"Benarkah?" Tanya Papa memastikan.
Aku mengangguk. Papa menatapku penuh tanda tanya. Dia menghela nafas sekali lagi. Mungkin berat rasanya menyetujui keinginan ku ini. Tapi aku punya alasan tersendiri. Mencari pria yang bisa menjadi imanku nanti di sana.
"Baiklah. Kamu boleh pergi. Nanti Papa akan menyuruh Farah memindahkan datamu ke kantor cabang di sana," Jawab Papa akhirnya.
Aku tersenyum lebar. "Terima kasih, Pa." Aku memeluk Papa dan menangis di bahu nya.
Aku takut. Aku takut aku tidak bisa bahagia kedepannya nanti. Aku telah memilih. Mungkin ini terlalu cepat dan tidak meyakinkan. Tapi aku harus melakukannya.
Perlahan aku menyeret koper besar ku keluar rumah. Rumah Papa dan Mama yang memang tidak ku tinggali karena aku bertempat di apartemen ku sendiri. Aku menaruh koper di bagasi. Saat aku menutup pintu bagasi, aku terperanjat melihat Rendy yang berjalan masuk ke halaman rumah. Kenapa Rendy ada di sini?
Aku mengintip dari balik mobil ku. Dia menekan bel. Ku lihat tangan kirinya memegang sebuket bunga. Untuk siapa? Tidak mungkin untukku kan? Tunggu dulu, aku mendengar suara Shilla dari dalam rumah. Sepertinya bukan aku yang dia kunjungi. Melainkan adikku.
Pintu terbuka dan menampakkan wajah bersinar Shilla. Oh-oh, ternyata Rendy mempunyai hubungan dengan adikku? Pantas malam tadi dia begitu marah. Tapi kok aku tidak tahu ya? Ya iya sih, aku kan tinggal di apartemen.
Kenapa aku tiba-tiba merasa tidak senang ya? Malahan kan bagus kalau Shilla berhubungan dengan Rendy, orang kepercayaan ku. Rendy juga tampan, masih muda dan tajir.
"Kak Rendy."
Shilla langsung memeluk Rendy manja. Dia tersenyum lebar dan pipi meronanya menatap Rendy. Rendy pun membalasnya. Aku ikut tersenyum memandang adegan romantis di depan ku ini. Seperti senyuman terpaksa...
Tiba-tiba aku merasa rindu sekali. Sudah lama aku tidak bermanja dengan seorang pria yang adalah muhrim ku sendiri. Tidak, aku tidak mengharapkan Reto. Tapi seseorang lain yang akan menjadi muhrim baru ku. Aku harap begitu.
Aku tersadar, mundur perlahan. Dan masuk ke mobilku. Menjalankannya dengan hati berat. Kenapa? Kenapa aku begitu merasa cemburu melihat kedekatan Shilla dan Rendy. Gila! Aku tidak mungkin menaruh hati untuk sekretaris ku itu.
Jalanan lenggang tak membuatku melaju kencang. Aku mengendara dengan lamban. Entahlah, aku merasa sedih. Apalagi aku harus pergi. Mungkin dengan pergi aku bisa lari dari kenyataan ini. Kenyataan pahit yang terlalu cepat di sadari, yaitu aku menyukai sekretarisku sendiri.
-
Bohong. Aku berbohong pada diriku dan Papa. Aku sama sekali tidak pergi ke Jogja melainkan Bandung. Baru saja aku selesai menelepon Papa mengatakan aku tidak ingin bekerja dulu. Tapi aku menyuruh Papa untuk mengatakan pada siapapun itu kalau aku sedang di pindahkan sementara ke Jogja. Terutama Rendy. Aku tidak ingin dia mengetahuinya.
Jadilah sekarang aku sedang berdiri menyender di badan mobil dengan cangkir kopi di tanganku. Di depanku, kedai kopi sederhana tengah jalan berdiri. Hari sudah larut memang. Jam sebelas malam.
Kerlip lampu menerangi jalan. Memang tidak ada ramainya di akhiran tahun 2009 ini. Bandung masih seperti satu tahun yang lalu saat aku ke sini untuk dinas. Masih asri dan indah. Persawahan membentang setiap jalan. Bahkan dekat tengah kota pun ada. Apalagi kebun teh. Aku sangat menyukainya.
Angin menghembuskan kain jilbab ku. Hidung dan pipi ku terasa membeku. Aku mempererat jaket ku lalu menghabiskan sisa kopiku cepat.
Setelah membayar, aku kembali masuk ke dalam mobil. Menjalankan mesinnya. Jalanan sepi membuatku kembali bersedih. Rasa hampa itu menyergap diriku lagi.