Bab 5 (Tentang Kamu Dan Kutukanmu)

38 4 3
                                    

"Ketika aku memilih menyerah dari segalanya, kau hadir bagai kutukan yang harus kuselesaikan."


Coffe shop langgananku sore ini ramai seperti biasanya. Para pengunjung memadati setiap penjuru ruangan. Riuh suara obrolan mereka dan lantunan musik menggema ke seantero sudut ruangan, menambah semaraknya suasana senja. Bersama bangku kosong yang tertata rapi di hadapanku, aku menunggu kedatangan dia.

Secangkir cappuccino yang kupesan masih mengepul panas. Begitu pun Surabaya hari ini yang masih dedar walau matahari telah turun dari tahtanya. Tak hanya itu, bokongku juga mulai kepanasan lantaran duduk terlalu lama. Aku meraih gawai yang kubiarkan tergeletak di atas meja sedari tadi dan mengirimi pesan pada seseorang yang kutunggu.

"Sudah sampai mana?"

Centang satu, sial! Gawainya sedang luring. Kuletakkan kembali gawaiku ke atas meja. Menjenuhkan. Tak ada hal menarik yang dapat kuperbuat selain memandangi ruangan berukuran empat kali enam ini. Kedua bola mataku sibuk menyusuri setiap sudut celah. Ornamen-ornamen coffe shop yang terpajang memanjakan penglihatanku. Beberapa bingkai foto yang tergantung mengingatkanku pada kejadian masa lalu bersama Ubay. Satu di antara puluhan foto tersebut, ada hasil jepretan dari temanku itu. Sebuah foto yang memenangi sayembara dari coffe shop tersebut. Dengan tema Urban Lifes of Surabaya, Ubay berhasil menyabet gelar sebagai juara satu. Ketika itu, aku menemaninya saat penerimaan piala. Walau aku tahu, itu bukan pertama kalinya dia meraih gelar juara.

"Hayoo... Matanya jelalatan!" Seseorang menarik telingaku dari belakang.

"Adududuhhhh...." Jeritku kesakitan. Aku melihat ke arah si pemilik tangan. Ternyata dia, perempuan yang kutunggu sedari tadi.

Dia menyeret bangku di hadapanku dan duduk. "Lama nunggunya?" Kata perempuan di hadapanku sembari menaruh tas belanjaan.

"Hash... Dari saking lamanya, aku sampek lumutan tahu nggak?"

"Ooo... Syukur deh kalo gitu."

"Hadeh.. Bisa-bisanya."

Perempuan itu tersenyum nakal.

Hari ini dia tampak berbeda. Dia lebih cantik dari biasanya. Rambut lurusnya yang panjang diikat ala sleek ponytail dengan pita velvet berwarna jingga muda. Tak hanya itu, blouse berwarna apricot dengan motif garis-garis hitam yang ia kenakan pun sangat cocok di tubuhnya. Rasanya, aku ingin memuji penampilannya secara terus terang. Sayang, aku tak memiliki keberanian untuk itu. Mulutku masih terkunci rapat, sangat rapat.

Dia mengeluarkan gawai dari saku celananya. Kedua matanya menukik ke layar gawai, jempolnya menari-nari. Dia sedang mengecek sesuatu. Entah apa?

"Eh, password wifinya apa? Aku off nih..." Katanya.

"Pantes... Dari tadi dichat gak bales."

"Oh iya ta? Sorry... Ayo sini passwordnya, biar cepet aku bales."

"Hash... Aku ganteng gak."

"Ye... Pede banget sih!"

"Apanya yang pede?"

"Lah... Situ nanya."

"Siapa yang nanya?"

"Ya tadi itu."

"Astaga, itu password wifinya!"

"O... Sorry... Hehe..."

Aku mendengus kesal.

Sepuluh menit berlalu. Seorang waiters mendatangi meja kami, membawa pesanan. Segelas kopi tubruk tersaji di atas meja bersama carrot cake. Satu hal unik dari perempuan di hadapanku yang perlu kalian tahu, ia penikmat kopi tubruk yang biasa digandrungi bapak-bapak jika berkunjung ke coffe shop ini. Tentu kopi yang kumaksud itu ialah kopi hitam tanpa gula. Aku tak bisa membayangkan jika aku meminum kopinya, lidahku pasti terkilir dari saking pahitnya.

Aku menyesap cappuccino yang sedari tadi kubiarkan meluruh dingin. Berbeda dengan kopi tubruk dia, cappuccino-ku manis seperti kembang gula. Cukup pahitnya hidup yang kuterima, minumanku sih jangan.

"Eh, aku bawa kado ulang tahunmu." Celetuknya meraih tas belanjaan.

Aku terbelalak. Bukankah ulang tahunku sudah lewat seminggu yang lalu?

"Nih... Coba di buka." Kotak kardus hitam dengan pita berwarna emas diletakkannya di atas meja.

Aku lekas membuka kotak itu. Sebuah jaket hoodie berwarna biru muda terlipat rapi di dalamnya. Ada decak kagum yang mulai berdetak. Baru pertama kali ini aku menerima kado ulang tahun dari perempuan yang kusayangi. Aku tak dapat berkata apa-apa selain menyukainya. Bibirku bergeming.

"Kok diem sih, Nar? Kamu gak suka sama kadonya?"

Aku menggelengkan kepala, "Enggak, suka kok." Jawabku datar.

"Tuh kan... Mesti! Gak tahu deh. Bikin kesel aja!" Dia merajuk.

"Suka kok! Aku suka!" Ucapku memastikan.

Perempuan itu menghiraukan.

Lagi-lagi ketidakpandaianku berekspresi membuatnya kesal. "Udah dong, jangan marah-marah lagi. Gak capek tengkar terus?"

"Bodo!"

Aku memasang senyum simpul. Jaket itu kukeluarkan dari dalam kotak lalu mengenakannya. "Gimana? Cocok gak?" Tanyaku mengalihkan topik.

Mimiknya berubah, dia tersenyum manis. "Cocok." Katanya sedang menganggukkan kepala. "Semoga dengan adanya jaket ini, kamu selalu dan selaaaalluu mengingatku." Dia menimpali.

"Hash... Kayak kutukan aja."

"Iya dong... Aku kan emang penyihir. Mirip kayak Scarlet Witch di film Marvel."

"Hahaha... Lebih tepat kalo Maleficent sih."

"Yeee... Jelek dong? Hahaha..."

Meja kami pun riuh dengan gelak tawa.

Doorrr... Dorrr... Pintu kamarku digedor keras-keras. Aku terkejut dan lekas bangun. Dengan suara kesal kubalas. "Ya!"

"Bangun... Sudah pagi! Mau sampai kapan tidur terus?" Kakakku teriak di balik pintu.

Ya ampun... Aku masih linglung. Lagi-lagi ingatan itu muncul di dalam mimpiku. Aku cepat beranjak dari kasurku yang nyaman. Lalu ketika hendak membuka pintu, aku melihat jaket hoodie berwarna biru muda itu tergantung di balik pintu. Sebuah kado dari Shafira yang hanya kupakai sekali.

***

Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang