6

45 3 0
                                    

“Saya belum pernah menemukan santri yang membuat kesalahan betah di pondok pesantren, Pak Fachri,” ujar Pak Kyai.

“Bagaimana dengan dihina setiap orang atas kesalahan yang tidak dilakukan?” Tanya Fachri, sebenarnya Kyai dari pondok itu adalah kakak kelasnya dulu. Namun, ia tak ingin terikat dengan itu.

Pria yang lebih tua dari Fachri itu terdiam, terlihat sangat bimbang. Ia berpikir sejenak, “apa buktinya kalau Ziya tidak bersalah?” tanyanya.

“Apa Kyai juga punya bukti kalau Ziya benar-benar mencuri?” Fachri balik bertanya, “begini Kyai, jika anak saya tidak betah karena telah mencuri uang, dia mungkin akan menelepon dari hari pertama disidang melalui wartel pondok. Tapi Ziya menunggu hingga dijenguk, dan menahan hinaan dan cacian selama satu bulan penuh. Jika ia benar mencuri mungkin sudah menelepon minta pindah sekolah karena takut ketahuan.”

Lagi-lagi keduanya terdiam. Keadaan ini membuat keduanya menjadi canggung. Seperti dua sosok yang belum pernah dipertemukan sebelumnya.

Fachri melirik arlojinya, “jika Ziya memilih untuk menetap lalu terbukti bersalah silahkan hukum dia seberat kesalahan yang dia lakukan. Namun, jika ia tidak terbukti bersalah, saya kira Kyai tahu apa yang harus dilakukan.”

Kyai itu mengangguk, lalu menjawab dengan senyuman kecil pada Fachri.

“Saya tidak bisa berlama-lama, mohon pamit. Assalamu’alaikum,” ucapnya sebelum bangkit dan menyalami seniornya sebagai penghormatan.

----(0)----

“Ziya mau tinggal di sini, Ayah,” ucapnya dengan tegas saat Fachri kembali.

Fachri tersenyum, ia tahu Ziya akan memilih untuk menetap bila ia memang tidak bersalah. Karena jika pergi tak mengubah apa pun dan tidak akan membutikan bahwa dirinya tidak bersalah.

“Ziya akan tetap di pondok, sekuat hati Ziya, Ayah,” tambahnya, “tapi jangan cegah Ziya untuk berhenti kalau tidak kuat lagi.”

“Anak bunda pasti kuat,” Ujar Halimah lalu memeluk putrinya, menyalurkan semangat melalui pelukan.

Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana caranya untuk tetap kuat menghadapi ini semua, Ayah, Bunda. Sejujurnya aku kecewa karena kalian memberiku pilihan, bukan membawaku pergi. Sedangkan hatiku saja sudah hancur saat ini. Bagaimana caranya mencoba mengumpulkan serpihan itu agar tetap kuat menjalani kehidupan seperti ini.

Setelah kalian pulang, hal-hal yang lebih buruk mungkin akan terjadi sekarang. Rasanya seperti aku tetap melangkah walau kaki telah penuh darah karena jalan itu berduri.

Tak apa, asal kalian tidak berhenti mengucap doa untukku.

“Bunda, Hati-hati di jalan,” pesannya sebelum melepas pelukan, “Ayah, juga.”

Keduanya tersenyum kecil walau hati mereka sedikit pedih melihat wajah putrinya yang sendu dan penuh tekanan. Halimah mencium kedua pipi Ziya lalu pamit sekali lagi.

“Belajar yang benar, Sayang.”

----(0)----

Apa ini adalah hukuman? Apa dosa yang aku lakukan dulu sehingga harus menjalani kehidupan seperti ini? Setelah ayah dan bunda pulang, semuanya tetap sama. Menjalani kehidupan dengan setiap tatapan tajam setiap orang, dengan tuduhan-tuduhan mereka, dengan perkataan dan sikap buruk mereka, kepadaku.

“Ziya itu maling, bener gak, sih?” bisik salah seorang santriwati. Sebenarnya tidak bisa dibilang bahwa itu adalah bisikan karena tetap terdengar oleh telinga Ziya.

“Katanya iya. Tiap malam dia nyuri uang selama dua bulan lebih,” timpal salah satunya.
“Menang banyak, dong!”

“Pasti, lumayan kenyanglah! Duit jajan utuh.”

Ziya menghela napas berat, mungkin pelajaran hadist tidak melekat di otak mereka, bukankah memang dilarang untuk berkata yang ‘katanya’ karena pasti tidak jelas kebenarannya, pikirnya lalu bangkit dari tempat duduknya.

Script Sweet (on going 👑) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang