03 Prolog

173 48 100
                                    

Catatan :

Cerita ini diikut sertakan dalam event 40dayswith5p

Dengan target tamat dalam 40 hari

Mohon maaf jika hasilnya kurang memuaskan;-;

Silahkan razia Typo dan lain-lain, kerena pasti akan ada banyak typo kedepannya, silahkan berkomentar.

★ DISARANKAN MENDENGARKAN LAGU TERLEBIH DAHULU ★

••★••

Malam itu hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Membuat orang-orang yang jatuh cinta hanyut dalam syahdunya perasaan, orang-orang yang sedang menunggu terasa ditemani dengan melodi yang merdu, ada pula orang-orang yang semakin sakit setelah menerima luka. Salah satunya adalah seorang gadis yang tengah beringsut memeluk kakinya. Kepala gadis itu tertunduk, air mata terus merembes dari kedua pelupuknya. Hidungnya memerah, gumaman-gumaman tak jelas keluar dari bibir mungilnya. Perlahan kedua tangannya bergerak menutupi telinga, berusaha keras untuk tidak mendengar apa yang dikatakan orang-orang di luar kamarnya.

Kamar yang biasanya terang kini taram temaram. Sama seperti hatinya, yang kehilangan cahaya petunjuk arah. Mengapa harus dia yang terluka? Berapa banyak duka yang harus dia emban? Apa tak cukup dia berduka, mengalah untuk segalanya?

Dia ingin pergi, menyusul kakeknya menuju alam lain. Berulang kali mencoba untuk mengakhiri hidup, tapi selalu gagal. Seakan-akan Sang Pencipta ingin menunjukan bahwa belum saatnya dia pulang, padahal dia sudah sangat lelah akan semua hal.

Hatinya mencelos ketika mendengar perdebatan di balik pintu kamarnya. Semua orang saling berteriak, memperdebatkan dirinya yang membawa sial, bahkan kedua orang tuanya lebih memilih pergi meninggalkannya keluar negeri. Mereka hanya pulang di acara-acara tertentu, mereka bohong tentang rasa sayang mereka kepada gadis itu.

"Kenapa harus dimasukkan ke panti asuhan? Ibu masih mampu mengurus Vika. Dia cucu ibu, dia juga anak mbakmu!" terdengar suara berat seorang wanita paruh baya. Kalimat terakhirnya menekankan bahwa mereka satu aliran darah.

"Ibu mau mati seperti besan ibu?! Dia pembawa sial, Bu. Kalo Ibu mengurusnya, Ibu bisa ikut sakit lalu meninggal. Bahkan orang tuannya saja tak mau mengurusnya, karena takut itu terjadi kepada mereka. Hendra juga nggak mau itu terjadi kepada Ibu." Itu adalah suara pria yang menentang seorang nenek untuk mengurus cucunya. Padahal cucu itu sudah tidak punya siapa-siap lagi. Dia lebih menyarankan untuk sang cucu diberikan kepada panti asuhan saja. 

"Tutup mulut kamu, Hendra! Vika juga keponakan kamu. Anaknya Indah!" Suara wanita paruh baya itu meninggi. Kemudian terdengar helaan nafas lelah. Mungkin karena perdebatan kecil itu cukup menguras tenaganya. Apalagi di usianya yang sudah senja. "Ibu tidak memerlukan izin kamu untuk merawat cucu ibu sendiri. Kamu suka atau tidak, Ibu akan tetap merawat Vika."

"Baiklah jika itu sudah menjadi keputusan mutlak Ibu. Saya menyerah membuat ibu sadar. Silahkan rawat anak pembawa sial itu, Hendra tidak akan melarang. Tapi satu hal yang perlu Ibu ingat, Hendra tidak akan sudi menganggapnya sebagai keponakan Hendra." Terdengar suara derap langkah yang kian menjauh. Dari dalam kamar juga gadis itu bisa mendengar neneknya berulang kali memanggil nama anaknya. Tapi tak ia gubris,  sang anak tetap menjauh sampai terdengar bantingan pintu.

Sedangkan gadis itu sibuk berkutat dengan segala emosinya, seharusnya dirinya tidak ada di dunia ini. Eyangnya pernah berkata bahwa seharusnya dia sudah mati, dari nama yang ia emban di kelahiran sebelumnya saja sudah menjadi patokan agar dirinya tetap tenang di sisi Sang Pencipta. Dulu namanya "Khusnul Khotimah", ia dinamai seperti itu karena sudah terlanjur mati saat belum diberi nama—ironi sekali dengan sekarang, kini namanya "Vika Syafara", kemenangan yang istimewa tapi mengapa dirinya selalu kalah? Seperti sudah kewajibannya untuk mengalah, kepada adiknya, teman-temannya, waktu, cinta, dan segalanya.

Memori Pena [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang