5.4 Seseorang Yang Lebih Kuat Dari Penyihir Itu

64 3 0
                                    

"Sudah kamu siapkan draft skripsinya untuk sidang yudisium besok?" Tanya Pak Nur sedang berdiri mengawasi ujian praktikum.

"Tinggal sedikit lagi, Pak. Di bagian lampiran masih belum saya cek kembali."

Pak Nur mengangguk paham.

Seminggu berlalu setelah peristiwa pelik di meja sebelas. Tempat dimana segala rencana berubah di luar dugaan. Siapa yang menyangka Yasmin akan berkata seperti itu? perkataannya cukup menampar kami untuk kembali pada kenyataan. Walau cukup tegang, setidaknya ada secercah ketenangan yang tumbuh di dalam dada kala itu.

Dia adalah satu dari sekian banyaknya perempuan yang mampu membuatku jatuh kagum. Tak hanya soal paras atau penampilannya yang lucu, aku menyukai sifat ketegasannya. Sesekali aku juga mengagumi kemandirian dan kedewasaannya dalam berpikir. Walau sejatinya, aku tak mampu mengutarakan kekagumanku ini padanya secara langsung. Lelaki menyedihkan sepertiku mana mampu berkata secara blak-blakan seperti itu? Aku yang terbiasa diam, hanya mampu menyelipkan pujian di balik sikapku yang bungkam.

"Tinggal sepuluh menit lagi. Kalau sudah ada yang selesai, silahkan kertas ujiannya dikumpulkan ke depan." Kata Pak Nur menghimbau praktikan.

Jarum jam menunjuk angka sebelas. Sepuluh menit lagi ujian praktikum kimia dasar akan berakhir. Begitu pun dengan kegiatan satu SKS ini. Selama satu semester lamanya, akhirnya, tiba juga di penghujung. Sepertinya, setelah ini pertemuanku dengan Yasmin akan semakin renggang. Apalagi beberapa minggu ke depan aku harus menghadapi ujian yudisium, tentu tak ada waktu untuk bersantai. Namun entah mengapa aku masih belum rela melepas momen-momen seperti ini.

"Ayo, tinggal lima menit lagi!" Seru Pak Nur. Kakinya melangkah.

Satu persatu praktikan mulai mengumpulkan lembaran ujiannya. Beberapa wajah diantara mereka melukiskan kepuasan. Seolah ia sangat yakin dengan hasil jawabannya. Dan tak sedikit pula yang begitu khawatir, semua itu terpampang dari kening mereka yang basah berlumur keringat.

Waktu ujian telah usai. Selama satu setengah jam mereka berpacu dengan waktu. Menguras otak, mencari cela jawaban yang pas hingga mencuri jawaban teman semua tertangkup dalam satu fragmen waktu. Kertas-kertas ujian mulai tertumpuk di atas meja. Berbeda denganku yang masih sibuk merapikan berkas, tangan Pak Nur ripuh menyalami jabat tangan praktikan.

"Nar, ini lembar jawaban anak-anak saya yang bawa ya? Sekalian bapak yang ngenilai." Tawar Pak Nur memegang kertas ujian.

Aku cukup terkejut mendengar perkataan Pak Nur. Biasanya, selama ini yang mengoreksi jawaban praktikan hanya aku seorang. "Oh... Baik, Pak. Kalo begitu..."

"Saya tahu akhir-akhir ini kamu sibuk mengurusi skripsi. Tapi berkat bantuanmu, akhirnya praktikum ini selesai dengan lancar. Terima kasih ya sudah bantu bapak selama ini."

"Hehe... Sama-sama, Pak." Balasku tersipu.

"Kalau begitu, bapak tinggal pergi dulu ya? Soalnya habis ini saya ngajar di ruang 201. Buku absensi dan modul praktikumnya kamu bawa dulu aja."

"Iya, Pak." Jawabku singkat.

Pak Nur melenggang pergi meninggalkan laboratorium.

Lagi-lagi aku tertinggal sendiri di ruangan sebelas kali delapan meter ini. Sepi dan sunyi, sepertinya aku mulai terbiasa dengan dua kata itu. Walau bagaimanapun aku tak dapat menggeretu, ini merupakan tanggung jawab yang tak mungkin dengan mudah dilepas begitu saja.

Usai memasukkan buku absensi ke dalam tas, aku beranjak merapikan bangku. Pikiranku berputar pada sebuah ingatan yang tertera di dalam kepala, memantik hasrat. Andai saja Yasmin saat ini membantuku. Tentu akan menjadi sebuah momen yang tepat untuk mengakhiri kegiatan kami selama satu semester ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang