Satu bulan berlalu. Tera masih terlelap dalam obat penenangnya. Jantungnya masih berdetak. Wajahnya pun masih pucat tanpa kemerahan bahagianya. Kehamilannya sudah berumur enam bulan. Dokter selalu bersiap siaga dengan kondisinya. Apalagi dia sedang hamil. Janinnya masih sehat seperti bulan lalu. Tanpa cacat walaupun Tera kecelakaan.
Beberapa kali Shilla, Rendy, Reto, dan Tania juga Kei menjenguk Tera. Refa pun menyambut dengan senang. Dia sudah bisa mengendalikan dirinya sekarang. Dia teringat malam bulan lalu, waktu dia bicara dengan Mamanya.
"Kamu bodoh, anakku. Kamu pria brengsek. Memiliki affair yang merugikan dirimu sendiri. Kamu salah mengambil keputusan."
"Refa tahu Ma..." Desah Refa menahan air matanya.
"Kamu salah paham, nak. Tera sama sekali tidak mencintai Rendy lagi. Dia hanya mencintai kamu. Tapi kamu malah begini? Inikah balasanmu?"
Refa menekan dadanya yang semakin sesak.
"Waktu itu, dia sedang makan siang dengan Rendy dan Shilla. Kamu tidak melihat karena siapa dia tertawa. Kamu kira mereka hanya berdua?"
Pada saat itu juga, dia di bantai Papa nya yang mendengar percakapan mereka tanpa mereka tahui. Refa menangis keras. Dengan babak belur dia memeluk tubuh Tera. Meminta maaf sebanyak mungkin kepada istrinya di hadapan orang tua nya walaupun istrinya itu tak akan mendengar.
Refa mengusap perut Tera lembut. Dia membaringkan kepala nya di sebelah kepala Tera. Sekali-kali dia mengecup pipi dingin Tera. Hubungannya dan Anata sudah benar-benar berakhir. Awalnya Anata marah dan tidak terima. Tapi akhirnya dia mengalah dan memberi jalan luas untuk Refa hidup bahagia lagi.
Angin berhembus pelan melalui jendela. Gerhana bulan menerangi langit Jakarta bulan ini. Refa memejamkan matanya. Mencari ketenangan tersendiri. Dia berdoa dalam hati agar Tera bangun secepatnya.
Pergerakan kecil di perut Tera membuat Refa membuka mata. Dia melihat mata Tera yang ingin membuka. Wanita itu meringis pelan. Sekejap, pandangan mereka bertemu. Tera terdiam. Berusaha mencerna penglihatannya. Dia langsung tersadar dan mendorong tubuh Refa.
"Kenapa kamu ada di sini!?" Teriaknya seperti ketakutan.
Refa gelagapan. "Sayang, kamu kenapa?" Dia hendak mengusap kepala Tera.
Tera menepis tangannya kasar.
"Jangan sentuh aku! Pergi! Kamu pria brengsek, jahat, tukang selingkuh!"
Refa langsung terdiam. Terpaku di tempatnya. Tera, istrinya, tahu kalau dia selingkuh. Refa menarik tangannya. Dia menunduk, perlahan air mata itu menetes lagi. Dia tak peduli lagi dengan malu nya di hadapan Tera. Ternyata... ternyata Tera tahu rahasianya.
Tera yang melihat Refa menangis pun bingung dan heran. Kenapa pria itu menangis? Banyak pertanyaan di dalam pikirannya. Tapi kiranya saat ini belum tepat untuk memikirkan itu. Tera memegang perutnya. Masih buncit dan bertambah besar. Dia berpikir kalau sudah lama dia tertidur. Luka di tubuhnya pun sudah hampir sembuh.
"Tera, maafkan aku," Kata Refa pelan.
Tera sedikit terkejut. Perasaan iba menyelip di hatinya walaupun pria itu sudah berselingkuh dan menyakiti hatinya. Perlahan dia mengusap kepala Refa. Rambut pria itu bertambah panjang. Rambut halus di dagu nya pun sudah terlihat, tidak seperti biasanya. Di tambah dengan kondisi mata dan pipi nya yang sembab. Refa kelihatan kacau.
"Kenapa?" Tanya Tera lemah.
Refa mendongak. Menggenggam tangan dingin Tera yang tadi mengusap kepalanya. Mata wanita itu berkaca-kaca.
"Kenapa kamu melakukannya?" Air mata itu terjatuh.
"Tera..." Gumam Refa sedih.
"Kenapa, Refa? Tolong beri aku jawaban. Aku sangat membutuhkannya," Lirih Tera.
Refa mengusap pipi istrinya lembut. Rambut wanita itu terlihat berantakan karena tidur selama satu bulan tanpa jilbab nya namun tetap terlihat cantik dan manis. Refa merasa sedih dan konyol. Kenapa dia bisa memadu wanita kuat ini? Tera melihat penyesalan di mata pria di hadapannya sekarang. Mata hitam bening yang di kaguminya memerah dan sembab, menunjukkan kalau dia selalu menangisi Tera. Refa menghela nafas. Menguatkan dirinya untuk bicara. Mengeluarkan beban yang menumpuk di hatinya.