Masa Getir
"Jalan yang dilalui untuk menjadi orang hebat bukanlah jalan yang mulus"
(RINDU PULANG - F PUJII)----(0)----
-Pondok Pesantren Modern, tahun 2009-
"Ukhti! ada yang kehilangan uang!" lapor seorang wanita berkerudung putih nan rapi.
Alis Ziya berkerut, lagi-lagi kehilangan uang. Memang tidak dalam jumlah yang besar karena santri dilarang menyimpan uang lebih dari 20.000 rupiah di lemari. Selebihnya harus disimpan di bank pondok pesantren, Mereka menyebutnya baitul maal.Mungkin sudah tiga bulan setiap santri di asrama kehilangan uang secara bergantian. Jika ditotalkan mungkin sudah ratusan ribu. Keadaan semuanya sama, tidak ada beda kedudukan di sana. Termasuk jauh dari orangtua.
Semuanya datang dengan tujuan dan cita-cita yang sama. Di sana tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu bahasa dan ilmu pengetahuan umum. Dididik dengan pendidikan terbaik selama 24 jam. Dari bangun tidur, hingga tidur kembali.
Ziya hanya duduk menyandar di depan lemari seraya membaca buku Mahfudzot, karena ia harus menyetor hafalan kepada wali kelas. Rasanya telinga bosan mendengar kata 'hilang uang'. Andai mengetahui siapa pencuri itu, pikirnya karena begitu geram.
Terlihat ketua kamar dengan santri berkerudung putih yang tadi melapor sedang berbisik berdua. Setiap kamar asrama memiliki tiga orang ketua yang diambil dari kelas atas untuk mengatur adik-adiknya. Ziya pikir suatu saat nanti ia juga akan punya kesempatan untuk mengatur.
Sering mendengar laporan kehilangan uang di lemari membuat Ziya merasa bosan. Mendengarnya seperti angin yang lewat saja. Selalu ada laporan dan sampai detik ini belum diketahui milik siapa tangan panjang itu.
"Ziya, sini!" pinta kak Amel, salah satu ketua kamar.
Ziya yang membaca buku menghentikan aktifitasnya, "Iya, Kak."
"Tadi malam Eka kehilangan uang, Ziya tahu?" Tanya ketua bernama Amel.
"Ziya baru tahu tadi denger," jawabnya.
"Kira-kira menurut Ziya, siapa yang ngambil?" Tanyanya lagi.
Gadis itu berpikir sejenak, ia tak mau menduga-duga. Takut menjadi fitnah. Lalu menggeleng, menyatakan kalau dirinya tidak mengetahui. Ketua kamarnya mengangguk-angguk sebelum mempersilahkan Ziya untuk kembali melanjutkan kegiatan belajarnya.
Semester lalu Ziya berhasil menjadi bintang pelajar pondok pesantren modern itu. Otaknya yang cerdas mampu menyerap berbagai pelajaran baru dengan cepat. Selain cerdas, gadis itu juga memiliki wajah tirus yang begitu manis. Wajahnya dihias dengan hidung mancung, lalu bola mata coklat khas orang asia.
Dengan kemampuan otaknya dan juga wajahnya yang menarik, Ziya menjadi idola. Berbagai pujian menghujani santri yang tergolong baru itu. Namun, sifatnya yang begitu cuek kadang membuat sebagian lain menganggapnya sombong. Sulit sekali diajak mengobrol banyak dengan seseorang, kecuali orang terdekat. Membuatnya kadang dinilai judes. Berbicara seperlunya dan menjawab sekenanya, kadang membuat orang yang baru pertama mengenal sulit memulai pertemanan.
Terkadang orang hanya melihat luar saja, lalu menilai begitu saja. Saat melihat Ziya yang diam, mereka langsung menilai bahwa gadis tersebut sombong. Padahal, ia asik sekali jika diajak sharing soal mata pelajaran."Ziya mana?" Tanya Ani, salah seorang ketua kamar yang baru datang.
"Iya, Kak?!" gadis itu menghentikan kegiatannya lagi.
"Sini!" pintanya lalu menarik tangan Ziya menuju pojok kamar.
Ziya menurut saja saat dipinta untuk duduk, tak ada pikiran ke mana pun. Meski hatinya penasaran sekali, karena keadaan seperti ini rasanya sangat menegangkan baginya.
"Kenapa, Kak?" tanyanya.
Santriwati bernama Ani itu menghela napas sebentar. Ia menatap mata adik kelas di hadapannya dalam-dalam sebelum angkat bicara. Kemudian, Amel ikut duduk di samping kawannya. Berhadapan dengan anggota kamar yang paling cerdas.
"Katanya Ziya yang ngambil uang kita selama ini, ya?" Tanya Ani.
Mata cokelat Ziya terbelalak.apakah itu pertanyaan atau pernyataan? ia begitu terkejut mendengarnya. Ada rasa aneh sekali di hatinya.
"Enggak, Kak," jawabnya. Ada rasa aneh di hatinya sehingga sulit sekali jawaban terucap."Ada yang lapor ke kita, katanya lihat kamu ngambil uang. Bener kamu gak ngambil?" tanya Amel.
Gadis dengan hidung mancung itu menggeleng tak percaya. Atas dasar apa tuduhan itu? Jangankan untuk mencuri, setitik niat pun tak pernah ada di hatinya. Ia tidak kekurangan uang saku sehingga harus mengambil hak milik orang lain.
"Ziya gak ngambil uangnya, Kak," jawabnya. Kali ini sedikit lebih panjang dari jawaban sebelumnya.
"Tapi kenapa kok sampe ada yang laporin kamu ke kita?" Tanya Ani tak yakin.
"Ziya gak tau, Kak. Ziya gak pernah mencuri uang," jawabnya lagi.
Ani dan Amel mengembuskan napas kasar. Memang hilangnya uang secara berturut-turut berbulan-bulan ini membuat siapa pun dongkol sekali.
Amel menggenggam tangan Ziya, "Ziya, kemarin, 'kan, kamu jadi bintang pelajar. Sayang kalau prestasi kamu gugur karena hal ini. Kalau kamu ngaku, kita gak akan marah-marah dan kasih tahu siapa pun. Asal kamu minta maaf dan mengakuinya, di depan kita juga cukup," katanya panjang lebar.
Alis Ziya berkerut lalu menggeleng, "Ziya beneran gak nyuri uangnya, Kak," tegasnya.
Kedua ketua kamar itu terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi diam mereka cukup lama sekali. Sedangkan Ziya berusaha keras menahan air mata agar tidak turun, berpikir keras bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ia memang bukan pencurinya."Ziya," Ani menatap anggotanya dalam-dalam, "jangan keras kepala, kalau Ziya gak mau ngaku juga, kita laporkan ke bagian keamanan dan ketua langsung. Ziya pikirkan baik-baik, mending ngaku di depan kita atau kita bawa ke bagian keamanan pondok?"
Gadis bermata cokelat itu menunduk, apa yang harus ia akui? Perbuatan yang sama sekali tidak pernah dilakukannya? Dosa yang tidak pernah dilakukan tangannya?
"Jangan nunduk! Liat sini!" Tegas Amel, kali ini dengan nada yang sedikit meninggi.
Air mata mulai menumpuk, seperti berebutan ingin keluar dari kelopak mata cokelat itu. Perlahan, ia angkat kepalanya dan memandang kedua ketua kamar di hadapannya.
"Ziya harus ngaku apa, Kak? Mencuri uang? Ziya tidak pernah mencuri uang itu," protesnya lalu bulir bening mulai turun dari kedua matanya.
Hal tersebut membuat keduanya terdiam dan saling tatap. Entah bagaimana cara meyakinkan mereka, tapi Ziya merasa ini sangat pedih.
"Sudah jangan nangis, yakin Ziya gak mau ngaku sama kami?" Tanya Ani
"Ngaku apa, Kak? Ziya tidak pernah mencuri," tegasnya lagi, air mata masih turun, kali ini semakin deras.
"Ya sudah, kalau Ziya gak mau ngaku. Lanjut saja belajarnya," Ujar Amel lalu menyudahi obrolan di pojok kamar itu.
'Bagaimana bisa lanjut belajar setelah dituduh dan dipaksa mengakui dosa yang tidak kulakukan? Kehidupan seperti apa yang sedang aku jalani ini?' Batinnya.
.
.
.
.
*Ukhti: Panggilan untuk saudara perempuan
*Mahfudzot: Mata pelajaran kiasan-kiasan dan kata mutiara dalam Bahasa Arab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Script Sweet (on going 👑)
Teen FictionBagaimana pun... Apa pun... Perih... Sedih... Luka... Semuanya adalah naskah skenario yang akan berujung manis, jika dijalani dengan sabar.