1.2 Yang Telah Hancur

32 7 1
                                    

Seringkali ketika sore menjelang, Ubay mengajakku untuk mengelilingi setiap ruas kota Surabaya. Sejak masa-masa awal kuliah hingga di penghujung semester tujuh, Ubay tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa fotografi. Karena kecintaannya terhadap dunia fotografi itu, banyak diantara kami atau bahkan orang-orang lain memintanya untuk memotret. Ya, walau sejatinya dia tidak begitu tertarik dengan tipe potrait photography. Sejauh yang aku kenal, Ubay adalah tipekal fotografer yang fokus dalam dunia street photography. Hasil potretannya pun juga cukup memuaskan. Hebatnya lagi, ketika semester lima dulu, dia berhasil menduduki jabatan sebagai ketua unit yang diikutinya. Berulang kali dia memenangi lomba. Jujur, aku tak meragukan kehebatannya dalam mengambil gambar.

Berbeda denganku. Ketika aku mengikuti Ubay seperti saat ini, yang kupikirkan hanya sekedar menemaninya saja. Yah, walau sekali dua kali aku juga ikut memotret sesuatu. Itu pun memakai kamera handphone yang sering kubawa. Tak jarang Ubay mengejek seleraku pada gambar berwarna hitam putih yang aku suka. Bukan tanpa sebab, Ubay lebih mengutamakan keotentikan gambar yang kami potret, tanpa embel-embel filter atau editan apapun. Ah, entahlah... Aku tak begitu mengerti soal yang serumit itu. Toh, aku juga mahasiswa biasa yang tak pernah aktif dalam organisasi manapun. Jangankan aktif berorganisasi, nilai IPK-ku pun tak seindah foto yang dihasilkan Ubay.

Walau begitu, ada satu hal yang aku sukai ketika mengikuti Ubay hunting foto. Es degan Pak To! Benar, seolah ada sesuatu dalam minuman itu yang membuatku selalu ingin berkunjung kesana. Bayangkan, panasnya kota Surabaya berhasil luluh ketika kuteguk kesegaran es degan itu. Kesegaran yang tiada tara.

"Nar? Kita ke pusat kota ya?" Tanya Ubay sedang menyetir motor yang kami tunggangi.

"Bebas... Aku ngikut kamu aja."

Motor kami melesat, menerobos padatnya kemacetan jalanan kota Surabaya. Jangan tanya seberapa banyak asap kendaraan mengepul di kota ini. Pastinya membuat udara kota keruh tidak karuan.

Kring...

Gawaiku bergetar dalam saku kemeja. Rasanya, ada pesan yang masuk. Aku lekas mengambil dan membukanya.

"Assalamu'alaikum... Nara... :)" Sebuah salam hangat mengagetkanku di tengah perjalanan. Sebuah pesan singkat yang sebelumnya tak pernah kuberharap akan menerimanya kembali. Sebuah pesan singkat dari Shafira.

"Waalaikumsalam..." Balasku.

Tak lama kemudian pesanku terbalas. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik."

"Syukur deh kalau begitu... Hmm..."

"Hm?"

"Hehehe... Gak papa... :)"

"Ada perlu apa, Shaf?"

Tak ada balasan lagi darinya. Kali ini, pesanku hanya dibacanya. Apa yang kurasa? Canggung? Iya, satu kata itu mewakiliku dalam benak. Ketika hubungan kami berakhir selama dua bulan lamanya, baru kali ini dia menyapaku. Rasanya, ada bekas luka yang kembali menganga. Luka yang sempat kusembuhkan, kini kembali berdarah karena ulahnya. Aku memang tak mau membalas pesannya dengan sikap yang hangat. Aku memang tak mau! Mungkin ini semacam bentuk pertahananku, mempertahankan rasa lukaku yang kembali berdarah.

Kring...

Satu lagi pesan dari Shafira bersarang. Kubuka.

"Ternyata kamu masih sama seperti dulu, ya? Dingin. Tapi tak apa, aku memakluminya. :) Maksud pesanku ini, hanya untuk memastikan kondisimu saja. Maaf jika selama ini aku tak dapat membuatmu lebih bahagia ketika kita bersama... :) kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang lebih daripada ketika bersamaku. Aku tahu, mungkin sikapku kali ini membuatmu tidak nyaman. Aku tahu itu... Tapi... Bukan berarti kita tak dapat kembali berteman bukan? J aku harap kita sama seperti pertama kali bertemu. Menjadi sosok yang asing dan dengan bantuan waktu, kita menjadi teman yang tak akan terpisahkan. Maaf jika aku terlalu egois. Lagi-lagi, aku hanya bisa berharap. Untuk kamu... Selalu bahagia... Entah dengan siapa kamu menghabiskan waktu... Entah dengan siapa kamu berbagi canda... Bagiku, kebahagiaanmu menjadi yang utama. :)"

Kamu salah, Shaf. Aku tak pernah bahagia. Walau dengan siapapun aku berteman. Walau dengan siapapun aku menghabiskan waktu dan canda tak kan pernah bisa membuatku lebih berbahagia. Darimu aku belajar tentang rasa sakit. Kamu mengajariku bagaimana rupa kesedihan. Maaf, aku tak dapat membalas pesanmu. Bukan maksudku untuk menampakkan sikap dinginku yang selama ini kamu benci. Bukan! Bukan itu. Aku hanya ingin terbebas darimu. Terbebas dari bayangmu. Kita tak dapat lagi berteman. Kita tak akan pernah mampu menjadi teman. Seperti katamu, waktu. Waktu tak kan pernah bergerak mundur. Waktu selalu melaju kedepan. Itulah kita, tak kan pernah seperti semula. Karena kau dan aku adalah sepasang unsur yang telah hancur.

***

Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang