"Dia yang datang dari masa lalu membawa sebingikis kisah tentang lara dan suka."
Perpustakaan akhir-akhir ini menjadi pilihan yang tepat ketika aku sedang menyelesaikan revisi tugas akhir. Selain memudahkanku mencari literatur, perpustakaan juga menawarkan keheningan. Para pengunjung saling menenggelamkan diri pada buku yang dibaca atau fokus di depan monitor laptopnya. Siang ini aku singgah di perpustakaan daerah yang tak jauh dari arah rumah. Sayangnya karena hari ini adalah hari Sabtu, perpustakaan pun buka setengah hari.
Satu minggu lamanya menunggu hasil revisi dari Pak Nur, akhirnya beliau mengizinkanku untuk maju seminar minggu depan. Walau begitu, beliau masih saja menghadiahiku beberapa lembar revisi. Tak apa, aku tak menyesali. Seperti kata meme di sosial media, "tidak ada skripsi yang sempurna tanpa revisi."
Kring... Kring...
Gawaiku berbunyi, satu panggilan masuk memecah keheningan. Kuraih benda mungil itu yang tak jauh dari draft tugas akhir. Satu nama yang mampu menghenyakku terpampang dalam layar, Shafira. Cukup lama aku memutuskan untuk menerima panggilannya. Gawaiku masih berdering di tengah heningnya ruang baca. Aku rasa para pengunjung yang lain mulai terusik. Akhirnya, tanpa berpikir panjang lagi aku mengangkat panggilan tersebut.
"Halo..." Suara merdu nan lirih menyapa dari seberang.
Aku terdiam, merasa berat untuk bicara.
Deru napas perempuan itu terdengar, dia sedang menghela udara dalam dada. "Jika kamu enggan menerima panggilanku, cukup tutup saja panggilan ini. Maaf kalo aku mengganggu."
"Ada perlu apa, Shaf?" Akhirnya sebuah tanya meluncur dari mulutku.
"Engg... Gak papa. Gak jadi. Kalau kamu lagi sibuk, tutup aja teleponnya."
"Enggak, Shaf. Aku gak sibuk kok."
"Hmm... Jadi....." Ucapnya ragu.
"Jadi apa?"
"Anu... Nanti malem kamu sibuk nggak?"
"Sibuk? Hm... Emangnya mau ngapain?" Firasatku mulai tidak enak.
"Kita ke coffe shop temenku, yuk? Kebetulan nanti malam baru opening, aku ke rumah kamu ya?"
Jedag
Kata-kata itu mendobrak hatiku tanpa permisi. Dengan semaunya dia mengangkat dan membanting perasaanku begitu mudah. Lidahku mendadak kelu. Pikiranku terkuras mencari cela jawaban yang pas.
"Halo? Nar?"
"Oh... Halo... Iya, Shaf? Nanti aku kabarin lagi ya?"
"Hm... Iya deh. Ya sudah, kalo begitu aku tunggu. Bye..."
Panggilan terputus dari seberang. Sungguh, lima menit yang cukup mendebarkan. Aku memang tak pandai menyikapi soal yang demikian. Aku tak pernah tahu bagaimana aku harus bersikap pada seseorang yang dulu sempat kusayang. Dia datang bagai kutukan masa lalu. Setiap hari, setiap waktu aku berusaha menghindarinya. Namun dia seolah tak peduli, menghiraukan segala kenangan dan ucapan yang telah tercipta.
Aku beranjak dari tempat duduk setelah merapikan barang bawaanku. Tak ada selera untuk menuntaskan tugas akhir, aku pergi menuju parkir. Kutancap gas motorku dengan hati-hati. Di tengah perjalanan ucapan Shafira masih mendengung dalam kepala. Aku mulai kehilangan fokus, akhirnya aku memutuskan untuk menepi di depan warung kopi langgananku. Dengan sedikit berat kakiku melangkah ke dalam warung.
"Nar? Tumben siang-siang kesini?" Sapa seseorang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupanggil Dia... Yasmin
RomanceApa yang kita tahu tentang sebuah perkenalan? Apakah makna perkenalan hanya sampai pada transaksi pertukaran nama belaka? Ataukah, hanya sekedar bualan semesta yang sering kali kita anggap biasa? Jika kalian berpikir demikian, kalian salah. Bagiku...