“Kak, keluar yuk!” ajak Elma setelah mandi. Sore tadi ia sempat jogging satu jam.
“Kamu salat dulu, sekalian kakak selesaikan bab ini, tanggung,” kata Ziya.
Elma tak menjawab apa-apa, ia langsung mengambil mukena dan mendirikan salat. Itu sudah menjadi jawaban bagi kakaknya yang saat ini sibuk berkutat dengan bab-bab skripsi yang membuatnya pusing.
Sambil menunggu adiknya, gadis itu sesekali mengoreksi lembar demi lembar yang telah ia tulis pada laptop. Alisnya berkerut begitu serius. Ini merupakan bab akhir dari skripsinya, ia sudah tidak sabar ingin menyelesaikan tugas akhir itu agar dapat mengurus tulisan-tulisannya yang tertunda.
“Kak, ayo!” sekali lagi suara adiknya terdengar.
“Eh, udah? Kok cepet banget? Emang mau ke mana sih?” tanyanya
“Café di seberang aja, bisa WiFi-an sambil kerjain tugas, makanan sama minumnya juga murah,” jawabnya.
“Boleh,” Ziya setuju.
“Kakak udah beres skripsinya?”
“Sudah."
“Oke, kalau itu Kakak bisa bantu aku belajar,” katanya lalu menggandeng tangan Ziya yang baru saja mengenakan kerudung.
“Hey! pake kerudung dulu!” tegur Ziya begitu mendapati adiknya belum mengenakan kerudung.
“Hehehe, iya lupa,” katanya dengan seringaian lebar.
Gadis tomboy itu memakai kerudungnya dan mengemas buku-buku yang ia bawa untuk belajar. Kemudian memasukkannya ke dalam tas, bersama laptop dan alat tulis lain.
Setelah mengunci pintu kamar, mereka berjalan menyusuri jalanan yang tidak begitu ramai. Jam pulang kerja sudah lewat sehingga jalanan kota sedikit lenggang. Tidak jauh, mereka hanya perlu menyebrang jalan raya untuk sampai di tempat yang hendak dituju.
Tempat itu dibuat sedemikian rupa agar nyaman. Menu makanan dan minuman di sana tergolong murah. Terdapat beberapa pilihan tempat di sana, outdoor, indoor, duduk melingkar dengan meja dan kursi atau lesehan.
Kedua gadis muda itu memilih untuk duduk di meja yang terletak di dalam ruangan. Memilih tempat di pojok agar tidak begitu terganggu oleh pelanggan yang baru datang.
“Kamu ngerjain apa, El?” Tanya Ziya seraya membolah-balik buku menu.
“Makalah Pendidikan Pancasila,” jawabnya lalu ikut melihat-lihat menu yang akan dipesan.
Setelah menemukan menu makanan yang sesuai, Elma berkutat dengan tumpukan buku dan laptop. Sedangkan Ziya memainkan ponselnya. Dipandangnya sebuah pesan yang ia kirim kemarin kepada polisi itu, tak ada balasan. Hanya ada tanda bahwa pesan tersebut sudah terbaca.Gadis itu menghela napas panjang. Lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menyisir pandangannya ke seluruh area indoor café tersebut. Ada satu hal yang menarik matanya untuk tetap melihat. Matanya mendapati seorang wanita cantik duduk bersilang kaki seraya memandang ponsel, seperti sedang menunggu seseorang.
Wanita itu mengenakan dress selutut berwarna marun. Rambut sebahunya digerai dengan make up komplit yang merias wajahnya. Dandanan ala artis atau model. Tapi kenapa ada di sini? Pikirnya. Karena mayoritas pengunjung café adalah mahasiswa dan pelajar.
“Kak, kok bengong? Itu pesenannya udah dateng,” tegur Elma.
“El, liat deh, yang pakai baju merah marun, cantik, ya?” tanya Ziya pada adiknya.
Elma memutar bola matanya, “masih cantikan Kakak, kok.”
Ziya memandang adiknya sedikit kesal, “Kakak serius, loh.”
“Udah, Kak. Makan dulu,” pinta Elma.
Ziya terdiam, masih memandang tempat yang sama dengan mata yang kini penuh keraguan. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat bukan lelaki yang selama ini ia tunggu kabar darinya.
“El, itu Kak Dhery bukan?” tanyanya.
Elma yang baru saja menyuapkan makanan ke dalam mulutnya kini berpaling. Ikut memandang ke arah pandangan kakaknya. Mengamati seorang pemuda yang sangat ia kenal.
“Aku kira Kakak salah liat, tapi kayaknya itu betul Kak Dhery, deh,” gumamnya pelan.
Perhatian keduanya tertuju pada pemuda yang kini duduk berhadapan dengan seorang wanita cantik yang sempat mengalihkan perhatian Ziya. Keduanya terlihat saling memandang begitu intens dan tampak sedang mengobrol serius.
Entah apa yang mereka bicarakan. Elma sedikit emosi dan hendak bangkit menghampiri. Namun, sang kakak menggenggam tangannya tanda tak setuju. Akhirnya keduanya hanya memperhatikan dari jauh. Hingga wanita cantik itu menggenggam tangan pemuda di hadapannya.
Kali ini Elma tak mampu menahan emosi. Ia hempaskan tangan kakaknya lalu berjalan cepat ke meja tersebut. Lalu berdiri di hadapan pemuda yang amat ia percaya. Wajahnya memerah emosi.
“Kakak lagi ngapain di sini?” tanyanya, “dia siapa?!”
Pemuda tersebut begitu terkejut sehingga hanya diam, masih tidak percaya bahwa Elma ada di tempat yang sama. Ia memandang gadis tomboy di hadapannya dengan sorot mata lirih. Elma tak mampu mengartikan pandangan itu.
“El, dia…” belum sempat Dhery menyelesaikan pernjelasannya tiba-tiba gadis yang ia cintai muncul dan menarik tangan Elma.“El, kita pulang aja, yuk!” ajaknya tanpa mau memandang Dhery.
“Diem, Kak! Aku mau denger penjelasan dia dulu!” tolak Elma.
Semuanya bergeming, menunggu jawaban tapi tak kunjung mendapatkannya. Lalu, gadis dengan dress marun itu bangkit. Memandang semua orang di sekelilingnya dengan sebal.
“Jangan drama di depan aku, please!” keluhnya dengan kasar lalu menatap Elma penuh kebencian, “kamu! Aku gak tau kamu siapa tapi kamu udah ganggu!”
“Dwi, duduk!” pinta Dhery dengan tegas. Keadaan ini sangat mengganggu.
Gadis dengan nama Dwi itu mendengus kesal, “siapa pun di antara kalian berdua yang menyukainya, pergilah! Jangan ganggu kita berdua!” bentaknya
“Dwi!!!!” kali ini suaranya sedikit lebih tinggi, membentaknya dengan keras.
“Yuk, Kak! Kita pulang,” ajak Elma lalu menarik tangan kakaknya.Ziya mengikuti langkah adiknya dengan mulut terkunci. Sama seperti pertama kali laki-laki itu meminta jawaban, kali ini hatinya juga sulit menafsirkan apa yang terjadi. Kenapa begitu sakit.
Sementara Elma merapikan barang yang dibawanya, Ziya menuju kasir dan membayar maknan yang tak sedikit pun ia makan. Sayang sekali, tapi ia benar-benar kenyang secara tiba-tiba kali ini.
Ziya dan Elma berjalan beriringan lalu berdiri di pinggir jalan, menunggu jalanan sepi dan memungkinkan mereka untuk menyebrang dengan selamat. Pandangannya memandang kosong ke depan.
“Kak…” tegur Elma lirih seraya mengenggam tangan kakaknya.
Ziya menunduk, “Cinta??? Yang benar saja???!” gumamnya seperti sedang marah pada diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Script Sweet (on going 👑)
Teen FictionBagaimana pun... Apa pun... Perih... Sedih... Luka... Semuanya adalah naskah skenario yang akan berujung manis, jika dijalani dengan sabar.