3.3 Utusan Masa Lalu

21 4 1
                                    

Ini bukan malam minggu pertama kali aku menghabiskan waktu bersama Shafira. Baik sebagai teman atau pacar, sering kali aku menghabiskan malam mingguku bersamanya. Dan kali ini, sebagai mantan pacarnya pun demikian. Walau status kami sudah berbeda dari sebelumnya, aku harap, tidak ada kecanggungan yang akan terjadi nanti.

Kring...

Sebuah pesan bersarang dalam gawai. Kubuka. "Buruan, Nar! Aku sudah kehabisan obrolan sama Ibumu." Pesan dari Shafira.

"Iya, ini udah kelar kok. Habis ini aku turun, bawel!" Balasku.

Aku berjalan menuju lantai bawah. Shafira dan Ibu sedang di ruang tamu. Sebenarnya aku masih ragu untuk menerima ajakannya namun di sisi lain, aku cukup penasaran. Barangkali di tengah perjalanan nanti dia akan memberitahu sesuatu.

"Wow... Anak Ibu yang ganteng sudah siap ternyata." Puji Ibu dari tempat duduknya.

"Ah... Ibu. Bisa aja kalo muji."

"Iya, Nar. Malam ini kamu terlihat berbeda. Tambah ganteng." Timpal Shafira. Dia pun terlihat cantik malam ini. Kemeja kotak-kotak berwarna merah tua yang dibalut dengan jaket jins itu sangat cocok dikenakannya.

"Hash... Sudah-sudah... Yuk Shaf berangkat!" Sangkalku mengalihkan pembicaraan.

Kami berpamitan pada Ibu dan bergegas keluar rumah. Motor Vespaku yang terparkir sedari pagi tengah kukeluarkan dari garasi. Tak lama kemudian aku mulai menyalakan mesin motor dan memanaskannya. Jujur saja, aku memang jarang memakai motor saat bepergian. Jika masih bisa memakai sepeda, aku akan memakainya. Bukan hanya karena harga bensin yang naik saja aku enggan menggunakan motor, tapi aku juga paham bagaimana harus merawat alam. Salah satunya dengan mengurangi polusi dari asap kendaraan.

"Gimana helm baruku? Cocok gak sama motormu?" Tanya perempuan dengan helm bogo berwarna coklat tua itu.

Aku menatapnya lekat. "Cocok. Sayangnya aja kita jarang bepergian bareng." Ucapku lirih. Memastikan Shafira tidak mendengarnya dengan jelas.

"Hah? Apa, Nar? Gak kedengeran nih. Motormu berisik..."

"Gak papa... Cocok kok. Yuk berangkat!" Kataku mengalihkan pembicaraan.

Kami melesat menuju tempat yang dimaksud. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan, sepertinya malam ini jalanan Surabaya lebih ramai dari pada malam-malam sebelumnya. Berulang kali aku melihat sepasang muda-mudi berboncengan menaiki motor mereka. Lampu-lampu kota pun terlihat lebih terang menyinari kami.

Shafira mendekatkan kepalanya ke arah pundakku. "Eh, Nar. Aku mau tanya sesuatu boleh?" Tanyanya.

"Boleh." Jawabku singkat.

"Kamu belum bilang ke Ibu kalo hubungan kita sudah berakhir?"

Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang datang tiba-tiba. "Hm... Iya. Kenapa?"

"Gak papa sih. Aku juga begitu. Orang rumah gak ada yang tahu kalo kita sudah putus. Pantas saja tadi Ibumu tanya tentang hubungan kita."

"Terus kamu jawab gimana?" Tanyaku terbelalak.

"Ya aku jawab baik-baik aja gitu. Tahu gak sih? Pas Ibumu tanya begitu, aku sempet shock tahu gak?"

Aku terdiam. Berusaha memberi jeda untuk Shafira melanjutkan ceritanya.

"Untung aja aku pinter ngasih alesan. Makanya aku mastiin ke kamu sekarang." Lanjutnya.

"Ya udah kalo kamu bisa nge-handle-nya."

"Hhh... Masih saja ternyata."

"Hm?"

"Ya sikapmu itu! Dingin membeku kayak es batu."

Kupanggil Dia... YasminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang