Satu perempuan memiliki lima mulut. Itu mungkin benar. Karena setelah sidang malam itu, seluruh santri berbicara tentang Ziya. Rasanya semakin berat menjalani kehidupan seperti itu.
Ia berjalan dengan tanda ‘pencuri’ menempel padanya. Seolah kata itu tertulis di jidatnya sehingga semua orang memandangnya dengan penuh kebencian. Sendirian, begitu melara rasanya.
Gadis berwajah tirus itu melangkah dengan gontai menuju kelas. Ia harus menjalani kehidupan dengan normal. Ia tidak ingin hal tidak benar menghambat tujuan utamanya datang ke tempat itu, menuntut ilmu.
“Eh, ente maling, ya?” tanya seorang teman dengan nyolot saat Ziya baru saja duduk di bangkunya.
Namanya Evi, entah apa yang membuat sikapnya begitu arogan, merasa seolah-olah dirinya berkuasa. Sok jagoan!
Ziya menghela napas, ia membuka bukunya untuk dibaca. Dirinya memang tidak berniat untuk menjawab pertanyaan itu. Ia tidak begitu menyukai sifat arogannya. Semua orang di sini sama rata. Mengapa ia merasa seolah dirinya tinggi. Pikirnya begitu.
“Yah… memang benar, mana ada maling ngaku?! Penjara penuh kalo maling ngaku!” gerutunya lalu membalikkan badan menghadap ke papan tulis.
Apa yang akan kamu lakukan jika menghadapi situasi seperti yang Ziya alami sekarang? Mungkin memukulnya, memarahinya, atau pergi saja dari tempat itu?
Ayah, bunda, kapan datang? Ziya ingin cerita banyak. Sudah lama kalian tidak jenguk Ziya.
Tulisnya di lembar belakang buku.
Seisi kelas begitu berisik sekali. Telinga Ziya panas mendengar kata ‘Ziya Maling’ di mana-mana. Entah saat ia berjalan menuju kelas. Di samping kanan, kiri, depan, belakang.
Hatinya tertusuk dengan setiap pandangan mata penuh kebencian, juga seolah jijik dengan dirinya. Batinnya tersiksa sekali dengan setiap bisikan yang sebenarnya tidak bisa bisikan karena masih terdengar.
Di tempatnya menuntut ilmu, ia melara terbiar sepi. Siapa yang mau berteman dengan seorang ‘pencuri’ meski itu hanya sebuah asumsi tanpa bukti. Namun, Ziya juga tidak mampu membuktikan bahwa dirinya bukanlah seorang pencuri.
Pembelaan dari satu orang melawan asumsi ribuan orang tidak mungkin menang, bukan?
Lamunannya terhenti ketika mendapati seseorang duduk di sampingnya. Gadis tirus itu menoleh sebentar untuk mengetahui orang tersebut.
“Ziya,” panggilnya dengan pelan, namanya Refa.
“Iya?”
“Bener kamu maling uangnya?” tanyanya.
Ziya menatap mata kawannya dalam-dalam. Seolah meminta untuk tidak menanyakan hal tersebut karena ia begitu bosan mendengarnya, juga bosan meyangkalnya. Namun, kawan itu tidak mengerti isyarat dari mata gadis di depannya. Membuatnya memalingkan wajah.
“Aku bukan pencuri. Ribuan kali pun ditanya dan dipaksa untuk mengatakannya, aku bukanlah seorang pencuri. Silahkan katakan hal apa pan tentang diriku, faktanya hanya diri sendiri yang mengetahui dan mengerti,” jawabnya.
Refa terdiam sejenak. Ia tak bisa berkata apa pun. Di sisi lain, ia merasa kasihan kepada kawan seperjuangannya. Ziya terlihat diam, tapi jelas sekali terlihat penuh tekanan. Namun, ada ragu juga. Benarkah kawannya tidak mencuri? Seisi pondok sudah memberi cap itu padanya.
“Kamu gak capek diomongin orang terus?” tanyanya.
Pertanyaan macam apa itu? pikir Ziya. Ia hanya tersenyum pahit, ‘pertanyaan bodoh’ batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Script Sweet (on going 👑)
Teen FictionBagaimana pun... Apa pun... Perih... Sedih... Luka... Semuanya adalah naskah skenario yang akan berujung manis, jika dijalani dengan sabar.