"Kata orang, hujan yang jatuh tak pernah membenci bumi. Apakah air mata pun demikian?"
Sebulan berlalu. Aku rasa, kini hubunganku dengan Yasmin semakin erat. Setiap praktikum usai aku, Yasmin dan Kusma biasa menghabiskan waktu di kantin. Kerap Yoga, Ubay dan Zul ikut bergabung di meja kami. Hari ini pun masih sama, Yasmin dan Kusma mengajakku ke kantin. Kami melangkahkan kaki dari arah laboratorium menuju kantin pusat.
Seperti hari-hari sebelumnya, Yasmin selalu terlihat cantik. Kemeja berwarna kuning dan bando merah bermotif polkadot putih itu cocok dikenakannya. Dia melangkah riang mendahului kami bersama earphone yang menancap di kedua telinganya. Sepertinya dia sedang asyik menikmati senandung lagu yang diputarnya.
"Mas, Nar?" Tanya Kusma yang berjalan di sampingku.
Aku menoleh ke arahnya, "Hm?"
"Skripsimu sudah sampai mana?"
"O... Setelah sidang kemarin, harusnya habis ini selesai sih. Emangnya kenapa?"
"Yah... Berarti habis ini lulus dong?"
"Kira-kira begitu. Do'akan aja biar aku cepat lulus. Toh aku juga udah gak betah di Surabaya. Hehe..."
"Amin... Emangnya kamu mau kerja dimana, Mas?"
"Hm... Kerja ya?" Kataku mengelus dagu seolah memberi jeda di antara obrolan kami.
"Sepertinya aku akan ke Sumenep deh." Lanjutku.
"Hah? Sumenep? Madura, Mas? Emangnya di sana ada pabrik atau perkantoran gitu?" Tanya Kusma terbelalak. Perempuan dengan kerudung berwarna kuning muda itu menggelengkan kepala, seolah tak memercayai perkataanku.
Kusunggingkan dua sudut bibirku, "Hei... Madura tak sekolot apa yang kamu pikirkan." Ucapku menatap ke arah Kusma.
"Hih! Apaan sih, Mas? Wajahmu lhoo..."
Aku terkekeh melihat reaksi Kusma yang absurd. Dia mendengus kesal melihatku yang mengerjainya.
"Dasar asslab jahil!"
"Biarin! Weekk...." Balasku menjulurkan lidah.
Bruk
Aku menabrak tubuh Yasmin tanpa sengaja. Karena terlalu asyik bercanda dengan Kusma, aku tak menyadari kalau dia tengah berdiri menunggu kami di depan.
"Gimana sih, Mas? Makanya kalo jalan jangan guyonan terus." Ucapnya kesal.
"Hash... Sorry lhoo..."
Tak sengaja aku melihat lagu yang sedang diputar Yasmin di gawainya. Mungkin, ini adalah hal yang baru bagiku. Suatu hal yang belum kuketahui dari dia sebelumnya. "Eh, gila! Kamu suka lagunya Letto ternyata?"
"Hm? O... Iya dong, emangnya kenapa?"
"Buset! Sekarang zamannya lagu-lagu indie, Yasmin. Seleramu jadul juga ternyata."
"Siapa bilang jadul? Tahu gak sih, Mas? Musik-musik di era 2000-an tuh lebih enak didengar dari pada musik zaman sekarang. Toh, bukan hanya Letto doang yang aku suka. Intinya tuh, aku suka lagu pop. Titik! No debat!"
Mendengar penjelasannya yang panjang-lebar membuatku teringat akan sosok Shafira, "O... Gitu? Hm... Gara-gara kamu, aku jadi keinget seseorang." Celetukku.
"Siapa?"
"Perempuan dari masa lalu." Kami melangkahkan kaki kembali.
Tiba di muka kantin. Aku, Yasmin dan Kusma menuju ke warung Cak Mun. Tidak seperti biasanya kantin terlihat lengang. Mungkin, hari ini para mahasiswa sibuk dengan perkuliahannya. Apalagi hampir mendekati penghujung semester, biasanya dosen gila-gilaan memberikan tugas kuliah atau jam tambahan ke mahasiswanya. Mereka lupa, bahwa mahasiswa pun juga manusia. Mereka butuh istirahat. Apapun alasannya, memaksakan sesuatu tetaplah tidak baik.
Setelah memesan beberapa makanan dan minuman, kami bergegas menuju meja yang biasa kami tempati. Yasmin meletakkan tasnya di atas meja disusul dengan Kusma. Kami duduk melingkar saling berhadapan. Tak lama, Yasmin melepaskan earphone dari kedua telinganya.
"Oh iya, Mas. Aku penasaran, maksudmu tadi itu siapa?" Yasmin bertanya.
"Siapa?" Balasku kebingungan.
Kusma menimpali, "Itu lhoo, Mas. Perempuan dari masa lalu." Terangnya.
"O... Bukan siapa-siapa. Teman kok.... Hanya teman." Sangkalku menutupi.
"Ciee... Teman apa teman?" Kusma mulai menggodaku.
Aku sedikit tergelagap. Mataku menyorot ke arah Yasmin. Dia tidak memerhatikan, sibuk dengan gawainya.
"Ayo, Mas! Ngaku! Kamu sudah punya pacar toh?" Lanjut Kusma.
"Gila! Boro-boro punya pacar, kucing aja gak punya."
"Ih... Bisa aja ngehindar sampean tuh."
Yasmin meletakkan gawainya, tiba-tiba pipinya merona. Seolah ada kebahagiaan yang tertahan dari dalam dirinya.
"Kenapa mukamu merah begitu?" Tanya Kusma pada Yasmin.
Dia menggelengkan kepala, seolah menahan sesuatu untuk diungkapkan.
"Nggak Mas Nara, nggak Yasmin. Kalian tuh sama aja ternyata, ya?" Lagi-lagi Kusma mendengus kesal.
Apa yang kini kurasakan? Melihat wajah Yasmin yang sedang tersipu, membuat perasaanku sedikit tidak nyaman. Mungkinkah dia memiliki hubungan khusus dengan seseorang di balik gawainya? Lantas, siapa?
"Dia dapat pesan 'sayang' dari pacarnya, Kus. Makanya wajahnya merah kayak tomat begitu." Ledekku.
"Oh ya? Pasti dari Lingga! Sini aku lihat..." Kata Kusma meraih gawai Yasmin.
Lingga? Sebuah nama yang perlu kutelusuri. Kini perasaanku mulai tak menentu. Entah kusebut apa perasaan semacam ini. Apakah aku sedang cemburu?
"Waaah!!! Gila!!! So sweet banget sih ini..." Seru Kusma menatap layar gawai yang dipegangnya.
Yasmin meraih benda mungil itu. "Sudah... Jangan lama-lama ngelihatnya! Nanti kamu jatuh cinta sama dia."
"Duh... Enaknya ya kalo udah pacaran? Bisa mesra-mesraan gitu. Kapan juga aku punya pacar?" Keluh Kusma.
"Makanya cari!"
"Cari! Cari! Dikira nyari apaan?"
"Nyari pacarlah!"
"Buset! Gak semudah itu, Yasmin."
"Makanya, jadi perempuan tuh jangan pasang standar terlalu tinggi."
"Lhoo... Justru itu! Dengan memasang standar tinggi, kita bisa lebih selektif lagi dalam memilih pasangan. Ya nggak, Mas Nar?"
"Hah?" Balasku terperangah.
"Tunggu... Tunggu... Aku masih penasaran, Mas Nara kan belum punya pacar. Tapi, ada nggak perempuan yang kamu suka saat ini? Kalau ada, kasih tahu dong siapa dan apa alasannya?" Yasmin bertanya penuh semangat.
Harus kujawab dengan apa pertanyaan semacam ini? Apakah rasa suka perlu sebuah alasan? Ataukah rasa suka adalah bagian dari rasa mencintai? Dulu, aku tak pernah tahu kapan aku menyukai seseorang. Sialnya, akhir-akhir ini rasa itu belum lama kukenali.
Aku terdiam menatap mereka. Tak lama, aku pun menggelengkan kepala.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupanggil Dia... Yasmin
RomantizmApa yang kita tahu tentang sebuah perkenalan? Apakah makna perkenalan hanya sampai pada transaksi pertukaran nama belaka? Ataukah, hanya sekedar bualan semesta yang sering kali kita anggap biasa? Jika kalian berpikir demikian, kalian salah. Bagiku...