12

31 3 0
                                    

Cinta? Yang benar saja?!

Salahkah bila sekali ini saja ingin kurasakan apa yang disebut orang cinta? Apa inilah akhir dari ‘cinta’ itu?

-FPUJII-

----(0)----

Elma menuntun kakaknya untuk melangkah. Setelah dua hari terbaring di rumah sakit, akhirnya Ziya diperbolehkan untuk pulang. Kakaknya itu tidak mengizinkan siapa pun memberitahu orangtua di rumah atas kejadian yang menimpanya.

“Sini barang-barangnya kakak yang bawa, kamu tuntun Ziya, El,” pinta Dhery lalu meraih tas yang dijinjing Elma.

“Padahal aku gak apa-apa, Kak. Tadi biaya rumah sakit berapa?” tanyanya pada Dhery.

“Pas, aku gak ngutang atau menunda apa pun untuk jaminan,” jawabnya asal seraya nyengir kuda, menampakkan deretan gigi putih nan ratanya.

Manis, pikir Ziya, “aku akan ganti,” ucapnya.
“Boleh, tapi gantinya pake kamu aja,” timpal Dhery.

“Hmm, aku akhirnya cuma di anggap nyamuk,” keluh Elma kesal.

ZIya dan Dhery saling memandang satu sama lain lalu tertawa kecil karena omelan Elma. Sekarang wajah Elma sudah menunjukan ekspresi kesal yang dibuat-buat. Lalu menarik tangan Ziya untuk berjalan lebih dulu.

“Hey, emang kalian tau mobilnya di mana?” ujar Dhery setengah berteriak.

Elma menghentikan langkah seketika, “hehehe, enggak,” jawabnya dengan wajah tanpa dosa.

“Makanya jangan belagu, El,” omel Dhery.

“Yee siapa yang belagu? Aku ni cantik, baik, pintar, rajin menabung, idaman deh pokoknya.” Celoteh Elma panjang lebar.

“Emang bener, Zi?” tanya Dhery.

Ziya memandang adiknya, “harus jawab jujur atau bohong, nih?” godanya.

“Kakaaaak…” Elma memajukan bibirnya pura-pura kesal, “Kak ZI sama Kak Dhery sama aja nyebelin!!”

Setelah sampai di depan rumah sakit, Dhery meminta keduanya untuk menunggu sementara ia mengambil mobil di parkiran. Hatinya sedikit lega melihat kondisi Ziya yang telah membaik.

Setelah menyimpan barang di bagasi ia bergegas mengendarai mobil menuju tempat kedua gadis itu menunggu. Ia masih sedikit takut terhadap kondisi Ziya yang baru saja sembuh tapi sudah meminta untuk pulang.

Setelah duduk di depan setir, pemuda itu melepas rem tangan lalu mulai melajukan mobil miliknya. Sejak diterima sebagai polisi bertahun-tahun lalu, hidupnya kini memang tergolong mapan. Ia mengatur keuangan dengan baik sehingga mampu membeli kendaraan dan rumah sendiri.

“Yuk, naik!” pinta pemuda itu saat menghentikan mobilnya di depan Ziya dan Elma.

Akhirnya kedua gadis itu naik ke mobil. Setelah siap, mobil melaju dengan kecepatan santai. Begitu keluar dari rumah sakit, Ziya berjumpa kembali dengan kondisi jalanan kota yang selalu padat merayap.

“Zi, kamu benar-benar gak mau kasih kabar ke bunda soal keadaan kamu?” tanya Dhery membuka percakapan di antara mereka.

Ziya memandang ke arah jendela, “enggak, toh, aku sudah baik-baik aja sekarang,” jawabnya.

“Bunda gak boleh kaget sedikit, nanti langsung pingsan dan sakit, Kak,” imbuh Elma.

Dhery yang sedang menyetir memandang kedua gadis yang duduk di belakangnya melalui kaca. Pemuda itu mengangguk-angguk mengerti. Awalnya sempat bingung karena Elma dan Ziya benar-benar tidak mau menghubungi orangtua mereka. Juga tidak mengizinkan siapa pun yang datang menjenguk untuk meng-upload foto sakitnya di sosial media.

“Bunda gak pernah siap mendengar kabar buruk, itu bikin aku malah takut beliau yang kenapa-napa,” gumam Ziya.

“Kalau denger kabar aku mau ngelamar kamu, siap gak?” tanya Dhery.

Seketika Elma tersenyum sendiri dan Ziya memandang pemuda di depannya dengan kesal. Sejak ia sakit, Dhery sering sekali menggodanya dengan kata-kata semacam itu.

“Kak, stop it! Gombal terus kerjaannya, ihh,” keluhnya.

“Gombal? Hey! Aku serius,” sela Angga, “gimana, El?”

“Kayaknya Mamah siap buat kabar itu, Kak Dhery ke rumah aja, jangan lupa bawa rombongan keluarga dan mahar,” jawab Elma seraya melirik ke arah kakaknya dan tersenyum jail.

What the… aish! Kalian nyebelin! Aku mau tidur!” gerutunya lalu membuang muka.

“Zi…” nada serius dari suara berat terdengar.

“Hmmm,” gadis yang dipangil hanya menjawab dengan gumaman karena masih larut dengan rasa sebal di hati.

“Aku niat serius sama kamu, kamu kapan siap buat diseriusin?” tanya pemuda itu lagi.

Seketika Ziya memandang raut wajah pemuda di depannya melalui kaca. Ia tidak menemukan candaan atau godaan di air muka Dhery. Namun, ia masih takut untuk percaya bahwa itu adalah serius.

“Yaa, anggep aja di mobil ini gak ada aku,” timpal Elma pura-pura kesal.

“Sengaja, mumpung ada kamu. Biar ada saksi, nih,” ujar pemuda tersebut.

“Kak Zi gak pernah pacaran, Kak. Sibuk belajar mulu. Kalau ditanya gitu pasti nanti jawabnya, wisuda dulu, atau mau S2 dulu, mungkin S3 dulu,” kata Elma panjang lebar dan itu membuat Dhery tersenyum.

Ziya selalu seperti itu, mengganggap semua kata yang dilontarkannya adalah candaan. Lalu tidak menjawab semua pertanyaannya. Sedangkan ia butuh kepastian. Tidak hanya wanita yang butuh kepastian, pikirnya.

“Gimana, Zi? Aku nungguin jawaban kamu, loh,” tanyanya lagi, “kali ini aja, jangan anggep aku becanda. Aku benar-benar serius.”

Ziya terdiam, memandang kosong pemandangan di luar kaca mobil. Otaknya masih mencerna apa yang sedang ia alami saat ini. Apa yang ia dengar sejak tadi, atau bahkan kemarin-kemarin mungkin. Masih berusaha menafsirkan apa yang dirasa oleh hati.

“Kak…” tegur Elma mendapati kakaknya malah melamun.

Ziya menoleh seketika, “ya,” sahutnya.
“Jawab tuh, Kak Dherynungguin,” pinta Elma. Sebenarnya tak hanya Angga yang menunggu tapi ia pun penasaran apa yang akan dilontarkan oleh kakaknya.

“Aku gak mau jawab sekarang,” ujar Ziya.

Dhery tersenyum tulus, “semoga jawabannya nanti gak bikin hati aku patah,” katanya.

Pemuda itu sudah menduga bahwa Ziya akan meminta waktu untuk berpikir. Ziya adalah tipe perempuan yang tidak akan mengambil keputusan hanya dengan hati. Ia pasti akan mencoba menyatukan otak dan hati, membuat keputusan dengan pemikiran yang begitu panjang. Itulah mengapa semua yang ia lakukan begitu teratur dan matang.

“Tempat tinggal kalian masih yang dulu, kan?” tanyanya dibalik kemudi.

Keduanya mengiyakan. Tak terasa sebentar lagi memang akan sampai. Indekos itu memiliki teras dan halaman yang cukup untuk memarkir mobil, sehingga Dhery tidak kesulitan saat memarkirkan mobil.

“Istirahat yang cukup, jangan capek-capek dulu, Zi,” pintanya setelah turun dari mobil, “El, sering-sering marahin kakak kamu itu kalau bandel, ya.”

“Siap, Pak!” ucap Elma dengan tegas seraya mengacungkan jempolnya.

“Aku pulang, ya,” ucapnya lalu mengucap salam sebelum melajukan mobilnya keluar.

Script Sweet (on going 👑) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang