Butuh dua tahun untuk aku percaya dan menerima Refa. Aku menangis, tertawa, bahagia, selalu menyender di bahu nya. Aku memberatkan dirinya.
Sekarang, aku punya tujuan lain. Membahagiakannya yang akan menjadi seorang istimewa dalam hidupku. Aku memberikan haknya. Aku ingin membuatnya senang dan merasa puas. Puas akan perjuangannya yang dulu iya lakukan.
Aku mengusap perut ku yang sudah besar. Sesekali bersenandung kecil dan sebagai balasannya, bayi ku menendang di dalam sana. Di sampingku, Refa masih sama seperti biasa. Membaca atau memainkan ponselnya. Dia masih saja cuek dan dingin. Aku terkadang kesal. Kenapa aku harus memiliki muhrim kedua sepertinya. Berbeda sekali dengan Reto.
Reto.
Kejadian dua tahun lalu saat malam di apartemen itu sudah berlalu cepat bagiku. Sekarang Reto kembali lagi bersama Tania dan menikah, wanita itu mengaku salah. Sedangkan anakku, dia sudah bisa menerima ku sebagai ibu kandungnya. Ternyata si wanita ular itu yang menghasut anakku. Tapi satu bulan yang lalu, Tania meminta maaf padaku. Dia juga sedang mengandung anak Reto.
Aku turut tersenyum melihat keluarga mereka bahagia. Anakku adalah anak Tania. Terkadang Kei datang ke rumah ku untuk bermain dengan dedek bayi nya yang masih ku kandung ini. Tak jarang pula, Refa merajuk karena iri. Dasar dia, iri dengan anak tirinya sendiri? Seperti bocah saja.
Sesudah malam penuh air mata itu, Refa segera pulang ke rumah untuk melamarku. Lamaran pun akhirnya di tolak karena Refa adalah anak mereka walaupun bukan kandung. Selama satu tahun lebih, Refa menemaniku, melindungi, dan selalu menjadi sandaran untukku. Dia membuatku jatuh cinta lagi. Waktu itu syukurnya aku tidak hamil. Perjuangan satu tahun Refa tidak sia-sia. Papa dan Mama akhirnya menyetujui itu. Dan barulah kami menikah beberapa bulan setelahnya.
Ah ya, tentang Shilla dan Rendy. Mereka berdua menikah setelah Tania dan Reto menikah. Berbeda denganku yang baru meyakinkan hatiku untuk menaruh hidup di bahu Refa. Mengingat itu rasanya manis sekali. Betapa dulu banyak air mata yang ku jatuhkan hanya demi pria-pria yang menaruh harapan palsu untukku. Dan inilah jawabannya. Refa, kakak tiriku adalah jodoh terakhir ku.
"Ngapain senyum-senyum sendiri?" Tanya Refa tiba-tiba.
"Cuma mikir masa lalu aja," Jawabku dengan senyum sendu.
"Masa lalu nggak usah di pikir lagi deh," Katanya sok bijak.
"Masalah apa buat kamu?" Sahutku judes.
Huh, mulai deh perangnya. Walaupun kami sudah menikah, tetap saja kami sering berdebat dan adu mulut. Kadang aku capek. Rasanya mau jambakin rambut Refa biar dia peka. Jadi suami nggak tau perasaan istrinya!
"Nggak," Jawabnya singkat.
Dia memaling muka dan kembali sibuk dengan ponsel nya. Ya Tuhan, kuatkan aku menghadapi suami cuek seperti ini.
Aku berangkat dari dudukku dan akan pergi menuju kamar. Dia sama sekali tidak menahanku. Dia tidak menyesal telah membuatku merajuk. Ah, aku pusing memikirkannya. Sudahlah, aku tak peduli. Mau dia ngapain lah terserah. Aku sebal. Itu sih namanya bukan suami yang baik. Dia membuatku sering menangis karena kecuekkan dan ketidakpekaannya.
Air mata sialan ini mengalir. Dadaku terasa sesak. Kenapa sih dia berubah, tambah jahat seperti itu. Tidakkah dia berpikir kalau istrinya akan sakit hati.
Suara pintu terbuka terdengar. Aku merasakan pergerakan di tempat tidur ku. Aku tahu itu Refa. Dia memelukku dari belakang dan mengusap perutku. Lama kelamaan rasanya aku mengantuk.
"Maaf sayang."
Aku terlalu mengantuk untuk bertanya.
-
Siang ini aku pergi ke restaurant untuk makan siang. Aku malas masak. Refa sih katanya mau makan di luar dengan rekan kerjanya.
Akhir-akhir ini memang dia berubah. Membuatku terkadang merasa aneh dan sedih. Dia sering sekali meninggalkanku tidur. Tak jarang handphone nya berbunyi. Entah apa yang dia lakukan di ruang kerjanya. Mungkin itu telepon dari rekan kerjanya untuk bisnis baru. Aku tak terlalu tertarik.
Saat aku masuk ke kafe, aku melihatnya. Melihat pemandangan yang sangat menyesakkan hati ku. Refa, suamiku, merangkul seorang wanita yang cantik dan anggun. Air mataku sudah menetes. Perlahan semakin cepat, semakin deras. Sesak di dada ku bertambah parah. Mereka tertawa berdua. Saling bersuapan dan terlihat sangat bahagia. Dari sini, aku melihat sirat cinta di mata Refa.
Ya Allah, apa sebenarnya ini? Apa yang telah terjadi? Kenapa rasanya begitu cepat dan menyesakkan? Refa berubah, karena dia selingkuh?
Aku sungguh tak tahan lagi. Aku beranjak dari dudukku. Ingin berjalan ke luar dan pulang, menangis sepuasnya di kamar. Apa yang aku lihat itu benar? Apa aku salah lihat? Tapi itu tidak mungkin kan? Semalam juga. Aku mendengarnya minta maaf. Apa artinya itu?
Perut ku yang sudah membesar di bulan ke-lima, tak membuatku berhenti untuk berlari. Nafasku tercekat, membuatku sesak sekali. Aku memberhentikan taksi. Aku hanya ingin pulang dan menangis sepuasnya. Aku takut. Aku takut ini adalah kenyataan. Aku berharap ini hanyalah mimpi.
Suara klakson terdengar oleh ku. Terdengar sangat jelas. Saat aku mendongak, di hadapanku...
-
Baca cerita baru ku ya, voting juga. MATILDA.