16

4 2 0
                                    

Setelah merapikan kamar indekosnya, Elma meneguk segelas air putih lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ziya telah pergi ke kampus, dan pamit bahwa ia akan bimbingan.

Gadis berwajah bulat itu meraih ponselnya, menyalakan data internet.  Lalu puluhan pesan masuk, entah dari siapa saja. Elma menunggu hingga semua pesan benar-benar masuk dan smartphone-nya itu berhenti bergetar. Sejak kejadian malam itu, ia malas sekali menghidupkan data internet. Entah tapi melihat sikap kakaknya yang berubah, itu membuat mood-nya hilang.

Ia memandang ponsel yang kini berhenti bergetar, lalu meraihnya. Dibukanya beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Membalas beberapa yang ia anggap penting. Matanya mendapati pesan dari Dhery. Entah apa tapi ia malas untuk membukanya. Ia benar-benar kecewa.

Jika mengikuti keinginannya. Ia akan menemui pemuda itu, di mana pun ia berada. Tak peduli sedang berada di kantor kepolisian daerah tempatnya bekerja. Atau rumah pribadi miliknya. Rasa kecewa menghantui, tapi siapa gadis itu belum terjawab.

Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, membuat gadis itu menoleh karena sedikit kaget. Lalu Ziya muncul dari balik pintu. Wajah datar seperti biasa dalam dua hari terakhir.

“Udah, kak?” tanyanya.

Ziya menjawab dengan anggukan lalu menyimpan beberapa map di atas meja kecil di samping kasur. Ia melepaskan kerudung lalu meneguk segelas air putih untuk menghilangkan rasa kering di tenggorokan.

“Udah, nanti Kakak daftar sidang skripsi. Nunggu nilai ujian yang kemarin keluar,” jawabnya.

“Wah, hebat dong kakakku. Belum semester delapan sudah mau sidang skripsi,” ujarnya seraya memeluk Ziya.

Ziya tersenyum, “kan, kamu yang doain,” ucapnya.

“Hehehe, alhamdulillah… terus kapan mau selesaikan novel, Kak?” tanyanya.

“Nanti ah, belum nemu mood buat nulis,” keluhnya lalu menghempaskan tubuh di kasur.

Elma memandang kakaknya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah di sana, ada iba, emosi, dan perasaan lainnya yang begitu campur aduk. Lalu Ziya menyadarinya dan memandang adiknya penuh arti.

“Itu bukan salah kamu. Semua yang udah terjadi, biarlah. Kita gak bisa mengubah masa yang udah lalu, El. Dan soal lelaki itu, itu salah kakak. Kenapa? Karena kakak menyukainya. Mungkin tidak akan sesakit ini jika tidak menyimpan rasa. Menyimpan rasa sama dengan harus siap menanggung resiko sakit nantinya, ya seperti sekarang contohnya,” jelas Ziya panjang lebar.

“Berarti sekarang kakak gak boleh galau lagi, ya. Kan harusnya seneng, tugas akhir udah beres, kakak hebat tanpa harus peduli soal urusan laki-laki yang belum tentu jodoh,” katanya.

Ziya tertawa lepas, “what the…” ia menyentuh kening adiknya.

“Aish! Kakaaaak!!!!” Elma mendengus kesal.

“Ini kayak bukan kamu, bijak sekali,” ucap Ziya menggoda adiknya.

“Kak, aku serius. Aku belum selesai ngomong,” selanya.

“Eh, siap Bu Guru!!” kata Ziya lalu duduk dengan serius.

“Kakaaaaaak!!!!” Elma sedikit berteriak lalu melempar kakaknya dengan bantal. Ia tidak tahan dengan godaan kakaknya jika sudah begitu.

Dengan sigap, Ziya menangkap bantal tersebut, “lah, katanya mau serius. Kakak udah serius kamu malah marah juga,” keluhnya.

“Kakak sudah besar, jangan korbankan prioritas buat hal yang gak penting kayak galau soal cowo. Banyak yang lebih penting dari itu, Kak. Ini gak benar. Kalau kemarin-kemarin kakak gak galau dan langsung bimbingan, kita pasti udah dapet kabar gembira ini dari kemarin. Kalau kakak gak sedih, novel kakak pasti bisa cepet selesai,” ucapnya panjang lebar.

Ziya tersenyum tulus lalu memeluk adiknya, “maafin kakak, ya,” ucapnya dengan tulus.

Elma mengangguk dalam pelukan. Tak ada yang ia harap selain rasa galau itu terhempas dari sang kakak. Kakaknya terlah melalui banyak hal, dan kini tidak boleh hal tidak penting seperti itu menghambat impian dan target yang telah disusun.

Untuk sampai pada titik ini, Ziya telah memalui banyak hal yang berat. Sekarang ia sedang menyelesaikan novel ketiganya. Dan untuk dua buku sebelumnya, banyak sekali kesusahan yang ia alami.

Ziya melepaskan pelukannya, “Hey! tunggu,” ucapnya lalu memicingkan mata.

“Apa, Kak?” Elma menatapnya dengan sorot mata penasaran.

“Kamu ini nasihatin kakak buat belajar, tapi kamu sendiri kapan mau belajar? Hah??” omelnya.

Gadis berwajah bulat itu segera memeluk bantal guling lalu menjatuhkan dirinya di kasur kemudian menutup kepalanya menggunakan bantal. Ia tertawa di balik bantal tersebut.

“Elmaaaaaaa!!!!” seru Ziya dengan kesal.

----(0)----

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Script Sweet (on going 👑) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang