Gerimis masih rinai dari atas langit. Sesekali gemuruh berdentum, seperti mengguncang sisi semesta. Aku masih melihat guratan kecewa dari bola matanya.
"Aku melihat dia... Bersama... Wanita lain..." Ucap Yasmin lirih. Bibirnya bergetar kedinginan, membuat setiap perkataannya terbata-bata. Walau begitu, dia masih memaksakan diri untuk bercerita. "Aku memergokinya... Di coffe shop langgananku, Mas." Lanjutnya sembari menyeka air mata.
Aku diam sejenak, memberi ruang untuk Yasmin berbicara lebih banyak. Walau sebenarnya, ada perasaan yang mengganjal di dalam benak. Perasaan yang sejatinya harus kutumpahkan. Namun kupikir, saat ini bukanlah waktu yang tepat.
Hujan di luar semakin menjadi-jadi seiring dengan isak tangis Yasmin yang terus mengalir. Melihatnya berulang kali mengusap bulir air mata, membuatku semakin tidak karuan. Sejujurnya, aku ingin meredakan kesedihannya. Setidaknya aku dapat menghibur akan tetapi aku tahu, diriku tiada hak untuk melakukan itu.
Berulang kali kami terjebak dalam keheningan. Tak ada satu kata yang tumpah dari mulutku. Yang mampu kuperbuat hanyalah menunggu dan menunggu, menunggu Yasmin melanjutkan penuturannya.
Dia menatapku dengan wajah memelas, "Mas?"
"Hm?"
"Apakah aku salah jika mencintainya terlalu dalam?"
Seperti ada sesuatu yang menimpaku, memaksa bibir untuk terkatatup, lalu menggelengkan kepala. Tak ada yang bisa kuperbuat selain mendengar dan berhati-hati dalam menjawab.
"Jika memang aku nggak salah, lalu mengapa aku dikhianati? Hatiku perih..." Air mata perempuan itu kembali jatuh. Pundaknya bergetar.
Tak kuasa melihat Yasmin yang semakin bersedih, aku memberanikan diri duduk di sampingnya. Setiap kali aku melihat air matanya yang berlinang, setiap itu pula hatiku semakin berkecamuk. Berulang kali aku mencoba menenangkan hatinya. Seolah hati kami sedang bertaut, aku merasakan kesedihan serupa. Dari lubuk hatiku, saat ini aku ingin mendekapnya. Menenangkannya dari segala pelik. Melepaskan masalahnya yang mencekik. Namun lagi-lagi nyaliku ciut seolah tak berdaya.
Setengah jam berlalu. Hanya suara isak tangis dan gemuruh yang hilir mudik dalam telinga. Sekali-dua kali tubuhnya yang basah menggigil kedinginan. Wajahnya semakin pucat. Mengapa waktu terasa begitu lamban di saat seperti ini? Aku pikir hukum ruang dan waktu telah tak berlaku. Segalanya nyaris tak berdaya.
"Kamu tahu, Mas?" Lanjutnya.
"Hm? Ya?"
"Pas di jalan tadi... Aku bingung mau kemana. Aku gak tahu, aku harus kemana... Pikiranku kacau... Tapi, entah mengapa yang kuingat hanya kamu..." Ucapnya terbata-bata.
Mulutku masih terkunci. Aku bingung harus menjawabnya dengan apa.
Dia kembali menatapku, "Mas?"
"Hm?"
"Apakah selama ini aku egois? Aku... Aku memang bodoh mempertahankannya selama ini... Dia yang aku sayangi... Dia yang dulu kutemani di saat jatuh... Aku yang mendampinginya melewati masa-masa terpuruknya... Lalu menagapa dia setega itu padaku? Aku benci... Hatiku sakit, Mas...." Tangis Yasmin kian pecah.
Hatiku semakin tersayat melihatnya yang semakin histeris. Tanpa panjang lebar aku merangkulnya. Mendekapnya begitu hangat. Tanpa sepatah kata yang bisa kuucap, hanya dengan cara ini yang mampu kuperbuat. Kami tenggelam bersama dalam kesedihan.
"Bagiku, kamu perempuan yang hebat. Kamu adalah satu-satunya perempuan dengan hati tulus yang pernah aku temui. Putih layaknya namamu, Yasmin. Wangi layaknya namamu, Yasmin. Aku tak berhak menghakimi hubungan kalian, namun satu hal yang harus kamu ketahui, aku tak ingin kamu bersedih. Kamu berhak untuk berbahagia! Sesakit apapun kamu menahan lara, seperih apapun kau berjuang, percayalah bahwa masih ada yang menantikan senyummu." Ucapku mendekapnya erat.
Dia terdiam dalam pelukan bersama isakan yang tak jua reda. Berulang kali tanganku mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Rambutnya yang basah sesekali kubelai. Tanganku bergetar hebat ketika dia membalas rangkulanku.
Tak lama, tangisnya sedikit mereda. Ia meraih tanganku yang sedang mengusap air matanya. Dia menengadahkan kepala dan menatapku begitu dekat. Hatiku berdebar.
"Kuharap... Engkau selalu ada untukku..." Ucapnya lirih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupanggil Dia... Yasmin
RomanceApa yang kita tahu tentang sebuah perkenalan? Apakah makna perkenalan hanya sampai pada transaksi pertukaran nama belaka? Ataukah, hanya sekedar bualan semesta yang sering kali kita anggap biasa? Jika kalian berpikir demikian, kalian salah. Bagiku...