5.3 Diantara Dua Jalan Setapak (Pt.2)

21 4 0
                                    

Seperti biasa ketika kelar praktikum, selalu saja laboratorium ramai dengan suara praktikan yang hendak pulang. Dan Seperti biasanya pula, aku menjadi penghuni terakhir. Banyak hal harus kukerjakan sebelum meninggalkan ruangan tersebut. Merapikan bangku, mengecek peralatan dan memastikan bahan-bahan kimia terjaga dengan aman. Hari ini sedikit berbeda, aku ditemani Yasmin dan Kusma. Mereka berdua membantuku merapikan beberapa bangku ke tempat semula.

"Sudah beres semua?" Tanya Yasmin menghampiriku.

Aku mengangguk, "Sudah kok... Ayo!" Ajakku meninggalkan lab.

Sang surya bersinar cerah di angkasa. Sesekali angin berhembus membawa kesejukan di tengah panasnya hari. Kami berjalan menyusuri laluan arah menuju kantin bersama ocehan Kusma yang tiada henti membising di gendang telinga. Dia kecewa pada dirinya sendiri, hasil praktikumnya gagal.

"Sumpah! Tadi tuh aku sudah memasukkan rumusnya, tapi kok... Arggh..." Kusma menggeram. Dia kesal dengan perbuatannya.

"Emangnya kamu tahu rumus pengenceran itu apa?" Tanya Yasmin.

Kusma kebingungan menjawab. Tangannya sibuk menggaruk kepala.

"Hahaha... Gitu masih sok-sokan gerutu. Sudah... Terima saja kenapa sih?" Sindir Yasmin. Dia terkekeh melihat tingkah Kusma.

"Hadeh... Emangnya kamu sendiri tahu rumus pengenceran itu apa?"

Yasmin terbelalak mendengar pertanyaan Kusma.

"Tuh kan... Yasmiiinnn.... Yasminnn... Ternyata kamu gak beda jauh ya sama aku?"

"Hash... Enggak!" Yasmin membantah, dia mendengus kesal.

"V1 kali M1 sama dengan V2 kali M2." Celetukku membelah percakapan mereka.

"Woooooo!!!" Mereka berseru terkejut.

Aku menatap ke arah dua perempuan itu, "Kenapa?" Tanyaku.

Kusma mulai menggoda. "Asslabku memang the best..." Dia mengacungkan kedua jempolnya tepat di wajahku.

Yasmin kembali terkekeh melihat tingkah kami berdua.

Ada perasaan bahagia yang hinggap ketika aku melihat raut wajah Yasmin yang sedang ceria. Barangkali memang benar, bahwa energi positif yang kita pancarkan akan menularkan kebaikan pada orang lain. Tiada henti-hentinya aku mencuri pandang. Wajah yang lugu dengan landang di ujung hidungnya menambah daya tarik keceriaan yang dipancarkannya.

Tiba di kantin. Kami lekas menuju meja nomor sebelas, tempat biasa kami menghabiskan waktu bersama. Ramainya pengunjung membuat kami saling berdesakan. Jam-jam seperti saat ini, para mahasiswa dan pegawai kampus sibuk mencari makan. Apalagi warung Cak Mun memang terkenal dengan masakannya yang enak. Tentunya, hal itu membuat kami kesulitan mencari tempat duduk, bukan?

"Nar!" Seseorang memanggilku dari arah meja.

Aku menengok ke arah sumber suara.

Suara itu berasal dari arah meja sebelas. Ubay melambaikan tangannya seolah memberi isyarat agar aku segera menuju ke sana. Kami bergegas. Nahas, aku melihat Bagas di antara mereka. Pun Shafira yang mengajakku untuk bertemu sudah duduk dengan nyaman di sana. Hatiku berdebar. Perasaanku memberi isyarat akan terjadi sesuatu setelah ini.

"Sudah dari tadi, Mas?" Tanya Yasmin pada Ubay. Dia bergeser, duduk di samping Shafira. "Enggak kok, masih barusan." Balasnya.

Kami duduk saling menghadap. "O... Begitu." Kata Yasmin singkat.

"Oh iya, kenalin... Ini Shafira dan ini Bagas." Ubay memperkenalkan mereka pada Yasmin dan Kusma. Mereka saling berjabat tangan. Mengenalkan diri satu sama lain.

Aku masih terdiam tanpa satu kata yang terucap.

Tak berselang lama, meja kami sedikit hening. Mereka sibuk dengan gawainya. Aku pun demikian, walau sebenarnya tidak ada aktivitas yang berarti. Buka-tutup aplikasi dan melihat beberapa status teman di time line sosial media. Meski begitu, aku tidak tenang dengan situasi semacam ini. Hening yang berkecamuk menambah kepanikan dalam diriku.

"Eh, aku mau tanya. Emangnya kamu suka memakai bando ya? Soalnya lama-lama tak perhatiin, kamu tuh sering memakainya." Tanya Ubay pada Yasmin memecah suasana.

Yasmin menanggapi pertanyaan lelaki berambut klimis itu, "Oh, ini? Kalau sukanya sih suka. Soalnya aku merasa percaya diri aja ketika memakainya."

"Percaya diri?" Tanya Ubay terheran.

"Iya, Mas. Karena mantanku dulu suka melihat aku memakai bando yang diberikannya. Waktu itu, pas ulang tahunku dia membe..." Tak sempat melanjutkan penjelasannya, Shafira memotong pembicaraan Yasmin. "Wah, hebat ya bisa konsisten begitu? Beda banget sama mantanku. Susah-susah aku membelikan jaket untuknya, eh malah gak pernah dipakai."

Shafira menggelengkan kepala seolah mengisyaratkan kekecewaan. "Bodohnya lagi, ketika putus dia malah pakai jaket itu. Kayak orang yang gak tahu diri!" Timpalnya. Kedua matanya melirik kearahku.

Sial! Aku tak berkutik. Mulutku terkunci rapat untuk membalas ucapan Shafira. Rencana yang telah disusun dari pagi untuk mengakhiri kutukannya pun gagal. Aku tersudut. Setelah sekian lama tidak bertemu dengannya, Shafira seolah tidak menerima atas apa yang terjadi. Bahkan aku tak menyangka dia akan berkata seperti itu.

"Jaketmu bagus, Nar. Beli dimana?" Sindir Bagas.

Aku terperangah mendengar pertanyaannya. Bibirku terkatup. Sekelebat bayangan masa lalu terpampang dalam imaji. Masa-masa dimana ketika aku kecil dulu, segala perundungan yang kuterima tergambar jelas di depan mata. Tak ada yang bisa kudengar selain kata-kata hinaan dan gelak tawa di masa itu.

Apa yang harus kulakukan?

Meja kami sunyi. Tiba-tiba... "Hanya orang bodoh saja yang mempermasalahkan pemberian mantan! Segala hal yang telah kita beri, bukankah dilandasi dengan keikhlasan? Untuk apa memberi jika ujungnya untuk menyakiti?" Tukas Yasmin di tengah keheningan.

***

Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang