15 Canggung

43 15 4
                                    

Catatan:

Cerita ini diikut sertakan dalam event 40dayswith5p

Dengan target tamat dalam 40 hari.

Mohon maaf jika hasilnya kurang memuaskan;-;

silahkan razia typo dan lain-lain, karena pasti akan ada banyak typo kedepannya, silahkan berkomentar.

••★••

Sore ini Faiq berniat menceritakan masalahnya kepada Alam, ia sangat yakin pasti temannya itu mampu memberi solusi terbaik untuknya.

Dari gerbang rumah Eyang Sinta Faiq dapat melihat Vika sedang menyirami bunga-bunga kesayangan Eyangnya itu. Langkah Faiq tak setegas seperti biasanya, rambutnya acak-acakan seperti tak disisir, semua itu terjadi karena berita yang Kakaknya sampaikan tidaklah bagus untuknya.

"Vika!" Vika yang mendengar panggilan dari Faiq terkejut bukan main, ia reflek menyemprot wajah Faiq menggunakan selang yang ia pegang. "Kak Faiq? Maaf, aku nggak sengaja." Vika buru-buru mematikan keran, lalu menghampiri Faiq yang sudah basah kuyub. "Kak, kakak masuk dulu, ayo!"

"Enggak perlu, gue kesini Cuma mau cari Bang Al."

"Kak Alam belum pulang, Kak Faiq masuk dulu ya!," Vika menarik tangan kanan Faiq yang tidak diperban, "Kakak duduk dulu di sini, aku mau cari baju dulu buat Kakak." Vika bergegas ke kamarnya mencari kaos yang dirasanya muat di badan Faiq, dia juga mencari handuk bersih, "Kakak ganti baju dulu gih, semoga bajunya muat sama Kakak."

"Ini baju siapa?"

"Itu baju aku, abisnya aku takut kalau ambil bajunya Kak Alam. Tapi itu kaos biasa kok Kak."

"Ya udah, gue ganti baju dulu." Ujar Faq,dia berjalan menuju toilet. Faiq tak perlu cemas kesasar di rumah sebesar ini karena sedari kecil dia sudah sering bermain di rumah Eyang Sinta. Bahkan dia hapal betul tata letak ruangan di rumah ini, seperti dia hapal tata letak rumahnya sendiri. Selesai Faiq berganti pakaian dia langsung menuju ruang tamu, teryata Vika sudah membuatkan teh hangat untuknya. "Diminum tehnya, Kak."

"Iya, makasih." Vika bingung dengan sikap Faiq yang berbeda dari sebelumnya, dia menjadi lebih datar tapi itu tak masalah bagi Vika. Lebih baik Faiq seperti ini daripada harus bersikap angkuh dan emosian. "Kak, Kakak ngapain cari Kak Alam?" tanya Vika, dia mencoba membangun suasana menjadi lebih hidup tanpa adanya kecanggungan. "Ada urusan penting, memang kapan Bang Al pulang?"

"Aku enggak tahu Kak, tadi perginya pagi-pagi banget, tapi sampai sekarang belum pulang." Faiq hanya mengangguk. "Diminum tehnya, Kak! Em, aku telepon Kak Alam aja deh, biar Kakak enggak lama nunggu!" tawar Vika

"Engga usah, biarin aja mungkin urusan Bang Alam belum selesai makanya belum pulang." Vika mengangguk memahami, "Kak, luka Kakak udah mendingan? Tangan kakak gimana?"

"Udah jauh lebih baik, lo?" Faiq menatap tangannya sudah lebih dari tiga hari dia tidak mengunggangi si merah, motor sport-nya.

"Udah mendingan juga, Cuma masih suka nyeri aja."

Keduanya kini dilingkupi dengan rasa canggung, Vika sangat tak suka situasi seperti ini. Sebetulnya dia bukan tipe yang suka bicara, tapi Vika juga tak suka jika ada yang bertamu tapi diam-diam saja rasanya sangat tak enak. Ia jadi teringat PR-nya yang belum selesai, tapi meninggalkan tamu sendirian tidaklah sopan.

"Kak Faiq, Kakak kenal Kak Alam sejak kapan?" Vika kembali mencari topik, hanya sekadar basa basi untuk menutup kecangungan ini.

"Sejak kecil, gue lahir dan besar disini begitupun Bang Alam." Vika mengangguk, kini dia bingung memilih topik pembicaraan, sejak kapan Vika jadi seperti ini? Dia sangat risi dengan situasi ini. Bahkan teh yang Vika buatkan untuk Faiq sudah habis. Kak Alam manasih? Lama banget pulangnya, kalo gini kan aku jadi enggak enak sama Kak Faiq, Vika membatin.

Memori Pena [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang