11 Ada Apa Sebenarnya?

61 15 12
                                    

Catatan:

Cerita ini diikut sertakan dalam event 40dayswith5p

Dengan target tamat dalam 40 hari.

Mohon maaf jika hasilnya kurang menuaskan;-;

Silahkan razia Typo dan lain-lain, karena pasti akan ada banyak typo kedepannya, silahkan berkomentar.

••★••

Sepuluh menit berlalu, semua anggota ekstrakurikuler mading sudah selesai membuat puisi. Bu Arin memanggil nama mereka secara acak untuk membacakan puisi masing-masing, sayang hari semakin sore sedangkan banyak dari mereka yang belum membacakan puisi buatan mereka, alhasil bagi yang belum maju akan membacakan puisi karya mereka di pertemuan yang akan datang.

"Aldi, silahkan pimpin doa!" ujar Bu Arin, sambil melangkahkan kakinya menuju tempat duduk. "Ready! Lets pray together." ucap kakak kelas 12 yang bernama Aldi, "finish."

"Oke anak-anak, jangan lupa minggu depan kita akan melanjutkan game, selamat sore dan hati-hati di jalan, Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Semua anggota dengan kompak menjawab salam dari Bu Arin.

"Shutt ... shutt, Vika! ohh..., nggak noleh juga? Oke, pulpen lo buat gue!" ujar Faiq.

"Eh, jangan!" ucap Vika, ia langsung menoleh ketika mendengar perkataan Faiq

"Makanya kalo dipanggil tuh nyaut."

"Habisnya Kakak, nggak panggil nama aku."

"Budek, gue tuh udah manggil nama lo, lo nya aja yang budek. Lo pulang bareng gue, kalo enggak, nggak bakalan gue balikin pulpen lo!" ancam Faiq.

"Kok gitu sih, itukan pulpen aku, atas dasar apa Kakak nyita pulpen aku, dan maksa aku pulang bareng Kakak?"

"Jangan banyak tanya, kalo lo nggak mau pulang bareng gue, pulpen lo bakal jadi milik gue!"

"Oke oke, aku pulang bareng Kakak, sini kembaliin pulpen aku!"

"Ets, gue bakal balikin tapi kalo udah nyampai rumah, sekarang lo tunggu di depan gerbang gue ambil mobil dulu. Awas kalo lo enggak ada!"

"Iya iya!"

Selang beberapa menit Faiq tiba dihadapan Vika dengan mobil hitamnya, awalnya Vika ragu untuk masuk . "Buruan masuk!" ujar Faiq tak sabar. "Iya, Kak aku mau tanya, boleh?"

"Lah itu udah tanya, tanya tinggal tanya." Sinis Faiq. Vika mengusap dadanya sabar, setiap kali ia berbicara dengan Faiq bawaannya ingin marah, entah mengapa emosinya mudah tersulut ketika sedang besama Faiq. "Tangan Kakak kenapa bisa kayak gitu?" tanya Vika to the point. "Oh ini, ini gara-gara jatoh dari motor."

Degg

"Sekarang udah sembuh?"

"Belum, tapi ya udah mendingan. Tau nggak lo? Pas gue jatuh ada yang nolongin gue. Cewek, sumpah gue nggak nyangka kenapa cewek mungil kayak dia bisa ngangkat motor gue!" ucap Faiq disela-sela mengemudi, entah mengapa dia sangat cerewet hari ini, "mana gue belum sempet balas jasa ke dia, bilang makasih pun gue lupa waktu itu!"

Sama-sama, ternyata memang Kak Faiq yang aku tolong malam itu. Aku kira bukan, soalnya pencahayaannya minim banget, saat itu Kak Faiq juga enggak lepas helm full face Kakak.

"Woy, kok malah ngelamun?"

"Eh, enggak Kak! Em... Kakak tau siapa cewek yang udah nolong Kakak?"

"Enggak, pas itu gue enggak bisa liat wajahnya."

Syukurlah, kalau Kak Faiq enggak liat muka aku, "Oo gitu ya." Faiq mengangguk. Suasana dalam mobil kembali hening tanpa adanya percakapan diantara mereka berdua hingga sampai di depan rumah Vika. "Makasih Kak, pulpen aku mana?" ujar Vika. "Nih, enggak gue makan tenang!"

"Iya iya! Ya udah aku masuk dulu kak!" Faiq hanya mengangguk, Faiq baru sadar Vika mempunyai tahi lalat di sudut bibirnya. Enggak mungkin kan, kalo cewek yang nolong gue itu Vika? nggak, itu pasti Cuma kebetulan aja, lagi pula banyak cewek di dunia ini yang punya tahi lalat di sudut bibir.

***

Vika menatap bayangannya yang kabur di dalam kaca jendela kamarnya. Samar-samar terdengar suara isak tangis dari mulutnya. Gadis itu teringat dengan raut wajah Alam yang sudah berubah ketika menatapnya. Ia menatapnya penuh kebencian yang begitu besar. Vika berjalan menuju nakasnya, ia mengambil album kecil yang tampak seperti dompet.

"Kakak udah berubah, semuanya berubah," ujar Vika sembari membolak-balikkan foto. "Bahkan tadi, Kakak langsung masuk ke kamar setelah menyalami Eyang. Kenapa aku enggak bisa ngerasain kasih sayang di keluarga aku sendiri? Kenapa semua ini menimpa aku?" Vika bimbang dengan kondisinya sendiri, ia tak merasa pernah berbuat jahat kepada mereka. Tadi ketika Vika pulang sekolah ia melihat mobil putih berada di halaman rumah Eyang, ternyata itu mobil milik Alam. Vika senang bukan main, ketika tahu Kakak sepupunya itu pulang ke rumah Eyang. Namun rasa senangannya kandas ketika melihat tatapan tak bersahabat dari Alam.

Tok tok tokk

"Vika, Eyang boleh masuk?" ujar Eyang dibalik pintu. Vika segera menghapus air matanya, lalu bangkit dari duduknya untuk membukakan pintu. "Sayang, tolong anggap yang tadi angin lalu, Ya?" Vika hanya mengangguk. Eyang duduk di tepi kasur, kemudian menepuk pahanya, "Sini, Eyang mau cerita sama kamu!"

Vika yang melihat Eyangnya memberi kode agar tidur di pangkuannya, langsung menatap Eyang penuh tanya. "Ayo sini!" Lagi-lagi Vika hanya mengangguk, kemudian melaksanakan perintah Eyang Sinta. "Vika, maafin Eyang, semua gara-gara Eyang kamu jadi begini. Seharusnya saat itu Eyang tidak bicara seperti itu." ucap Eyang Sinta, beliau mengusap kepala cucunya dengan penuh sayang.

"Sudah Eyang, jangan menyalahkan diri Eyang sendiri. Vika tahu semua bukan mutlak salah eyang." Ujar Vika, itu memang benar semua bukan salah siapa-sipa, tapi itu salah Vika, Vika yang harus bertanggung jawab.

"Vika, dulu Eyang mengira kamu adalah Tiwi, saat kamu baru seminggu di dunia ini Eyang memimpikan gadis yang mirip denganmu. Aura kalian juga sama. Eyang juga tahu kamu istimewa!"

"A-apa maksud Eyang?"

"Eyang tau kamu bisa melihat apa yang Eyang lihat!"

"Semua orang yang tidak buta juga bisa melihat yang Eyang lihat."

"Kamu tidak perlu mengelak lagi Vika, Eyang sudah tahu, ceritakan saja apa siapa yang menggangumu? Eyang beritahu ya, kemampuan yang kamu miliki itu karena keturunan, biasanya yang memiliki kemampuan itu anak pertama di keluarga kita."

"Om Hendra juga, Eyang?" Vika tercengang mengetahui fakta itu.

"Iya Om Hendra juga, bahkan Alam juga punya. Om Hendra yakin bahwa kamu adalah Tiwi, tapi Eyang yakin kamu bukan Tiwi, tidak ada reingkarnasi dalam Agama Islam, mungkin aura kalian berdua memanglah mirip hingga Hendra berasumsi bahwa kamu penyebab kesialan di keluarga ini, hingga Alam juga terhasut perkataannya. Eyang yakin semua itu hanya kebetulan semata" Eyang merasa bersalah karena ini, Vika dan Alam yang dulu sangat akrab kini seperti musuh, "jangan beranggapan semua ini salah kamu, kematian kakek kamu, kecelakaan Kamu dan Arya, hingga perusahaan Ayah kamu yang hampir kolaps dulu, semua itu bukan salah kamu, semua itu takdir!"

"Baik Eyang, terima kasih Eyang mau merawat Vika." ujar Vika seraya bangkit dari pangkuan Eyang Sinta.

"Tidak perlu berterima kasih, kamu kan cucu Eyang. Ya sudah kamu istirahat dulu ya, Eyang juga mau istirahat." Vika hanya mengangguk.

••★••

Thank For Reading 🌻🌻🌻

luv You All 💙🌻

🐞Kepik senja,

25 Des. 20

Memori Pena [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang