Dia tersenyum manis. Tidak, mungkin saja itu hanya sebuah paksaan. Aku merasa dia tak sendiri. Di sampingnya, seorang gadis kecil yang memakai gaun indah membuatku terbeku.
Apa yang aku lihat ini? Apa aku tidak sedang bermimpi? Apa ini nyata? Anak kecil itu mirip sekali denganku. Perpaduan antara aku dan Reto, mantan suami ku. Dia... apa dia Keina? Anakku Keina?
Aku beralih pada wanita anggun yang tadi memanggilku. Dia masih tersenyum. Tapi seperti tersenyum sinis. Tatapan matanya menunjukkan kalau dia menang. Apa maksud darinya?
"Kenapa diam, Ibu Tera Ardingga? Ups, Tera Ashifa maksudku," Katanya sinis sambil menutup bibir pedasnya.
"Apa maksudmu?" Tanyaku kesal. Aku mulai terbawa emosi.
Gadis kecil itu bersembunyi di balik kaki wanita ular ini. Ya Tuhan, aku masih ingat wajah anakku. Dia Keina, putri kecilku!
"Maksudku? Hm, aku hanya ingin mengatakan kalau sekarang Reto dan Kei adalah milikku," Sahutnya dengan nada menjijikkan.
Aku menggertak gigi kesal. Wanita ini ciri-ciri wanita penggoda! Lihat saja tampangnya begitu. Dia pasti sudah menggoda Reto. Tapi tunggu, apa tadi dia bilang? Reto dan Kei sudah menjadi miliknya? Mungkinkah...?
"Kenapa Tera? Terdiam berpikir? Oh ya, tentu aku sudah menikah dengan Reto."
Apa? Reto sudah menikah? Dengan wanita ular ini? Apa aku tidak salah dengar? Aku tidak bisa membiarkan Kei mempunyai Ibu selain diriku! Aku tidak rela! Apalagi dia... dia yang menjadi Ibu Kei. Seseorang, aku membutuhkan topangan. Ya Allah, kuatkan aku atas ucapannya. Tidak, Tera, jangan menangis. Kamu tidak boleh terlihat lemah di hadapan wanita ini. Kamu harus kuat Tera. Tapi aku... membutuhkan seseorang!
"Bu Tera."
Eh? Suara Rendy?
Dia berdiri di sampingku. Pandangannya tertuju pada wanita di hadapanku ini. Tidak. Bukan hanya wanita itu dan anakku, tapi... Reto juga ada di sini. Aku terperangah.
"Reto..." Aku bergumam tak percaya.
Dia menatapku datar sambil mengendong Kei, anak kami. Tiga tahun tak melihatnya. Dia bertambah tampan dan keren. Apalagi tubuhnya yang menjulang itu. Dia membuatku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Astaga, kenapa aku begini? Aku sungguh merindukannya. Wanita ular itu tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak kuat lagi untuk tidak menangis. Ku cengkram lengan Rendy kuat, menahan sesak di dadaku yang akan segera menguar.
Terdengar Rendy meringis pelan. Dia kesakitan. Tapi hati ku lebih sakit. Maaf Rendy, aku butuh pertahanan.
"Lama tidak bertemu, Tera."
Reto berkata dingin. Aku menatap matanya dengan berani. Astaga, rasa cinta ku lagi-lagi keluar. Tidak Tera! Jangan sekarang! Aku tidak bisa lagi memeluknya.
"Maaf aku tidak memberimu undangan pernikahan ku dengan Tania," Sambung Reto.
Undangan pernikahan. Nyatanya memang benar, dia sudah menikah dengan wanita bernama Tania itu.
Aku masih bungkam. Angin bertiup cukup kencang, menerbangkan sisa kain jilbab ku. Terasa mata ku basah. Andai saja ini tidak nyata. Aku tak perlu menangis. Aku melepas cengkraman ku pada Rendy. Kini aku memeluk pinggangnya, lalu menghapus air mataku. Aku tahu ini terkesan murahan karena aku memeluk pria lain. Aku tahu telah berdosa karena Rendy bukan muhrim ku. Maafkan aku Tuhan, aku terpaksa melakukan ini. Kuatkan aku satu kali lagi untuk mengaku sesuatu walaupun bukan nyatanya.
"Aku juga minta maaf kalau tidak memberimu undangan pernikahanku dengan Rendy."
Entah darimana kekuatan itu datang. Tapi aku yakin ini benarnya. Aku harus terlihat kuat di hadapan Reto. Tidak boleh lemah. Aku sudah dewasa, tahu yang mana baik dan buruk. Aku yakin Allah telah memberiku kekuatan ini.
"Apa?"
Rendy langsung melepas tanganku dari pinggangnya. Aku mendongak karena dia lebih tinggi dariku. Dia menghempas tanganku kasar. Rasa sakit di tangan dan hati ku semakin menjadi.
Rendy menatapku tak percaya dengan mulut sedikit terbuka. Astaga, dia pasti sangat terkejut. Apa yang harus ku lakukan? Aku murahan sekali.
"Apa maksudnya, Bu?" Tanya Rendy akhirnya setelah hening panjang.
Tanpa ku jawab, dia sudah berlari meninggalkanku.
Plok!
Suara tepukan membuatku menoleh ke depan. Reto tersenyum tipis. Dia bertepuk tangan untukku.
Eh?
"Wah wah, kamu tidak pandai berbohong Tera. Aku tahu kenyataannya kalau kamu masih menyandang julukan janda sekarang," Kata Reto dengan nada menyindir.
Ukh, aku gagal untuk berbohong. Rendy. Ini karena Rendy. Coba saja dia tadi hanya diam. Tapi aku juga tak seharusnya menyalahkan Rendy karena dia tidak tahu apa-apa tentang masalah rumah tangga ku kecuali dia tahu kalau aku sudah bercerai.
Aku menunduk, merasa kalah. Aku mencengkeram rok dress ku kuat. Oh, aku seperti gadis remaja yang ketahuan selingkuh saja. Aku harus bersikap dewasa.
"Tera. Kita memang sudah bercerai dan hak asuh Kei ada di tanganku. Aku juga sudah menikah dengan Tania satu bulan yang lalu dan tahukah kamu? Kei menganggap Tania lah ibu kandungnya bukan kamu. Dia membencimu, Tera."
Tertusuk. Hati ku tersayat mendengar kalimat tajam Reto. Suara langkah terdengar menjauh. Aku menengadah, melihat langit hitam penuh bintang. Ya Allah, seandainya aku tahu alasan itu. Aku pasti menerima dengan tenang. Tidak seperti ini.
Mantan suami ku membenciku. Anakku membenciku. Lalu siapa lagi yang akan membenciku? Semua orang kah? Kalau begitu kenapa aku masih hidup dan berdiri di tengah-tengah taman ini?
Aku berjalan, menuju parkiran. Aku tahu apa yang akan ku lakukan selanjutnya. Sungguh aku tak punya muka lagi di hadapan mereka para pegawaiku dan juga pihak dari perusahaan Reto. Terutama Rendy.
Mungkinkah aku akan meminta Papa untuk memindahkan tugasku ke luar kota? Central Book bisa di urus Refa kan? Ah ya... aku harus menata hati ku kembali. Aku harus berlibur, keluar dari kepenatan hari-hari ku yang penuh dengan bayang Reto dan Kei. Juga bayangan baru terhadap Tania.
Aku butuh refreshing. Sebagai janda muda memang seharusnya aku mencari pengganti Reto. Apa kata orang-orang kalau tahu aku menjanda muda? Bukankah memang lebih baik aku menikah dengan pria baru yang lebih baik dari Reto?
Baiklah, aku memutuskan untuk berlibur ke Jogja. Mungkin disana aku bisa mencari pengalaman dan kegiatan baru. Misalnya memotret penjuru Jogja. Ya itu bagus. Perlahan aku akan melupakan Reto dan memulai jalan hidupku. Hari pertama di bulan Desember. Akan bermusim dingin jika aku pergi ke Berlin.