Catatan :
Cerita ini diikut sertakan dalam event 40dayswith5p
Dengan target tamat dalam 40 hari.
Mohon maaf jika hasilnya kurang memuaskan;-;
Silahkan razia Typo dan lain-lain, kerena pasti akan ada banyak typo kedepannya, silahkan berkomentar.
••★••
Pada malam harinya Vika mengerjakan tugas di teras, ia lupa bahwa masih memiliki PR yang belum selesai. Di sini tidak terlalu sepi beda lagi ceritanya saat masih di rumah kakeknya, sepi padahal baru maghrib. Ditemani dengan secangkir teh hangat dan kukis dia sudah anteng-anteng saja bahkan nyamuk yang tak seberapa besarnya itu sama sekali tak mengganggunya. Dia sudah berusaha memecahkan soal-soal Fisika itu, tapi baru setengahnya yang sudah Vika selesaikan. Dia bukan siswa yang pintar ia akui itu.
Untuk mengistirahatkan otakya dia menengadah sebentar menatap langit malam yang sepi hanya ada rebulan di sana. Jika sudah begini dia jadi merindukan keluarganya Kakek, Ayah, Ibu, Arya. Kapan mereka akan pulang dan memaafkan kesalahannya di masa lalu?
Lamunan Vika buyar seketika ketika melihat seseorang sedang membuka gerbang rumahnya. Penerangan di halaman depan cukup membuat Vika bisa melihat siapa orang itu. Malas berurusan dengannya Vika lebih memilih untuk mengerjakan soal-soal yang belum ia selesaikan. Tapi belum juga dia mengetahui rumus yang perlu digunakan, orang itu sudah dihadapannya.
"Dari Ibu!"
Ternyata berusaha tidak penasaran sangatlah susah, akhirnya Vika mendongak ke arah Faiq dengan sekotak kue moci dengan berbagai macam warna yang tampak begitu menggiurkan. Tangannya terulur untuk mengambil kotak makanan itu. "Untuk saya?"
"Bukan, buat Bang Alam!" ketus Faiq,"ya buat lo lah, orang gue ngasihnya aja ke lo!" ujar Faiq sambil berjalan menuju kursi sebelah meja. "Oo, makasih Kak, sampaikan terimakasih saya ke Tante Sekar juga."
"Iya, gue denger Bang Alam udah pulang, dimana sekarang?" Faiq yang sebelumnya menatap bunga-bunga di halaman Eyang Sinta, kini sudah memperhatikan Vika yang sibuk memakan moci buatan Ibunya. Lahap sekali, memang enak bahkan sangat enak bagi Faiq, dia saja baru selesai makan tadi.
"Ada di kamarnya, Kak! Uhuk uhuk." Langsung saja Faiq menyodorkan teh milik Vika saat ia tersedak. "Nih minum, makanya kalau lagi makan tuh jangan ngomong!" Vika langsung saja menerima teh yang sudah hangat itu, lalu meminumnya perlahan. "Makasih Kak, tadi saya bicara karena Kakak bertanya."
"Sorry, cara bicara lo baku kayak guru Bahasa indonesia aja." Setelah meminum tehnya hingga habis Vika kembali berucap. "Enggak kok, saya bicara baku cuma buat kesopanan aja. Kak Faiq kan kakak kelas saya."
"Tapi ini bukan di sekolah, santai aja." Kemudian mata pria itu melirik ke buku-buku yang tengah berserakan di meja. Keningnya berkerut ketika melihat jawaban di buku itu. "Lo bego beneran ternyata." Vika yang akan memasukan moci ketiganya ke dalam mulut langsung menaruh moci itu di tempatnya. "Atas dasar apa Kakak bilang saya bego?"
"Jawaban lo salah semua." Ujar Faiq yang sedang mengangkat buku tugas Vika. "Tahu dari mana jawaban saya salah semua?"
"Gue udah pernah belajar materi itu, makanya gue tahu jawaban lo salah semua." Sudah setahun berlalu, tapi Faiq masih mengingat materi kelas 10. Ingat perkataan Eyang Sinta yang berkata bahwa Faiq selalu juara umum? Itu bukanlah bualan semata, semua orang pasti tahu baik dari siswa di SMA Nusa Bakti hingga orang tua murid.
Faiq mengibaskan buku milik Vika tepat di hadapan empunya. Wanita itu berkedip setelah sekian detik terpaku dengan kalimat jawaban lo salah semua. "Ngelamun mulu, pantes bego."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memori Pena [TAMAT]
JugendliteraturSebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika. Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kemba...