5

49 3 0
                                    

Sumpah Tak Berlaku

Mengingat masa lalu itu kadang membuat senyuman terukir tiba-tiba. Namun, lain ceritanya jika masa lalu itu sangat pahit, seketika wajah memerah menahan tangis. Setidaknya masa itu yang membuatku berjuang. Ada hal yang harus kubuktikan, ada sumpah yang harus dipatahkan.”

-FPUJII-

----(0)----

Apa yang harus kulakukan?

Tulisan tangannya terhenti, hanya kalimat itu yang ia tulis. Ratu Ziya memeluk lututnya, lalu membenamkan wajah. Kelopak matanya terasa perih karena sering menangis. Tetes air mata selalu turun tanpa bisa ia cegah.

Gadis itu duduk di belakang gedung kamar asrama. Di hadapannya terlihat sebuah jalan. Sering terlintas niat untuk pergi, tapi jalan tersebut terhalang oleh pagar tinggi begitu kokoh yang tidak mungkin dipanjat.

Menghadapi segalanya sendirian membuatnya hidup dengan penuh tekanan. Ziya tak percaya bahwa yang dialami saat ini adalah nyata. Ia merasa melayang. Hiruk pikuk santri dengan kegiatannya seolah tak nyata baginya.

Sengaja ia duduk di belakang asrama, agar tak seorang pun dapat melihatnya. Telinganya ingin istirahat sejenak, bosan mendengar perkataan buruk yang terlontar dari setiap orang untuknya.

Ayah, Bunda, kapan kalian datang? Aku rindu.
 
Usai mencatat, matanya memandang kosong ke jalanan. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil dengan plat nomor yang ia hafal melintas. Ziya langsung bangkit dan berjalan cepat menuju gerbang pondok pesantren.

Pondok pesantren itu memiliki tempat khusus untuk para tamu yang datang. Semacam gubuk yang berbaris panjang. Wali santri yang menjenguk tidak diperkenankan untuk masuk ke asrama. Ada wisma khusus jika ingin menginap.

Jarak dari asrama putri menuju tempat itu lumayan membuat capek. Sesampainya di sana, ia mendapati orangtuanya sudah duduk di gubuk dan melambai. Ia berlari dan memeluk keduanya. Di pelukan itu, tangisnya tumpah lebih keras.

”Ayah, Bunda, aku mau pulang!” isaknya.

Lho, masa anak Ayah mau pulang? Baru juga sebulan tidak dijenguk,” protes ayahnya dengan lembut.

Sementara wanita yang memeluk putrinya itu hanya diam. Hatinya pedih mendengar tangis sang anak. Ia yakin ada yang tidak beres, karena tangisan keras ini baru pertama kali terdengar. Bahkan sebelum-sebelumnya walau dijenguk hanya sebulan sekali, Ziya tak pernah menangis atau mengeluh.

Ratu Ziya mengangkat kepala, memandang orangtuanya dengan sisa air mata yang masih menumpuk. Isak tangisnya mereda perlahan.

“Aku pengen pergi dari sini, bawa aku pergi!” pintanya dengan air mata yang berlinang.

Sekali lagi halimah meraih badan kecil putrinya ke dalam pelukan. Diusapnya dengan lembut punggung yang bergetar itu. beberapa saat setelah tangisnya kembali mereda, barulah  ia tanyakan penyebabnya.

“Kamu kenapa, Nak?” tanyanya.

“Ziya dituduh mencuri, Bunda. Tiap malam Ziya disidang, dibentak-bentak, setiap orang berkata buruk dan kasar,” jelasnya, “aku bukan maling, Bunda.”

Mata ayah Ziya memerah menahan amarah, siapa yang tidak marah jika anaknya diperlakukan dengan buruk karena kesalahan yang tidak dilakukannya. Namun, ia harus tetap bertindak dengan bijak. Agar tidak salah mengambil tindakan.

Halimah mengusap mata, menghapus tetes bening yang turun. Ia percaya Ziya tidak melakukannya, karena ia tidak mendidiknya untuk menjadi orang yang buruk. Anak itu selalu baik sejak ia kecil.

“Ceritakan kenapa bisa sampai dituduh seperti itu, sayang,” pintanya, “siapa tahu kamu mempunyai salah sampai orang menuduh kamu.”

Ziya mengusap air matanya, “Ziya gak tau, Bunda.”

Ketiganya terdiam, Ziya masih terisak dan orangtuanya yang menahan tangis. Tentu hati mereka terluka atas hal yang dialami putrinya.

“Tiba-tiba aku dipanggil dan dituduh,” ucap Ziya memecah kebisuan, “aku gak kuat di sini!”

“Ziya, dengar Ayah, Nak,” pinta Fachri kepada putrinya, “coba pikirkan apa kata mereka nant jika kamu pergi dari tempat ini, mereka akan menyangka bahwa kamu adalah pelaku yang sebenarnya.”

“Tapi siapa yang bisa bertahan dengan keadaan seperti ini, Ayah!” protes Ziya.

“Ayah tidak meminta kamu menetap, Ayah hanya meminta kamu memilih. Kamu yang menjalani hidup, ini jalanmu. Silakan pikirkan baik-baik. Ayah silaturrahmi ke Kyai dulu.” Jelas Fachri sebelum beranjak, menyisakan istrinya dan Ziya yang begitu dilema.

Sepeninggal Fachri, tangis Ziya tak kunjung henti. Ia semakin merasa bingung. Tempat itu serasa bagai neraka. Setiap hari hanya membuat hati panas hingga hancur. Membuatnya ingin berlari jauh dari sana.

“Ayah kenapa, Bunda?” isaknya.

“Maksudnya, Nak?” tanya Halimah tak mengerti.

“Ayah kenapa pergi, Bunda? Ayah gak percaya sama aku? Aku gak nyuri,” isaknya semakin keras, “tiap malam aku disidang, dimarahi, dibentak, dipaksa buat ngaku kalau aku nyuri uang. Tiap orang menyumpahi dengan kata kasar, mereka gak peduli aku berteriak keras bahwa aku bukan maling!”

Halimah terpukul mendengar penuturan putrinya. Ia merangkul anak sulungnya. Sekeras mungkin ia coba untuk menahan air mata, bagaimana bisa membuat Ziya kuat jika ia sendiri lemah.

“Tapi kamu benar tidak mencuri, 'kan?” tanyanya.

Ziya melepas pelukannya, menatap sang ibu sedikit tajam, “apa Bunda juga gak percaya sama aku?” tanya gadis itu.

“Bukan seperti itu, kamu menangis untuk apa, Ziya? Jika kamu tidak bersalah, buat apa kamu menangis?!”

“Bunda pikir kalau tidak menangis keadaan jadi lebih baik?!”

“Ya, buat apa buang-buang air mata? Apa menangis juga bisa bikin keadaan membaik?!”

“Terus mereka bilang, ‘hatinya terlalu keras! Lagian mana ada maling mau ngaku!’ Bunda pikir kalau gak nangis semua orang bakal percaya aku bukan maling? Aku pernah nyoba itu tapi kata-kata mereka jadi lebih kasar!”

“Kalau gitu kuatlah, Nak! Cobaan menuntut ilmu itu pasti ada di mana pun tempatnya. Ayah seperti itu bukan karena tidak percaya. Kalau kamu pergi dari sini, kamu pikir cobaan itu menghilang? Cobaan itu menghilang, tapi akan terganti dengan cobaan dalam bentuk lain. Tidak ada hidup yang mulus, sayang.”

Isak Ziya belum terhenti juga, sudah keras sekali ia minta dirinya untuk kuat. Namun, nyatanya tidak mudah. Pundaknya terlalu ringkih untuk menanggung beban itu. Hatinya terlampau rapuh karena ucapan-ucapan yang begitu menusuk. Karena kata-kata lebih  tajam dari pedang, ia dapat menusuk apa pun yang tidak dapat ditusuk oleh jarum.

“Terus aku harus gimana, Bunda?” Ziya semakin terisak.

Halimah menghela napas, lalu mengusap pundak putrinya dengan lembut. Terpukul sekali hatinya dengan keadaan seperti itu. Wanita itu mungkin terlalu mempercayai Ziya, tapi begitulah kata hatinya.

“Aku gak kuat, Bunda,” katanya dengan linangan air mata, “bawa aku pulang!”

Halimah mempererat pelukannya, “apa yang membuat mereka menuduh kamu, sayang?” tanyanya dengan pilu.

“Ziya gak tau, Bunda,” isaknya, “mereka bilang aku menyangkal tanpa bukti, tapi mereka juga menuduh aku tanpa bukti.”

Halimah terdiam, mulutnya tak mampu berkata apa pun. Jika ia menjadi Ziya, mungkin ia akan melakukan hal yang sama, atau mungkin lebih parah.

   'Usia kamu saja masih muda sekali, Nak. Tergolong masih anak-anak, mengapa seberat ini yang kamu dapatkan? Apa yang akan anak lain lakukan jika mereka mengalami hal yang sama? Dan apa yang akan dilakukan oleh ibu mereka?'

Script Sweet (on going 👑) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang