Bab 2 (Hari Yang Berlalu)

26 6 0
                                    

"Bertahanlah walau hari-harimu terasa sepi"

Jika ada waktu untuk kita mengistirahatkan segala kepenatan, maka lakukanlah! Sedikit atau banyaknya peristiwa yang telah kita lalui patutlah dirayakan dengan berlibur. Baik itu bepergian mencari suaka kegembiraan atau hanya sekedar merebahkan penat di atas kasur yang nyaman. Untuk hari ini, aku memilih untuk berlibur bersama Ubay dan Zul. Kami akan berpetualang ke Tuban. Tepatnya, kita akan berlibur ke pantai cemara. Hei, bukankah senja di tepi pantai dan iringan desiran ombak mampu memanjakan kita dari penatnya kehidupan?

Kring...

Gawaiku berbunyi tepat setelah kukemas barang yang hendak kubawa. Aku menghiraukan pesan yang baru masuk itu. Aku bergegas menuju lantai bawah, tempat dimana ibu berada. Benar saja, ibu sedang memasak bersama mbak.

"Bu, Nara pamit pergi dulu. Mungkin, besok siang Nara sudah pulang." Ucapku meminta restu.

"Bukannya bantu-bantu bersihin rumah atau ngerjain skripsi, malah keluyuran! Mau jadi apa kamu?" Bentak Mbak Puan sedang memotong sayur.

Aku terdiam. Tak lama ibu menghampiriku, "Sudah, gak usah marah-marah begitu. Adikmu ini butuh hiburan. Toh, jarang juga adikmu ini keluar kota. Oh iya, uang jajanmu masih ada, Nar?"

"Ada kok, Bu. Nara berangkat dulu ya? Assalamu'alaikum.." Kucium punggung tangan ibu dan bergegas keluar rumah.

Setibanya depan rumah, Ubay dan Zul bersama satu orang lagi yang tak kukenal sedang asyik mengobrol. Aku menghampiri mereka.

"Eh, Nar. Kenalin nih adik kelasku. Namanya Yoga." Kata Zul mengenalkan temannya.

Lelaki dengan kemeja bermotif kotak-kotak merah itu mengajakku bersalaman seraya menyebutkan namanya. Lagi-lagi aku dipertemukan dengan situasi seperti saat ini, sebuah perkenalan. "Nara Mahendra. Panggil saja Nara." Balasku.

"Ayo berangkat! Biar gak kesiangan." Seru Ubay.

Ada sebuah kegembiraan yang berlabuh dalam hati. Sebuah kegembiraan yang sebenarnya patut untuk dikenang. Lebih sederhananya lagi, untuk disyukuri. Walau aku tahu, bahwa kegembiraan atau kebahagiaan tak kan pernah abadi. Namun sebaik-baiknya tempat rasa bermukim ialah ketulusan hati. Hati yang tulus selalu mematri kebahagiaan.

Aku dan Ubay satu motor, Zul dan Yoga pun demikian. Motor kami melesat dengan kecepatan sedang. Entah mungkin telah menjadi sebuah ritual untuk waga kota, weekend adalah momentum untuk memanjakan diri dengan berlibur keluar kota. Mencari tempat destinasi wisata yang mereka suka. Baik dengan keluarga atau bersama seseorang yang dianggap istimewa, mereka–tak luput juga aku, rela menguras tenaga hanya demi kesenangan sesaat. Pantas saja jika macet terjadi dimana-mana, hanya demi kesenangan itu, kita rela saling berdesakan di tengah padatnya kerumunan kendaraan.

"Nar... Gimana kabarmu sama cewek itu?" Tanya Ubay tiba-tiba.

"Cewek? Yang mana?"

"Itu tuh... Yang berkasnya kalian ketukar."

"O... Maksudmu si Yasmin?"

"Wow... Sudah kenalan ternyata! Memang hebat kamu mah..."

Aku menghela napas, bermaksud menepis kecurigaan Ubay. "Ya mau gak kenalan gimana lah aku kan asslabnya(asissten laboratorium)."

"O iya ya? Terus?"

"Terus? Terus apaan?"

"Yaelah nih anak... Masih aja telat mikir! Ya berkas kalian tuh gimana?"

"Oalah... Ya sudah dong."

"Hadeh... Syukur deh kalo gitu. Terus-terus?"

"Hash... Teras-terus kayak tukang parkir. Apanya yang terus?"

"Ya siapa tahu ada cerita yang menarik dengan pertemuan kalian?"

Menarik ya? Bagaimana bisa aku mengatakan pertemuan dengannya tidaklah menarik? Setelah semua yang terjadi dengannya seolah menjadi utusan semesta yang menyeretku dalam ketakjuban. Jika aku boleh memilih, aku ingin lebih mengenalnya sebagai seorang sahabat dari pada sebagai asslabnya. Ya walau semuanya telah terjadi, tapi tak apa. Toh dengan cara seperti ini pun sudah dapat aku tangkap keajaiban itu. Semua yang mendadak kebetulan kini terumuskan dalam satu kata kunci, takdir.

"Heh... Ditanyain malah bengong! Nar?"

Aku terjaga dari lamunan, "Hah? Ada apa, Bay?" Tanyaku tergelagap.

Lelaki yang sedang menyetir di depanku ini menggelengkan kepala, "Terserah kamu deh. Capek lama-lama ngomong sama kamu tuh!"

"Yaelah, gitu aja ngambek."

"Terserah!"

"Hahaha... Sorry, Bay!"

Untuk kesekian kalinya aku merasakan sesuatu yang berbeda. Pada suatu masa dimana aku terjerembab dalam sebuah lamunan panjang. Tentang sebuah pertikaian nurani dengan akal. Nuraniku berkata bahwa ini tak hanya sebuah pertemuan yang biasa namun akal dengan logisnya menebas segala kemungkinan yang hendak terjadi. Seringkali aku menerka-nerka, apakah kamu disana memikirkan yang serupa? Ataukah kita hanya sepasang insan yang secara kebetulan saling menaruh rasa dalam waktu yang berbeda? Ataukah ini semua hanyalah sebuah pembeda dari segala yang sudah-sudah?

Aku harap kita dapat berjalan sebagaimana layaknya sepasang manusia yang saling membubuhkan rasa. Tak perlu terburu, cukup saling memahami. Hingga pada akhirnya, kita terjebak dalam kubangan rasa yang sama. Kita yang saling jujur di depan kuasa, tak mampu membendung gejolak di dalam dada. Walau hal ini begitu cepat, kuharap semua tak berlalu. Memang ini terlalu awal untuk aku mengagumimu. Namun kita tak pernah tahu sejauh mana kita mampu bertahan? Dan hanya secercah harap yang mampu kulambungkan.

Kring...

Gawaiku berdering dalam saku celana. Kuraih, satu pesan bersarang dan lekas membukanya. "Nara..." Satu pesan dari Shafira membubarkan lamunan.

***


Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang