Dengan kruk ku, aku berjalan terseok-seok. Kaki ku yang masih lemah dan lumpuh tak bisa membuatku berjalan normal. Papa dan Mama menyuruhku untuk tidak bekerja dulu dan tetaplah Refa yang mengurus. Ah, kakak ku itu. Sudah lama tak ku lihat wujudnya. Dia sama denganku, tinggal berpisah dari orang tua. Dia sih masih menjomblo walaupun sudah mau masuk kepala tiga.
Aku menemui Mama, Papa, dan Refa di ruang keluarga. Ku anggap Shilla sekarang sedang kencan dengan Rendy. Oh baiklah aku tidak akan cemburu lagi. Berusaha!
"Gimana kakimu? Udah merasa baikan?" Tanya Refa.
"Hm," Jawabku singkat.
"Jangan cuma hem-heman sama aku. Aku males sama orang kayak gitu," Cibir Refa sinis.
"Yaudah, nggak usah ngomong sama aku," Sahutku tak kalah sinis.
Inilah kebiasaan kami berdua jika sudah bertemu. Pasti adu mulut. Dia pria, dan aku wanita. Seperti tom and jerry walaupun si jerry nya jantan. Tapi serius deh, kami selalu adu mulut kalau bertemu seperti ini.
"Sshh, udah kalian. Berdebat terus," Tegur Mama.
Aku dan Refa terdiam.
"Tera, katanya kamu mau pindah? Keluar negeri? Malaysia?" Tanya Papa bertubi-tubi.
"Iya, Pa," Jawabku lesu.
"Kenapa? Bolehkah kami tahu jawabannya?"
Aku melirik Mama. Mengisyaratkan agar nanti dia yang menceritakan pada Papa. Mama yang mengerti pun, mengelus lengan Papa dengan pandangan matanya seperti bicara. Papa menghela nafas.
"Kalian ini kenapa sih? Pake kode segala bicaranya," Sahut Refa judes.
"Berisik, deh," Balasku.
"Kalian ini. Udahlah Tera, nggak usah di sahutin," Kata Mama kesal.
Aku mendengus. Ih, nyebelin itu kakak tiriku!
"Jadi... kamu akan bekerja apa di sana?" Tanya Papa kembali ke topik utama.
"Mungkin aku bisa buka kursus lukis dan berkesampingan jadi seniman, Pa," Jawabku sambil berpikir.
Aku sih memang bisa melukis, ya kemampuan lahir. Aku ingat, dulu waktu kuliah aku juga pernah juara satu lompa melukis tingkat Provinsi. Dan lukisan ku di pajang di pameran seni. Tapi sayangnya aku tidak bisa menjadi pelukis atau seniman. Karena Papa memaksaku untuk mengikuti jejak bisnis nya seperti Refa, kakak tiriku itu.
"Baiklah, Papa belum bisa memberi jawaban sebelum Mama mu yang cerita." Papa mengangkat tangan kanannya.
Lalu pergi ke kamar dengan Mama dan meninggalkanku dan Refa di ruang ini. Dia asik memainkan ponselnya. Suara musik game terdengar. Hah, dasar maniak game.
Aku hanya melamun menatap kaki ku yang masih lumpuh. Sebenarnya aku sudah terapi dalam seminggu kemarin. Tapi minggu ini aku malas ke rumah sakit nya. Jadilah aku hanya makan, tidur, mandi, nonton, melukis di apartemen ku. Sangat membosankan. Aku butuh teman.
"Kenapa kamu? Kasian banget mukanya."
"Berisik!" Teriakku.
"Kamu yang berisik. Pakai teriak lagi."
"Yaudah jangan ganggu," Jawabku cuek.
"Kamu kenapa, Ter?" Tanyanya kali ini dengan lembut.
"Lagi bosan aja." Aku menatap ke arahnya.
"Bosan? Hm, aku juga nih. Gimana kalau kita jalan ke monas aja? Sore-sore gini kan seru tuh. Rame," Ajaknya dengan mata berbinar.
"Hm, okelah," Balasku dengan senyum lebar.
Refa berjalan dulu, melewatiku. Sialan! Bukannya dia membantuku berjalan, malah langsung lewat.
"Refa! Bantu dong!" Teriakku tidak terima.
"Duh, lamat! Lama amat! Cepetan. Kan itu ada kruk nya."
"Dasar pria jahat! Adik nya sakit malah di tinggalin aja!" Aku meluapkan emosiku.
"Udah deh. Cepet."
Aku terkejut saat berada dalam gendongannya yang ala bridal style. Astaga, apaan ini!? Kenapa aku merasa berdebar sih? Tera, dia kakak mu sendiri! Walaupun tiri sih.
Aku tersadar, dia sudah menduduki ku di kursi sebelah kemudi. Astagfirullah! Tadi dia menggendongku? Aku bukanlah muhrim nya! Kami tidak sedarah! Ya Allah, maafkan aku!
"Refa! Kamu ini kenapa sih tadi gendong aku!?" Bentakku kesal.
"Katanya mau di bantu?" Dia menaikkan alisnya.
"Ya tapi bukan gitu caranya!"
"Yaudah. Udah terlanjur," Jawabnya cuek.
Aku berdecak, lalu memandang pemandangan di luar jendela. Jakarta ramai seperti biasanya. Aku ingat, dulu waktu umurku tiga tahun, Mama dan Papa membawa seorang anak laki-laki yang berpenampilan sederhana. Anak laki-laki yang hidup di lingkungan panti asuhan. Mama dan Papa menjadi penyumbang untuk panti itu. Tapi setelah lima tahun menyumbang akhirnya Mama ingin mengangkat anak laki-laki karena waktu itu Mama sudah mengandung Shilla. Mama selalu mengandung anak perempuan. Jadilah Papa menyetujuinya.
Kami tidak akrab. Selalu berdebat mulut. Tentu saja tanpa kekerasan fisik. Kecuali dengan Shilla, Refa tidak pernah menjahilinya. Mereka sih memang tidak dekat.
Sekarang, Refa sudah dewasa. Pria tampan yang selalu membuat para wanita berdecak kagum dan mengiri jika seseorang mendekatinya. Dia masih sempurna di bandingkan Reto walaupun Reto blasteran. Refa hanyalah pria lokal Indonesia yang mempunyai masa lalu kelam. Dia tidak begitu pandai, tidak begitu ramah, tidak begitu istimewa. Tapi dia menarik, dengan wajah tampan dan tubuh atletisnya.
"Hei, kenapa ngelamun? Kita sudah sampai!"
Aku terlonjak mendengar suaranya dan wajahnya yang ada di hadapanku karena sedari tadi aku melamun tersenyum memandangnya yang sedang menyetir. Astagfirullah! Lagi-lagi!
"Ah, eh, maaf." Aku menggaruk kepala ku yang di balut kain merah.
"Terpesona melihatku ya?" Dia mengerling.
Refleks aku menabok lengannya.
"Berisik! Mana mungkin aku terpesona pada pria cuek dan dingin sepertimu!" Padahal sih iya aku terpesona.
"Ah, sudahlah. Ayo turun."
Aku berjalan menggunakan kruknya. Refa sialan itu malah meninggalkanku dan duduk di bangku sambil memainkan ponselnya. Kakak tidak punya perasaan kau, Refa!
"Hei, lagi-lagi ngelamun. Ngapain sih berdiri di situ? Mau di tabrak sama motor itu apa?" Refa menunjuk rombongan motor yang berkeliling halaman monas.
Aku menatapnya garang menahan marah. Omongannya itu lho yang membuatku gemas. Bisa-bisa nya dia membuatku kesal setengah mati.
Aku menghampirinya dan duduk. Aku merenung. Merenungi kejadian beberapa minggu ini. Antara desember dan januari. Sungguh, aku berharap akan menemukan jawaban yang tepat atas permintaanku ingin mencari suami. Aku rindu kehangatan keluarga dulu. Aku rindu Reto tapi dia tidak pantas di rindukan.
"Kamu kenapa sih? Hobinya ngelamun terus. Aku ajak kesini itu untuk menikmati sore rame bukannya ngelamun. Kalau itu sih di toilet aja bisa. Cuma toilet kan sepi nggak rame."
Aku menoleh, menatap mata hitam Refa lekat. Apa aku bodoh sekarang jika mengharapkan pria ini? Aneh sekali rasanya. Kenapa aku merasa beda jika bersamanya? Walaupun kami sudah bersama-sama selama 24 tahun lamanya. Aku tidak pernah menganggapnya kakakku. Aku menganggapnya hanyalah pria yang menumpang di rumahku.
Angin bertiup pelan. Aku merasakan jarinya yang mengusap pipi ku yang berwarna merah muda karena blush on. Lalu dia mengusap bibir merah maroon ku. Aku terlena. Terpanah. Ketika merasa kelembutan itu. Apa yang terjadi padaku? Aku tidak menolak. Aku tidak menamparnya atau apa.
Tuhan, maafkan aku.