11

31 3 0
                                    

“Tadi ujian komprehensif Kak Zi lancar, Kak?” tanya Elma.

Nadia memandangi Ziya yang terbaring dengan perban yang membelit kepalanya dan selang oksigen yang terpasang. Ia khawatir, dan juga iba. Beruntunglah temannya itu selesai ujian.

“Kamu nanya gitu, kayak gak kenal sifat kakakmu itu, El.” Jawab Nadia pelan seperti bergumam.

Elma bernapas lega, seharusnya Ziya menyampaikan kabar terkait ujian kepadanya. Namun, kali ini ia terpaksa harus mendengar dari orang lain. Keadaan yang tak pernah terduga ini membuatnya sedih.

“Dengan ketekunan dan otaknya, Ziya pasti lulus cumlaude,” tambah Nadia.

“Aku marah, Kak,” ujar Elma.

Nadia memandang adik temannya heran, “marah kenapa?” tanyanya.

“Aku marah sama orang-orang yang demo itu. mereka begitu mengganggu.” Keluhnya.

Nadia menghela napas, “begitulah, El. Tak jarang juga orang tidak bersalah menjadi korban, seperti ini contohnya.”

“Apa yang mereka tuntut, Kak? Memang dengan seperti itu mereka didengar? Jarang sekali mereka didengar. Hanya orang bodoh yang tetap berteriak meski tidak didengar,” gerutu Elma panjang lebar.

“Aku akan pastikan bahwa Kak Dhery menahan mereka semua di penjara,” imbuhnya dengan penuh emosi.

“Sabar, Elma,” Nadia mencoba menenangkan.

“Suara mereka tidak didengar, mereka buang-buang tenaga saja, merugikan diri sendiri lalu melukai orang yang tidak bersalah. Memangnya tidak ada kerjaan lain apa?!!” emosi Elma semakin meluap.

“El…”

Keduanya menoleh ke arah suara lirih nan parau itu. Ziya terbangun, matanya memandang kedua perempuan di hadapannya. Ia mencoba untuk duduk, tapi pusing yang teramat menguasai kepalanya.

“Jangan dipaksain, Zi,” cegah Nadia seraya membantunya untuk meneguk air mineral.

“Kakak bangun dari kapan?” tanya Elma.

Ziya memandang sayu adiknya, “sejak kamu marah-marah tadi,” jawabnya dengan suara yang masih terdengar lemah.

Elma tertawa kecil dengan rasa bersalah di hatinya, “Heheh … aku bangunin Kakak, ya? Maafin aku,” katanya lalu menggenggam tangan Ziya.

“Kamu bilang mereka bodoh karena sudah tau tidak didengar masih teriak, kamu sama kayak mereka, sudah tau marahmu tidak mereka dengar, tapi masih aja marah,” Ziya sedikit menggerutu.

“Adik mana yang gak marah kalau kakak mereka disakiti, Kak? Lagian apa sih yang mereka tuntut, gak cape apa teriak-teriak?” Protes Elma panjang lebar.

“Mereka hanya ingin menarik perhatian media, El. Mereka melakukan aksi sedemikian rupa, lalu media tertarik dan meliput. Begitulah cara mereka menyampaikan protes atas apa yang mereka anggap melenceng,” jelas Ziya.

“Tapi, kan..”

“Cara mereka salah karena mengganggu banyak orang yang tidak bersalah, dan bahkan melukai orang yang tidak tau apa-apa,” potong Nadia.

“Nah, itu…” ucap Elma setuju.

“Lalu, apa kalian punya solusi agar di Indonesia ini tidak ada demo untuk selamanya?” tanya Ziya.

Hening, tak ada jawaban dari keduanya. Ziya sendiri tidak mau ambil pusing. Meski ia mengatakan itu salah, mungkin bagi para peserta demo, cara mereka benar. Pastinya Ziya sendiri merasa terganggu dengan aksi mereka.

“Jangan jadi kayak mereka, itu cukup,” katanya lembut, “jangan jadi seperti mereka, jadilah orang berpengaruh yang suaranya didengar oleh siapa pun tanpa harus berteriak keras dan bertindak keras. Jadilah orang besar, yang menyampaikan protes dengan cara yang layak tapi langsung didengar oleh semua orang.”

Elma dan Nadia masih terdiam. Tak mampu mendebat dan melawan perkataan Ziya. Kebijakannya dan ketegasannya mengalahkan banyak hal, terutama kesabarannya. Gadis itu tidak berkata kasar meski ia menjadi korban. Tidak ada emosi pada raut wajahnya meski ia terluka.

“Aku sendiri merasa terganggu, sangat terganggu. Tapi apa emosi bisa menghentikan mereka? Enggak! cukup jangan seperti mereka dan menjadi orang yang hebat,” kata Ziya pelan, seperti bergumam pada diri sendiri.

“Assalamualaikum,” seorang pemuda muncul dari balik pintu kamar, membuat mereka menoleh serentak dan menjawab salam.

Pemuda berkaos hitam dengan kulitnya yang putih datang menghampiri. Ia memiliki postur tubuh yang tegap dan tinggi. Matanya tajam memancarkan ketegasan dengan alis yang tebal. Hidung mancung dan bibir penuh menarik pandangan.

“Udah selesai, Kak?” tanya Elma.

“Siapa, El?” tanya Nadia yang tidak berhasil menebak.

“Loh,yang tadi nolong kita,” jawab Elma.

“Ah, ya! Polisi!” seru Nadia begitu berhasil menebaknya.

Dhery tersenyum kecil, “Gimana keadaan Ziya?” tanyanya.

“Orangnya udah bangun, tuh. Tanya aja langsung,” ujar Elma.

Wait, tapi hubungan kalian apa?” tanya Nadia kebingungan.

Ziya hanya tersenyum melihat ekspresi wajah temannya yang begitu lucu. Ia memang tidak pernah bercerita soal lelaki pada temannya. Lagipula ia dengan Dhery memang tidak memiliki hubungan apa pun selain hanya teman, atau sahabat mungkin.

“Nanti kuceritakan di luar, Kak. Nah, karena Kak Dhery udah di sini, kita gantian, aku sama kak Nadia makan dulu,” ujar Elma lalu menarik tangan Nadia, “Ayo, Kak. Jangan ganggu mereka. Biar mereka bisa ngobrol empat mata.”

“Elmaa….” Ziya hendak protes tapi adiknya sudah berlalu dan tidak menghiraukan panggilannya.

Akhirnya, Ziya hanya terdiam. Menunduk malu pada pemuda yang kini duduk di samping ranjang. Ingin memandang, tapi rasa canggung menguasai dirinya, entah bagaimana cara menghilangkannya.

“Hey! Aku di sini. Jadi kayak gak dianggep, nih,” protes Dherykarena Ziya terus memalingkan wajah.

“Makasih, ya, Kak,” ujarnya pelan.

Dhery tersenyum tulus, “gimana keadaan kamu?” tanyanya.

“Aku gak apa-apa. Kakak sudah beres tugasnya?” tanya Ziya.

Dhery mengangguk, “mereka ditahan, untuk dipinta keteranfan”

Ziya menoleh, “Siapa? Yang demo tadi?"

Pemuda di sampingnya itu mengiyakan dengan anggukan, “mau bagaimana pun, mereka salah.”

“Ya, namanya juga mahasiswa, mungkin dengan itu mereka mengaplikasikan kata ‘kritis’ terhadap sesuatu,” ujar Ziya.

“Beda kepala, beda pemikiran,” imbuh Dhery, “ya udah, kamu makan dulu, nih.”

Ziya hanya terdiam, masih menunduk menahan rasa canggung yang menyerang dirinya. Dari mana datangnya rasa canggung itu, padahal sejak sekolah dasar, dirinya dan Dhery satu sekolah meski beda kelas.

“Mau makan sendiri atau aku suapin?” tanya Dhery karena tak mendapat respon.

“Eh… ng.. makan.. sendiri aja, Kak,” jawab Ziya terbata-bata.

Dhery tertawa kecil, “Gimana bisa orang yang terkenal cerdas ngomongnya kayak grogi gitu,” ejeknya.

“Ih! Kakak!” protes Ziya sebal.  

Script Sweet (on going 👑) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang