5.2 Diantara Dua Jalan Setapak (Pt.1)

20 3 0
                                    

Kring...

Sebuah pesan singkat masuk. Kubuka.

Dari Yasmin, "Selamat pagi, Mas Nara... :)"

"Selamat pagi juga, Yasmin... :) Hei, jangan lupa nanti bawa laporan sementaranya." Balasku basa-basi.

"Nggak mau... Hahaha... :P"

"Mesti..."

"Iyaaa... Iyaaaa... Aku bawa kok. Asslabku bawel juga ternyata. :D"

"Bawel-bawel begini juga demi kebaikanmu... :P"

"Ihirrr... Mas asslab peduli juga ya sama praktikannya? :P"

"Kan aku emang begitu? :)"

"Ih... Pedenya kebangetan... Udah ah, aku mau mandi dulu. Kamu mandi juga sana, baunya sampe kesini tau gak? Hahaha...:P"

"Mesti... -_-"

Mentari merangkak di petala langit. Setelah peristiwa di laboratorium yang lalu, aku merasa hubunganku dengan Yasmin semakin mesra. Bahkan, kami pun saling bertukar nomor dan akun sosial media. Laiknya ada kegembiraan yang tengah berlabuh di sanubariku, aku menikmati kebersamaan ini. Setiap waktu kami habiskan bersama dengan saling bertukar kabar atau hanya sekedar berbagi canda.

Terlepas dari itu, mimpi semalam berhasil menyeretku pada seutas kenangan. Seolah ada sebuah sihir yang merasuki pikiran, entah mengapa, rasanya aku ingin bertemu Shafira saat ini. Aku tahu, walau hubunganku dengan Yasmin dekat namun jarak antara aku dan Shafira masih belum terlepas sepenuhnya. Pun di pagi ini ingatanku kembali berkelena pada kejadian tempo lalu, tepat ketika aku dan Shafira berkunjung ke coffe shop milik temannya. Ucapan Bagas masih terngiang jelas. Apakah Shafira menderita ketika bersamaku? Jika dia memang begitu, bukankah seharusnya ia menjauhiku? Lalu, mengapa dia memintaku untuk menemaninya tempo hari?

Kamar berukuran empat kali enam ini tak cukup menahan rasa penasaranku yang meluap. Aku kembali merebahkan punggung di atas kasur. Langit-langit kamar berwarna putih seolah menggambarkan isi kepalaku, bersih tanpa jawaban. Arghh... Sebenarnya apa yang harus kuperbuat?

Jaket itu masih tergantung dengan rapi. Kutatap lekat.

"Semoga dengan adanya jaket ini, kamu selalu dan selaaaalluu mengingatku."

Kata-kata itu menggema di kepala. Secercah penyesalan masih bergelayutan dalam benak. Kedekatanku dengan Yasmin yang begitu hangat, mengapa tak bisa kuterapkan juga ketika bersama Shafira? Baik dulu maupun sekarang, aku tak bisa bersikap seperti biasa pada perempuan yang pernah kumiliki itu. Aku lebih memilih untuk menghemat kata ketika bersamanya, namun dengan Yasmin semua berbeda. Ada banyak hal yang harus kuutarakan, bahkan hal-hal yang tak penting sering kulontarkan. Ketika bersama Yasmin, segala macam jenis obrolan menjadi nyaman.

Aku beranjak menuju lemari pakaian. Beberapa setelan baju kupilih untuk dikenakan hari ini. Tak cukup lama kuputuskan, kemeja berwarna putih dengan motif garis dan celana jins navy blue menjadi pilihan. Tentu kalian tahu, baju yang terbaik bukanlah baju dengan harga setinggi langit, melainkan yang nyaman dipakai. Aku meletakkannya di atas kasur. Beberapa macam berkas dan buku sudah siap di dalam ransel. Sialnya, mataku menangkap gambar Shafira yang terpampang di atas meja belajar. Tanganku meraih bingkai berukuran 4R itu. Dalam foto tersebut, dengan pakaian laced blouse putih Shafira sedang tertawa di antara ilalang yang bergoyang. Kedua tangannya menggenggam setangkai mawar putih yang dulu kuberikan padanya. Begitu anggun.

Hatiku terhantam pilu, rindu mulai berkelebat. Aku meletakkan foto tersebut ke tempat asal. Tanganku lekas meraih gawai.

"Pagi..." Kuketik singkat. Hatiku berdebar.

Aku menunggu balasan darinya. Cukup lama. Di tengah kekhawatiran, kuputuskan untuk mandi, barangkali nanti pesan dari Shafira telah masuk. Surabaya memang terkenal panas namun itu di siang hari. Berbeda hal ketika pagi, air yang mengguyur tubuh membuatku sedikit menggigil. Jika hari ini libur, tentu aku tak senekad sekarang dan memilih untuk bermalas-malasan di kamar. Urusan mandi? Ya... Siang hari.

Usai dari kamar mandi, aku melompat ke kamar dan segera mengecek gawai. Sial, tak ada balasan. Aku bergegas mengenakan pakaian. Tak lupa deodoran dan parfum kusemprotkan agar wangi. Rambutku yang bergelombang telah tersisir rapi.

Kring...

Sebuah pesan masuk. Aku membukanya. "Tumben?" Pesan dari Shafira.

"Hm... Gak papa sih, cuman nyapa aja."

"O... Aku kira ada apa."

"Enggak kok... Gak ada apa-apa."

"Siang nanti kamu sibuk gak?"

"Kayaknya  sih nggak."

"Kalo gitu, kita ketemuan di kantin. Gimana? Aku sering ngelihatmu sama Ubay nongkrong di sana."

"Oke deh... Aku atur nanti."

Jika memang ini adalah bagian dari kutukan yang lalu, aku tak kan menyesalinya. Memang harus kuakui bahwa aku sedang merindukanmu. Akan tetapi, aku pun tahu bahwa ini harus segera berakhir. Terlepas hubungan kita yang telah lama kandas. Terlepas hubungan kita yang telah jatuh usang. Aku ingin memulai sesuatu yang baru bersamamu. Bukan sebagai teman atau mantan. Kita telah menjadi insan yang berbeda.

Aku meraih jaket hoodie yang tergantung di balik pintu dan mengenakannya. Aku berangkat menuju kampus bersama kutukan yang harus kuakhiri.

***

Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang