“Ziya, dipanggil ke kantor keamanan,” ujar Amel.
Gadis berwajah tirus itu menghela napas panjang. Ia tak menyesali keputusannya. Untuk apa mengakui perbuatan hina yang tidak ia lakukan. Mungkin jika mengaku, ia tidak akan sampai dipanggil ke kantor keamanan. Tapi apa dengan itu label ‘pencuri’ akan hilang?
Dengan malas ia bangkit dari duduknya. Mengembuskan napas berat, mempersiapkan diri dan hatinya.
‘Kali ini, apa yang harus kudengar? Apa yang harus aku akui?’ Batinnya.
Gadis manis itu melangkah dengan berat. Matanya masih merah karena menangis tadi siang. Sebenarnya ada rasa enggan untuk menangis. Memang masuk akal, untuk apa menangisi kesalahan yang tidak kita lakukan. Namun, ia berpikir lagi, jika ia tidak menangis mungkin ia tetap akan disalahkan. Mereka mungkin akan bilang, ‘keras sekali hatinya! udah maling, kebal lagi gak takut sedikit pun.’
Ya, posisinya sekarang adalah serba salah. Kini santri berbalut jilbab nan rapi itu berdiri menghadap pintu kantor keamanan yang tertutup. Lagi-lagi ia menghela napas, mempersiapkan diri dan hatinya atas kata-kata kasar yang mungkin akan diterima.
“Duduk, Ziya!” pinta seorang senior berkacamata setelah Ziya mengucap salam dan dipersilahkan masuk.
Ziya menunduk lalu duduk dihadapan tiga orang santriwati yang saat itu menjabat sebagai bagian keamanan santri putri.
“Tahu kenapa kita panggil ke sini?” Tanya seorang berkacamata tadi setelah menutup rapat pintu kantor keamanan. Namanya adalah Nurul.
Ziya menjawab dengan sebuah gelengan. Sebenarnya ia tahu mengapa ia dipanggil, hanya saja hatinya menolak untuk itu. sebagian besar hatinya berharap bahwa tadi siang memang hanya mimpi.
“Gak usah pura-pura tidak tahu!” seru seorang santri di samping Nurul, namanya Elsa. Suaranya yang tinggi itu membuat Ziya terkejut. Jantungnya berdegup kencang tiba-tiba.
“Kamu berprestasi Ziya, sayang sekali kamu harus masuk ke ruangan ini. Setiap orang yang masuk ke ruangan ini berarti memiliki kasus. Kami gak nyangka kamu melakukan hal sehina itu,” tambahnya.
“Ziya enggak mengambil uang orang lain, Kak,” ucap gadis tirus itu mulai terisak.
“Nah, kita belum bilang apa kesalahan kamu. Kamu sudah menyangkal dan menyebutnya. Kamu berarti tahu persis soal itu, maling mana ada yang mau ngaku?!” ujar bagian keamanan lain bernama Reni.
“Ta, tapi … Aku bener enggak melakukan itu, Kak!” kali ini air mata menguasainya tanpa bisa ia cegah. Pedih sekali rasanya.
Mendadak suasana ruangan itu menjadi sepi. Hanya isakan dari Ziya yang sesekali terdengar. Memang benar, setiap santri yang dipanggil ke sana adalah santri yang bermasalah. Dan Ziya merasa itu tidak adil untuknya, ia tidak melakukan kesalahan yang menjadi sebab masalah saat ini.
Nurul terlihat mengembuskan napas dengan kasar, “Ziya, kamu tahu sekarang sedang hidup di lingkungan seperti apa?” tanyanya.
“Ini pondok pesantren, setiap orang yang belajar di sini adalah perantau. Perantau yang keluar untuk menuntut ilmu adalah orang yang berada di jalan Allah. Kamu tahu itu, kan? Bagaimana bisa kamu berpikir untuk mengambil uang mereka?!” Imbuhnya dengan nada yang sedikit meninggi.
Air mata yang turun semakin deras dari mata kecil Ziya, ia memandang ketiga seniornya lalu menggeleng pelan, “aku gak pernah mengambil uang mereka, berapa kali aku harus bilang?!” rintihnya.
“Tidak usah memasang wajah memelas! Kita gak akan merasa kasihan!” Bentak Reni tiba-tiba.
Ziya menunduk, air matanya semakin tidak bisa dicegah. ‘Ya Allah, di hadapanku ini manusia atau bukan? Kenapa mereka asal menuduh tanpa mau mendengarkan? Mereka hanya peduli dengan asumsi mereka sendiri. Kenapa egois sekali? Aku ini masih sangat kecil. Kenapa perlakuan seperti ini yang harus kudapat?’ Batinnya menjerit dan menangis lebih keras daripada matanya.
“Kalau tidak punya uang bilang saja Ziya, tapi kamu jangan mencuri!” kata Elsa.
“Ziya tidak kekurangan uang, dan tidak mencuri uang!” Tegasnya.
Elsa menghela napas, mengapa ia begitu keras kepala, pikirnya.
Di dalam ruangan yang mencekam itu, Ziya dihakimi atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Ziya berusia 11 tahun tentu tidak dapat menahan air mata. Apa yang bisa dilakukan seorang anak jika tiba-tiba dibentak dan dituduh selain menangis?
Gadis yang merupakan bintang pelajar itu didesak dan dipaksa untuk mengakui bahwa dirinya adalah seorang pencuri. Hatinya menjerit, bahkan tidak ada niat setitik saja niat untuk melakukannya.
Hingga larut malam ia terus didesak agar mengaku. Ziya teguh pada pendiriannya. Ia enggan mengakui kesalahan itu. Apa pun resiko yang akan ia tanggung nanti. Terserah mereka mau melakukan apa. Ia merasa bahwa dirinya benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Script Sweet (on going 👑)
Teen FictionBagaimana pun... Apa pun... Perih... Sedih... Luka... Semuanya adalah naskah skenario yang akan berujung manis, jika dijalani dengan sabar.