"Kalau dari saya sih, ini sudah tinggal sedikit lagi. Paling, ya... Sekitar satu atau dua kali revisi lagi kayaknya. Oh iya, dosen pembimbing keduamu kan Bu Nilna, Nar? Beliau sudah sampai mana ngerevisinya?" Tanya Pak Nur.
Setelah drama tadi siang antara Angga–salah satu adik angkatanku dan Pak Nur saling beradu mulut ketika jam beliau mengajar, membuat jadwal bimbinganku berantakan. Dari awal bimbingan hingga detik ini, mimik wajah Pak Nur menyiratkan amarah yang terpendam. Kerap di sela obrolan kami tersirat nama Angga yang sering diungkit oleh beliau. Sejujurnya aku mulai tak nyaman dengan situasi semacam ini.
Angga merupakan ketua umum di organisasi kemahasiswaan program studi kami. Dari isu-isu yang beredar, dia memang cukup lantang ketika mengkritik seseorang. Baik itu berupa ucapan maupun tulisannya memang selalu tajam. Jangan tanya berapa kali dia mendemo kampus kami, seolah membakar-bakar ban dan membunyikan sirine toa di depan gedung rektorat merupakan bakat terpendamnya. Mungkin karena pamor itu, dia sering disegani oleh rekan-rekan mahasiswa maupun di kalangan birokrasi kampus.
"Nar?" Tanya Pak Nur memecah lamunan.
Aku tergelagap. "Iya, Pak?"
"Kamu itu... Siang bolong begini malah ngelamun." Tegur Pak Nur menyunggingkan sedikit senyuman.
Tunggu dulu, apakah aku tidak salah melihat? Pak Nur sedang tersenyum? Apa mungkin amarah beliau sedikit meredam?
"Jadi untuk saya, revisinya cukup itu saja. Kamu nanti bilang ke Bu Nilna kalau revisian dari saya sudah tinggal sedikit lagi."
"Baik, Pak. Nanti saya sampaikan. Kalau begitu saya permisi pulang."
"Eh... Tunggu, Nar. Tolong kamu cek di Laboratorium Kimia Dasar, larutan buffer untuk praktikum besok masih ada apa enggak. Soalnya saya belum sempat ngecek kemarin."
"Iya, Pak. Habis ini saya langsung ke sana."
Aku berpamitan ke Pak Nur setelah mencium tangan beliau.
Dari luar ruangan mendung telah memayungi langit. Angin pun mulai berhembus membawa segenap dingin dan gigil di sekujur tubuh. Aku bergegas melangkah ke gedung sebelah dengan memanggul tas ransel. Pada langkah kesekian, hujan turun lebat dari angkasa. Aku menerjangnya. Kuyup namun tak seberapa.
Tiba di lorong, arah ke ruang laboratorium. Sepi. Aku lekas melangkahkan kaki. Sekitar sepuluh meter menuju ruangan, aku melihat seseorang yang terduduk di depan pintu. Perempuan dengan kemeja putih bermotif kotak-kotak itu sedang menundukkan kepalanya. Tubuhnya yang basah kuyup menukuk. Aku mendekatinya perlahan.
"Anu... Permisi, Mbak. Saya..." Tak sempat aku melanjutkan obrolan, perempuan itu kemudian menengadahkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya padaku.
Bukan hanya tubuhnya saja yang basah, namun wajahnya pun tergenang air mata. Tampak dari kedua matanya menyiratkan semacam luka. Sembab. Pucat. Benar, perempuan di hadapanku ini tengah bersedih. Perempuan itu, Yasmin.
Tanpa banyak kata, aku kemudian mengajaknya masuk ke dalam laboratorium. Dia lekas kududukkan pada bangku di meja tengah. Aku mengambil jaket dalam ransel dan mengenakan pada tubuhnya supaya hangat.
"Kamu... Tunggu di sini sebentar. Aku mau ngecek lemari penyimpanan dulu." Kataku tergesa.
Dia mengangguk pelan. Tanpa sepatah kata.
Aku lekas menuju lemari penyimpanan dan segera mengecek larutan yang dimaksud oleh Pak Nur.
Ada! Larutan buffernya masih tersedia cukup banyak. Segera kukirim pesan pada Pak Nur. Tak lama, aku pun lekas kembali. Yasmin masih duduk di tempatnya. Sekali-dua kali dia mengusap air mata yang terus jatuh membasahi kedua pipinya. Rambutnya yang basah terurai. Tak ada bando yang biasa ia kenakan.
Aku menyeret kursi dan duduk di hadapannya. Kedua tangan perempuan itu masih sibuk menyeka air mata. Nyaliku menciut untuk membuka obrolan. Tak ayal, kami tenggelam dalam keheningan. Udara semakin dingin, namun Yasmin seolah tak merasakan walau tubuhnya sedang kuyup. Aku rasa, kepedihan dalam hatinya jauh lebih menyiksa daripada dingin yang sedang menyapa.
Detik demi detik yang berlalu tak cukup membawa kami pada sebuah kehangatan. Kami mulai terbiasa saling diam. Yang mampu kuperbuat hanyalah menatapnya. Walau sejatinya aku ingin merangkul dan menenangkan hatinya. Aku sadar, aku tak punya hak untuk itu. Aku memang tak pandai untuk menghibur seseorang. Sedari dulu, aku terbiasa memendam luka secara diam-diam. Mungkin karena sifat itulah yang mencerminkan sikap dinginku selama ini. Bahkan, aku tak pernah tahu bagaimana aku harus bersikap pada orang yang lagi bersedih.
Tak berselang lama, isak tangis Yasmin sedikit mereda. Kedua matanya masih sembab, dia mulai berani mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Kami saling bertatap. Walau tak cukup lama, aku hanya mampu memberinya sebuah senyuman. Iya, hanya satu senyuman. Senyuman dari seseorang yang tak pandai menghibur. Dingin dan keras hati. Hebatnya, perempuan itu membalas. Dengan wajah yang masih menyiratkan lara, dia membalas senyumanku.
Yasmin, sampai kapan engkau mampu bertahan? Aku yang tak bisa menghiburmu hanyalah seorang lelaki yang tak pantas mendapatkan senyummu. Pikirkanlah dirimu terlebih dulu. Walau sejatinya, aku ingin memelukmu. Meredakan segala amarahmu. Aku ingin engkau berbagi duka itu padaku.
"Aku sudah putus..." Ucapnya lirih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupanggil Dia... Yasmin
RomanceApa yang kita tahu tentang sebuah perkenalan? Apakah makna perkenalan hanya sampai pada transaksi pertukaran nama belaka? Ataukah, hanya sekedar bualan semesta yang sering kali kita anggap biasa? Jika kalian berpikir demikian, kalian salah. Bagiku...