kecil di tasnya, “halo..”

Nadia membiarkan kawannya mengangkat telepon. Suara riuh semakin terdengar. Berkoar-koar soal provokasi. Entah ada masalah apa dengan provokasi yang mereka teriakkan.

Ramai sekali, semuanya berteriak keras. PROVOKASI!!! ANTI PROVOKASI!!!. Begitu yang mereka teriakkan, tiga orang memimpin dengan pengeras suara. Peserta aksi itu memblokir gerbang kampus hingga jalanan.

Aksi dari puluhan mahasiswa itu memanggil para petugas keamanan. Mulai dari polisi hingga satpol PP. kondisi semakin ramai dan ricuh. Sedangkan waktu menunjukan bahwa sebentar lagi waktu maghrib tiba.

“Iya, gak keluar. Tapi sebentar lagi maghrib, kak,” ujar Ziya pada seseorang yang sedang menelepon. Nadia tidak bisa menebak siapa penelepon itu, biasanya adiknya. Tapi tidak mungkin, karena gadis itu memanggilnya ‘Kak’.

Script Sweet (on going 👑) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang